Hans kelsen adalah yang pertama mengenalkan bahwa norma hukum pada dasarnya berhierarki dimana norma yang lebih rendah bersumber pada norma yang lebih tinggi. Setiap norma memperoleh validitasnya dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya sampai mencapai norma tertinggi. Norma tertinggi tersebut oleh Kelsen disebut dengan grundnorm. Sebagai norma tertinggi maka grundnorm tidak memperoleh validitasnya dari norma lain yang lebih tinggi karena dialah yang tertinggi. Grundnorm memperoleh validitasnya karena memang dipostulasikan valid. Dengan demikian setiap norma dapat dinyatakan valid jika bersumber dari grundnorm yang dipostulasikan valid.[1]
Berdasarkan hierarkhinya, sumber hukum tertinggi yang mendasari lahirnya suatu peraturan perundang-undangan dalam suatu negara menurut Kelsen adalah konstitusi.[2] Kelsen menyebutnya sebagai ...the highest level within national law[3] Konstitusi yang dimaksud Kelsen bukan dalam arti formal, melainkan dalam arti material. Konstitusi dalam arti formal adalah dokumen resmi dan tertulis. Sementara konstitusi dalam arti material bisa berbentuk hukum tertulis atau hukum tidak tertulis. Sebagaimana yang dinyatakannya ...the constitution in the material sense of the term may be a written or an unwritten law, a specific form for constitutional law exist, any contents whatever may appear under this form.[4] Sehingga dengan demikian menurut Kelsen konstitusi sebagai norma dasar dalam suatu negara tidak harus tertulis, bisa juga tidak, misalnya dalam wujud statuta biasa atau dalam wujud hukum kebiasaan.
Jika teori Kelsen tersebut diterapkan di Indonesia, yang dimaksud dengan grundnorm adalah UUD 1945, bukan Pancasila. Sebab Kelsen menyebut bahwa yang menjadi grundnorm suatu negara adalah konstitusi (material), dan di Indonesia yang dimaksud dengan konstitusi adalah UUD 1945. Lalu bagaimana dengan Pancasila? Apakah Pancasila bukan bagian dari norma? Jika Pancasila adalah norma lalu norma apakah Pancasila tersebut jika bukan grundnorm?
Pancasila pada awal kelahirannya, bukan dimaksudkan untuk menjadi konstitusi, melainkan sebagai dasar lahirnya negara Indonesia merdeka. Dalam istilah Sukarno phiolsofische grondslag (dasar filsafati), pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup.[5] Dari pendekatan ini, dapat dilihat bahwa Pancasila lebih sebagai landasan filsafat, bukan norma.
Namun dalam prosesnya, Pancasila yang digagas Sukarno tersebut disepakati oleh sidang BPUPKI untuk dijadikan rujukan pembentukan dasar negara. Melalui pembentukan tim perumus (tim 9) yang diketuai oleh Sukarno akhirnya melahirkan “Piagam Jakarta”.[6] Dokumen ini kemudian dijadikan Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Karena Pancasila menjadi bagian dari UUD 1945 (sebagai preambule) maka dengan pendekatan teori Kelsen maka Pancasila menjadi bagian dari grundnorm karena Pancasila dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Namun jika kembali mengacu kepada pengertian grundnorm yang disampaikan Kelsen maka UUD 1945 sebenarnya bukanlah grundnorm. Sebab grundnorm menurut Kelsen dalam memperoleh validitasnya tidak bersumber dari norma yang lebih tinggi, namun diperoleh karena dipostulasikan (presuppose) valid.[7] Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[8]. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.[9]
Sementara UUD 1945 validitasnya diperoleh karena bersumber dari norma yang lebih tinggi yaitu pidato “Lahirnya Pancasila” yang disampaikan Sukarno di depan sidang BPUPKI yang kemudian dirumuskan ulang dan ditetapkan sebagai Pembukaan UUD 1945. Sehingga yang lebih memenuhi grundnorm sebenarnya adalah Pembukaan UUD 1945 rumusan BPUPKI karena rumusan itulah yang pertama dipostulasikan valid, sementara batang tubuh UUD 1945 adalah norma yang bersumber dari Pembukaan UUD 1945.[10]
Untuk sementara, dari penjelasan di atas posisi Pancasila dengan menggunakan pendekatan Kelsen berada dalam 3 (tiga) kemungkinan:
1. Pancasila bukan grundnorm, karena yang dimaksud grundnorm oleh Kelsen adalah konstitusi, sehingga yang menjadi grundnorm adalah UUD 1945, Pancasila lebih tepat sebagai landasan filsafat atau dalam istilah Sukarno sebagai phillosophy grondslag atau weltanschauuung.
2. Pancasila dan UUD 1945 keduanya adalah grundnorm karena Pancasila menjadi bagian dari konstitusi, dimana Pancasila diletakkan dalam Pembukaan UUD 1945.
3. Pancasila adalah grundnorm bukan UUD 1945, karena Pancasila lah yang pertama kali dipostulasikan valid, sementara UUD 1945 adalah norma tertinggi kedua setelah Pancasila karena validitasnya diperoleh dan bersumber dari Pancasila.
Lahirnya 3 (tiga) kemungkinan tersebut karena bercampur aduknya antara postulasi validitas dengan konstitusi, sehingga pada akhirnya melahirkan sebuah kebingungan apakah yang dimaksud grundnorm adalah konstitusi atau norma yang validitasnya karena sebuah postulat. Jika grundnorm adalah konstitusi, tidak semua konstitusi validitasnya dipostulasikan (tetapi diperoleh karena norma yang lebih tinggi). Jika grundnorm adalah norma yang validitasnya dipostulasikan, belum tentu norma itu adalah konstitusi.
Kebingungan banyak pihak dalam melihat pemikiran Kelsen inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[11]
Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:[12]
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[13]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[14]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[15]
1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3) Formell gesetz: Undang-Undang.
4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro[16]. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.[17]
Namun, dengan penempatan Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamentalnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat[18]. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”[19]
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia..
[1] Ibid. hal.111-112. Dinyatakan oleh Kelsen ...a norma the validity of which cannot be derived from a superior norm we call a “basic” norm. ...This basic norm constitues, as a common source, the bond between all the differen norms of which an order consists. ...the reason for the validity of a norm is a presupposition, a norm presupposed to be an ultimately valid, that is, a basic norm.
[2] Selain Kelsen, juga terdapat beberapa teori hirarki norma hukum lainnya yaitu: Kisch, Adolf Merkl dan Hans Nawiasky. Hirarkhi norma Kisch diawali dari: abstracte norm - generalle norm atau tussen norm - concreto norm atau casus norm. Sementara Adolf Merkl, hirarki norma hukumnya diawali dari: cita hukum - kategori hukum - pengertian-pengertian hukum - tata hukum. Dan yang paling lengkap adalah Hans Nawiasky yang menyusun hirarkhi norma mulai dari: staatsfundamental norm - staats grundgesetz - formeel gesetz - verordnung - autonome satzung. Dari ketiga teori tersebut pada prinsipnya sama bahwa norma yang lebih rendah harus bersumber dan berdasar kepada norma yang lebih tinggi. Pemikiran Kelsen sebenarnya diilhami Adolf Merkl (murid Hans Kelsen) yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das dppelte rechtsantlitz). Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtkarcht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apablia norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula. Lihat Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Dikembangkan dari Perkuliahan Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH (Kanisius, Jakarta: 2007), hal.43
[4] Ibid. hal 123
[5] Keterangan ini dapat dilihat di dalam “Pidato Lahirnya Pancasila” yang disampaikan Sukarno di depan Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tanggal 1 Juni 1945, di dalamnya Sukarno dengan terang menjelaskan “...Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag, atau –jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk– Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu Weltanschauung, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu. Soekarno, Lahirnya Pancasila dalam Pancasila Bung Karno (Jakarta, Paksi Binnekha Tunggal Ika, 2005, hal 8
[6] RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 – 129.
[7] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 116. Kelsen, Pure Theory of Law, Op Cit., hal. 195.
[8] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 115.
[9] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Translation from the Second (Revised and Enlarged) German Edition, Translated by: Max Knight, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1967), hal. 201 – 205.
[10] Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 115
[11] Attamimi, Op Cit., hal. 359. Nawiasky, Op Cit., hal. 31 – 37.
[12] A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hal. 359.
[15] Ibid. Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[16] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).
[17] Attamimi, Op Cit., hal. 309.
[18] Kusuma, Op Cit., hal. 132 – 137.
[19] Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.