Satybrata Sinha dalam Judicial Activism: Its Evolution and Growth mengemukakan bahwa aktivitas peradilan (judicial activism) akan memberikan dua kemungkinan. Pertama, putusan hakim itu mungkin dapat dinilai sebagai sebuah mahakarya keadilan (baca: judicial creativity). Putusan John Marshall dalam perkara Marbury versus Madison di Amerika yang melahirkan metode judicial review dapat menjadi contoh sempurna dalam hal ini. Kemungkinan kedua ialah putusan hakim dapat menjadi intimidasi (baca: judicial terrorism) bagi publik yang menciptakan kekacauan bagi kemanusiaan, ketakutan, dan kekhawatiran. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan keberadaan Peradilan Tindak Pidana Korupsi membuktikan simpulan Sinha yang kedua tersebut. Selengkapnya Sinha menuturkan bahwa:
Judicial activism had all along been meaning different things to different people. Its evolution and growth, effect on public administration and other fields of social life had created a hornet’s nest. On the one hand it is equated with judicial creativity; on the other it is being labeled as judicial terrorism.[1]
Sebagaimana Sinha, P.P. Rao menjelaskan mengenai dua wajah dari judicial activism tersebut. Rao berpendapat bahwa judicial creativity adalah aspek positif dari judicial activism, namun judicial activism juga memiliki sisi kontroversial yang menakutkan. Rao menuturkan sebagai berikut:
Judicial creativity and dynamism are the positive aspects of judicial activism. There is yet another facet of judicial activism which is highly controversial. Some call it “adventuresome” and some perceive it as “expansionism”.[2]
Putusan lembaga peradilan yang dapat menimbulkan resiko (adventuresome) sebagaimana dinyatakan Rao di atas atau memberikan rasa pertakut (baca: teror) sebagaimana dinyatakan Sinha. Putusan yang adventuresome tersebut sesungguhnya sering terjadi dalam banyak putusan peradilan di dunia.
Dalam perkara Roe versus Wade di Mahkamah Agung Amerika, suasana teror bagi masyarakat yang memiliki nilai-nilai agama terjadi. Kasus yang meminta diper
‘bolehkannya aborsi tersebut akhirnya melegalkan upaya pembunuhan janin bayi. Menurut kalangan agama di Amerika, putusan MA Amerika tersebut menjadi sesuatu hal yang mengerikan bagi tatanan kehidupan mereka. Hal itu terbukti ketika angka aborsi terus meningkat di Amerika. Orang tidak lagi mengugurkan bayinya dikarenakan sebuah keterpaksaan (misalnya sebagai korban pemerkosaan) tetapi lebih kepada gaya hidup pergaulan bebas. Menurut Jean Bethke Elshtain, akibat putusan tersebut telah menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan di sepanjang tahun 1973 di banyak Negara-negara bagian di Amerika.[3]
Peradilan di Indonesia bahkan memiliki banyak catatan terhadap putusan yang dapat digolongkan kepada judicial terrorism. Kasus pencemaran Teluk Buyat oleh PT. Newmont adalah salah satu yang dapat dikatakan sebagai sebuah judicial terrorism.[4] Keresahan yang ditimbulkan putusan judicial terrorism tidak harus berbentuk kerusuhan massa . Dalam hal sebuah putusan dapat menyebabkan polemik politik yang menimbulkan ketidak pastian hukum, maka putusan tersebut dapat juga disebut sebagai sebuah judicial terrorism.
Kondisi itu terjadi dikarenakan masuknya kepentingan politik dan penguasa dalam ranah peradilan. Jed Rubenfeld dari Universitas Yale dalam buku berjudul Constitusionalism, Philosophical Foundations mengkhawatirkan masuknya kepentingan-kepentingan politik dalam interpretasi hakim. Menurutnya hakim tidak perlu memperhatikan terlalu dalam para politikus dan teori-teori politik, melainkan hakim haruslah benar-benar memahami bagaimana melakukan interpretasi hukum dengan baik.[5] Jangan sampai putusan hakim menjadi alat berdirinya tirani (judicial tyranny) kekuasaan politik. Jika itu terjadi, maka sebagai lembaga terpenting dalam menegakkan keadilan, lembaga peradilan sudah lari dari konteks tujuan keberadaannya selaku lembaga yang mengontrol seluruh institusi negara.
A. Penafsiran Tekstual dan Kontekstual
Cara hakim memaknai sebuah aturan hukum umumnya menggunakan dua pola tafsir, yaitu original intent atau non-original intent, biasa disebut juga dengan tekstual meaning atau contextual meaning. Intinya dua pola tersebut adalah pertikaian tak berkesudahan antara penganut paham positivisme hukum dan utilitarianisme (hukum progresif). Dalam lingkup terbatas dan jangka pendek, penafsiran kontekstual memang mampu menelurkan putusan progresif. Tapi penafsiran seperti ini berpotensi memicu dampak negatif untuk lingkup yang lebih luas dan jangka panjang. Sedikitnya ada dua aspek terkait dengan ini. Pertama, penafsiran kontekstual menggelincirkan MK menjadi lembaga kehakiman otoriter, karena MK memiliki cek kosong yang dapat ditulisnya sendiri. Atas nama penafsiran kontekstual, MK bebas menafsirkan konstitusi sesuai dengan keyakinannya meskipun bertolak belakang dengan yang tertulis di konstitusi. Ini merupakan praktek yang disebut oleh Jon Elster dan Stephen Holmes (1992) sebagai "backdoor constitutional amendment" (amendemen konstitusi melalui pintu belakang). Artinya, MK menyerobot kewenangan MPR sebagai pembuat UUD.
Masalahnya, apakah majelis hakim MK akan selalu konsisten menggunakan pendekatan tekstual dalam menafsirkan konstitusi? Jika jawabannya “tidak”, itu akan mempengaruhi kredibilitas MK. Akan muncul pertanyaan, mengapa untuk perkara ini majelis hakim konstitusi menggunakan pendekatan tekstual, sementara untuk perkara lain memakai pendekatan kontekstual. Selain itu, penafsiran konstitusi yang lentur (arbitrary interpretation) mengisyaratkan bahwa kedudukan MK lebih tinggi (supreme) daripada konstitusi.
Tidak ada perbedaan kedudukan antara konstitusi dan MK karena keduanya telah menjelma menjadi satu-kesatuan. Artinya, MK tidak dapat lagi disebut sebagai pengawal konstitusi, karena yang mengawal dan dikawal telah melebur menjadi satu. Padahal, dalam konteks prinsip supremasi konstitusi sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen (tokoh pencetus ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia), pengawal harus patuh dan berkedudukan lebih rendah daripada yang dikawal. Manakala potret seperti itu tercipta, akan menyusul dampak negatif kedua, yaitu potensi konflik antara MK dan lembaga tinggi negara lain, terutama dengan MPR/DPR sebagai lembaga pembuat konstitusi dan undang-undang. Ini potensial terjadi karena MK, melalui palu putusannya, berkuasa menafikan produk hukum dari lembaga tinggi negara tersebut.
Jika penafian itu terhadap undang-undang, bagaimanapun DPR harus menerimanya karena MK berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap konstitusi. Tetapi, jika penafian itu terhadap UUD 1945, yang merupakan saka guru bagi semua lembaga tinggi negara, konflik antara MPR/DPR sangat potensial terjadi.
Ketidaknyamanan DPR terhadap MK yang melakukan pengujian undang-undang telah mencuat beberapa waktu lalu. Sejumlah anggota Komisi III DPR mengkritik MK karena melampaui batas kewenangannya. Beberapa putusan MK dinilai bersifat ultra-petitum dan menerabas rambu normatif yang digariskan UU MK. Dapat diduga, potensi konflik semakin terasah jika DPR berkeyakinan MK telah menjelma menjadi--meminjam istilah Carlos Santiago dalam The Constitution of Deliberative Democracy--"supremasi organ aristokratik".
Konflik antara MK dan lembaga tinggi negara lainnya cukup sering terjadi di negara-negara demokrasi baru. Levent Gönenç, dalam studinya, “Prospects for Constitutionalism in Post-Communist Countries”, mencatat bahwa di banyak negara pascakomunis, hakim konstitusi menjadi aktor sangat berkuasa, dan kemudian lembaga eksekutif dan legislatif meresponsnya dengan mencoba menekan MK. Akibatnya, terjadi pertarungan terus-menerus antara MK dan lembaga tinggi negara lainnya, kadang itu berpuncak pada pengekangan kekuasaan MK.
Kasus seperti ini terjadi, misalnya, di Kazakhstan, Belarus, Romania, Bulgaria, Slovakia, dan Rusia. Tom Ginsburg, dalam bukunya Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases (2003: 101), juga mencatat kecenderungan konflik seperti itu, karena MK bertindak tergesa-gesa ketika praktek demokrasi masih belia. Penafsiran kontekstual bermanfaat sepanjang mampu menegasikan dua potensi dampak negatif di atas. Jika tidak, sebaiknya MK tetap berfokus pada penafsiran tekstual karena pendekatan ini relatif terukur.
Dalam studi hukum tata negara dikenal pula teori mengenai the living constitution theory yang dianggap bagian dari cara pandang hukum progresif. Al-Gore, salah satu kandidat dalam Pemilu di Amerika tahun 2000, mengatakan dalam kampanyenya mengenai sifat “hidup” dari sebuah konstitusi. Al-Gore menyatakan bahwa Hakim Agung di Supreme Court adalah orang-orang yang mengerti bahwa Konstitusi Amerika adalah sebuah dokumen yang “hidup dan bernafas”.[6] Menurutnya, para pendiri bangsa Amerika memang bertujuan membentuk dokumen yang mampu hidup tersebut agar dapat diterapkan sesuai dengan kehendak kehidupan rakyat Amerika berdasarkan jaman masing-masing generasi.
Namun tidak semua sepakat bahwa hukum itu harus terbuka terhadap sebuah jaman. Aliran pemikiran hukum lain menyatakan bahwa hakim hanyalah corong dari undang-undang (bouche de la loi) sebagaimana dinyatakan oleh Immanuel Kant dan Montesquieu.[7] Menurut Logeman walaupun hakim memiliki kewenangan memaknai sebuah undang-undang, namun hakim harus tunduk pada kehendak para pembuat undang-undang. Hakim pada tingkatan ini tidak lebih dari “robot” pelaksana pasal produk perundang-undangan.
Dua aliran pemikiran hukum tersebut di atas memiliki landasan berpikir sendiri-sendiri. Hal demikian sudah jamak dalam pelbagai ulasan terhadap sebuah permasalahan hukum. Perbedaan pandangan aliran hukum adalah sebuah diskursus yang tak akan pernah berkesudahan. Sehingga untuk mengetahui pola pikir mana yang benar dan tepat maka diperlukan uji praktis.
Berkaitan dengan putusan MK, maka dapat dilihat secara implementasi putusan-putusan yang menggunakan pendekatan penafsiran tekstual atau kontektual yang lebih dapat menyentuh rasa keadilan di masyarakat. Penulis mencoba menggali 4 putusan yang menurut hipotesa penulis menggunakan pendekatan tafsir tekstual dan putusan yang menggunakan pendekatan kontekstual.
1. Memilih Tafsir Living Constitution
Dua putusan yang menggunakan pendekatan kontekstual tersebut disambut antusias oleh masyarakat. Putusan suara terbanyak dan putusan penggunaan KTP sama sekali tidak menimbulkan pertentangan oleh publik. Walaupun putusan penggunaan KTP dilakukan pada hari-hari genting menuju Pemilu Presiden, namun tidak satupun pihak dari pasang calon Presiden dan Wapres yang mempertanyakan putusan tersebut. Demikian pula dengan putusan yang berkenaan dengan suara terbanyak walaupun tidak terdapat kata suara terbanyak dalam UUD 1945, namun hakim memaknainya demikian. Mayoritas kalangan berpendapat bahwa putusan ini telah sesuai dengan semangat demokrasi sesungguhnya.
Berbeda dengan dua putusan lain yang menggunakan pendekatan tekstual. Putusan ini dipertanyakan dan dikritik sebagai putusan yang tidak memiliki semangat keadilan. Bahkan putusan yang berkaitan dengan keberadaan pengadilan tipikor sampai saat ini tidak dilaksanakan oleh DPR. Hal itu dapat membahayakan kewibawaan MK sendiri apabila putusan MK tersebut diabaikan hingga tenggat waktunya. Artinya setiap orang akan menganggap bahwa putusan MK tidak wajib dipatuhi dikarenakan tidak memiliki hukuman. Akhirnya putusan itu dapat mengakibatkan bencana konstitusional.
Menurut Tom Ginsburg, putusan-putusan peradilan yang menggunakan metode formal (tekstual) telah ditinggalkan. Bagi Ginsburg penggunaan metode formal dalam peradilan sangatlah tidak tepat. Hal itu menurut Ginsburg akan menjadi tidak ada gunanya peradilan jika menerapakan aturan formal hukum dalam putusannya. Peradilan menjadi tidak memiliki perbedaan dengan lembaga legislatif. Ginsburg selengkapnya berpendapat sebagai berikut:
Formalism is a particularly inappropriate theory for understanding how courts behave in new democracies. If courts simply apply “the law,” there should be no difference in their willingness to do so across different political regimes.[8]
Melihat kondisi yang demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam memutuskan sebuah perkara, hakim MK semestinya tidak melihat teks UUD semata melainkan “jiwa” dari teks tersebut dan menyesuaikannya dengan kehendak konstitusional generasi kekinian dari bangsa Indonesia. Kalau Hakim MK tidak melakukan itu yang ada bukanlah judicial creativity melainkan judicial terrorism. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahadjo ludah dari 9 (Sembilan) Hakim MK dapat menjadi “api” (Kompas, 5/01/09) jika tidak memperhatikan semangat keadilan sesungguhnya.
2. Kontrol terhadap Mahkamah Konstitusi
Ziyad Motala dan Cyril Ramaphosa menuturkan mengenai pentingnya kontrol terhadap peradilan di Afrika Selatan. Tentu saja kontrol tersebut tidak merusak tatanan peradilan sebagai lembaga yang independen. Terdapat dua pola kontrol menurut Motala dan Ramaphosa yang dapat dilakukan terhadap peradilan, yaitu kontrol eksternal dan internal.[9] Sebagai sebuah bagian dari sistem pemisahan kekuasaan yang ditata dengan konsep checks and balances system, maka lembaga politik merupakan bagian penting dalam melakukan kontrol eksternal terhadap peradilan.
Motola dan Ramaphosa berpendapat bahwa apabila Mahkamah Konstitusi membuat sebuah putusan yang tidak disukai oleh mayoritas publik, maka legislatif dapat melakukan pembenahan melalui amandemen konstitusi. Hal itu tentu saja diatur dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Motola dan Ramphosa menekankan mengenai perubahan konstitusi bahwa; the process for amending the constitution is both rigid and different from ordinary legislation.[10]
Format kedua dalam melakukan control terhadap hakim adalah melalui pergantian para hakim konstitusi. Di Afrika Selatan pergantian hakim tidak mudah dilakukan. Seorang hakim hanya dapat diganti apabila The Judicial Service Commission (JSC, sejenis Komisi Yudisial) menemukan bukti-bukti bahwa:
- hakim tersebut tidak memiliki kapasitas yang dipersyaratkan sebagai hakim;
- hakim tersebut nyata sekali tidak berkompeten di bidangnya;
- terbukti melakukan pelanggaran etika (misconduct).[11]
Namun bukti-bukti dari JSC tersebut belumlah cukup. National Assembly Afrika Selatan kemudian akan melakukan voting dengan sekurang-kurangnya 2/3 mayoritas anggota menyetujui pergantian tersebut. Walaupun dalam kondisi tertentu Presiden dapat saja mengganti seorang hakim dengan juga memperhatikan pendapat dari JSC.[12]
Dalam konteks Indonesia , MK sendiri telah memberangus pemantauan eksternal yang coba dilakukan Komisi Yudisial (KY). Padahal dalam konteks untuk menjaga agar tidak terjadi putusan yang dapat dikategorikan sebagai judicial terrorism, maka semestinya MK menguatkan fungsi-fungsi pengawasan KY. Sebuah lembaga kekuasaan yang luput dari pengawasan maka akan tercipta sebuah kekuasaan absolute. Meminjam istilah Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung menyimpang, sedangkan kekuasaan absolut sudah pasti menyimpang, maka keberadaan MK yang minus pengawasan tersebut akan menjadikan MK lepas kendali.
Terhadap hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Motala dan Ramaphosa maka diperlukan pembenahan pada tingkat konstitusi. Bab Kekuasaan Kehakiman UUD 1945 perlu dilakukan perombakan agar MK tidak menjadi lembaga yang minus pengawasan. Jika tidak dibenahi maka suatu saat ketika terdapat generasi-generasi hakim MK yang menyimpang, maka akan menjadi sulit untuk dilakukan pergantian. Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak menyinggung mengenai pemberhentian yang didasari laporan dari sebuah lembaga yang memantau kinerja hakim MK. Padahl di Negara-negara yang menjunjung penghormatan terhadap profesi hakim tetap melakukan pengawasan ketat terhadap hakimnya. Di Amerika saja tindakan moral kecil sekalipun (misdemeanor) dapat menjadi alasan untuk memberhentikan seorang hakim.
Untuk itu pembenahan terhadap MK perlu dilakukan agar tidak tercipta sebuah peradilan yang menghasilkan putusan-putusan yang bernuansa teror. Judicial terrorism dapat dicegah melalui pemantauan hakim, menyatuatapkan kewenangan judicial review, dan mempertahankan semangat substantive justice yang sedang dibangun oleh MK saat ini. [1] Satybrata Sinha, Judicial Activism: Its Evolution and Growth, dalam D. Banerjea (edt), Judicial Activism, Vikas Publishing House, New Delhi, 2002, hlm.14.
[3] Jean Bethke Elshtain, Roe v. Wade: Speaking the Unspeakable., dalam: Robert P. George (Edt), Great Cases in Constitutional Law, Universal Law Publishing Co.Pvt.Ltd., New Delhi , 2001, hlm. 175.
[5] Jed Rubenfeld, Legitimacy and Interpretation., dalam: Larry Alexander (Edt), Constitutionalism, Philosophical Foundations, Cambridge University Press, United Kingdom , 2005, hlm. 205.
[7] Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta , 2001, hlm.42.
[8] Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies Constitutional Court in Asian Cases, Cambridge University Press, USA , 2003, hlm. 69.
[9] Ziyad Motala dan Cyril Ramaphosa, Constitutional Law, Analysis and Cases, Oxford University Press, South Africa , 2002, hlm. 93.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar