Gagasan awal dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) di Indonesia adalah untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul antara pemerintah dengan warga negaranya. Keberadaan PERATUN juga sekaligus bertujuan untuk mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintah yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).[1]
Eksistensi PERATUN diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1986, kemudian diubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 dan diubah lagi dengan Undang-Undang No.51 Tahun 2009. Perubahan tersebut dilatar belakangi oleh putusan PERATUN yang cenderung tidak efektif karena sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutor dan tidak adanya sanksi hukum serta dukungan kewenangan lainnya. Keterbatasan kewenangan PERATUN tersebut menyebabkan putusan TUN sangat lemah dalam eksekusi. Keterbatasan kewenangan PERATUN selama ini karena terbentur oleh asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas.
Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 diharapkan nantinya dapat memperkuat eksistensi PTUN. Terutama dengan adanya norma baru yang mengatur uang paksa (dwangsom) dan pemberian sanksi administratif bagi pejabat yang tidak mau mematuhi putusan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap. Tetapi kedua norma baru ini ternyata tetap tidak menyelesaikan persoalan dan tetap tidak dapat diefektifkan. Penyebabnya, norma baru tersebut tidak disertai dengan hukum acara dan kejelasan prosedur. Misalnya, tidak jelas siapa yang harus membayar uang paksa (pejabat atau institusinya), berapa besaran uang paksa yang harus dibayar, bagaimana tata cara pemberian sanksi administratifnya dan apa saja jenis sanksi administratif yang dapat diberikan.
Ketidak jelasan hukum acara eksekusi Putusan TUN dalam UU No.9 Tahun 2004 tersebut kemudian diperbaiki melalui perubahan kedua dengan ditetapkannya UU No 51 Tahun 2009. Di dalam undang-undang tersebut dilakukan perbaikan norma dengan menggunakan tahapan pemberian sanksi terhadap pejabat yang tidak mematuhi putusan TUN. Pertama, apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap diterima, tapi tergugat tidak melaksanakan, maka keputusan TUN yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Tahap kedua, jika putusan itu tetap tidak dilaksanakan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kemudian, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan. Ketiga, jika pejabat TUN tetap tidak melaksanakan Putusan tersebut, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa berupa pembayaran sejumlah uang dan/atau sanksi administratif.
Tahapan berikutnya, jika penerapan uang paksa juga juga tidak dipatuhi, pejabat TUN tersebut diumumkan di media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan uang paksa atau sanksi administratif. Selain itu, ketua pengadilan bisa mengajukan pejabat TUN tersebut kepada Presiden dan DPR dalam rangka fungsi pengawasan.
Pengaturan berbagai mekanisme dan sanksi dalam UU No 51/2009 sebenarnya memang telah lengkap tetapi masih memiliki beberapa celah karena undang-undang tersebut tidak sekaligus mengatur mengenai hukum acara pemberian sanksi uang paksa dan sanksi administrasi yang akan diberikan, termasuk besaran uang paksa dan jenis-jenis sanksi administrasinya. Undang-undang tersebut justru mengamanatkannya kepada peraturan perundang-undangan lain.[2] Hal ini akan kembali menimbulkan persoalan karena tidak jelas yang dimaksud diatur dengan peraturan perundang-undangan apakah undang-undang yang telah ada atau akan dibentuk dengan undang-undang baru atau dengan Peraturan Pemerintah atau dengan Peraturan Presiden.
Dilakukannya 2 (dua) kali perubahan terhadap UU No.5 Tahun 1986 oleh masalah tidak efektifnya putusan TUN. Menyoal ketidakefektifan Putusan TUN tersebut sebenarnya tidak hanya dialami oleh Indonesia saja. Banyak negara-negara lain yang juga menghadapi kendala serupa. Hal ini tampak dalam Kongres VIII International Association of Supreme of Administratif Jurisdiction di Madrid tahun 2004 silam. Dalam kongres tersebut salah satu agenda pentingnya adalah membahas mengenai problematika putusan pengadilan TUN. Dalam kongres tersebut ternyata hampir banyak negara memiliki metode yang beraneka ragam dan berbeda-beda, namun penting untuk dipelajari mengingat peradilan administrasi Indonesia juga mengalami kendala yang sama seputar eksekusi Putusan TUN.
Dari semua model yang diterapkan di seluruh negara (yang memiliki peradilan administrasi), secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) model, yaitu eksekusi langsung yang dilakukan oleh pengadilan, atau model eksekusi tidak langsung, dilakukan dengan meminta bantuan cabang kekuasaan negara lain (bisa eksekutif atau legislatif) atau dengan membentuk lembaga khusus yang menangani proses eksekusi (lembaga eksekutor) dimana lembaga tersebut tetap berada di bawah peradilan TUN, atau dengan memanfaatkan lembaga eksekutor yang telah ada di lembaga peradilan lainnya.
Di Swiss, Australia dan Finlandia, eksekusi putusan TUN tetap dilakukan oleh pengadilan TUN, namun hakim dapat menunjuk lembaga lain jika dinilai lebih baik dan dapat lebih efektif dalam upaya penegakan putusan tersebut. Khusus untuk Swiss beberapa kanton dilakukan dengan membentuk lembaga khusus yang bertugas mengeksekusi setiap putusan TUN. Namun lembaga tersebut tidak berdiri sendiri, tetap berada dibawah pengadilan TUN.[3]
Sementara beberapa negara di Afrika seperti Kongo dan Pantai Gading, cara untuk mengeksekusi Putusan TUN yang tidak dipatuhi oleh pejabat diserahkan kepada Presiden. Penyerahan eksekusi tersebut dilakukan dengan surat permintaan kepada Presiden agar mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan TUN. Jika surat perintah Presiden tersebut tidak dipatuhi maka Presiden berhak memberikan sanksi sesuai pertimbangan Presiden. Model yang diterapkan di Kongo dan Pantai Gading ini hampir sama dengan Finlandia, namun pengawasan pelaksanaan Putusan TUN-nya tidak langsung dilakukan oleh Presiden namun oleh Menteri Kehakiman.[4]
Di Indonesia, eksekusi putusan TUN seringkali masih diperdebatkan mengenai sejauh mana hakim dapat mengeksekusi putusan TUN yang telah ditetapkannya. Bagi banyak pakar, eksekusi putusan TUN tidak boleh diatur terlalu jauh apalagi sampai memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberikan sanksi kepada pejabat. Sebab akan membentur asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah). Implikasinya, walaupun undang-undang yang mengatur tentang peradilan TUN telah diubah sebanyak dua kali, namun tetap saja norma-norma yang mengatur mengenai eksekusi putusan TUN banyak mengalami kerancuan.
Dalam ketentuan norma yang baru (UU No.51 Tahun 2009), terdapat kemajuan karena hakim telah diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi kepada pejabat yang tidak mematuhi putusan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap. Pemberian sanksi tersebut berupa uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif. Namun sayangnya norma ini tidak sampai mengatur sampai pada hukum acaranya sehingga tidak jelas bagaimana penerapan uang paksa dan pemberian sanksi administrasi oleh pengadilan kepada pejabat yang bersangkutan. Apalagi ternyata sanksi dwangsom dan sanksi administratif tersebut tidak bersifat mutlak, karena masih ada sanksi lain yang dapat diberikan oleh pengadilan yaitu sanksi berupa pencantuman nama pejabat di media massa cetak setempat oleh panitera jika si pejabat tidak mematuhi sanksi dwangsom dan sanksi administratif yang telah diberikan.
Norma sanksi yang awalnya kuat karena ada ancaman sanksi dwangsom dan administrasi (sanksi hukum) justru menjadi lemah karena adanya sanksi alternatif yang bersifat sebatas sanksi moral saja. Bagi pejabat Indonesia yang masih belum memiliki budaya dan kesadaran hukum yang tinggi saat ini, dikhawatirkan akan memilih sanksi berupa pencantuman namanya di media massa, karena sanksi tersebut tidak menimbulkan kosekuensi hukum yang berarti, berbeda dengan sanksi dwangsom yang dapat menimbulkan kerugian materi atau sanksi administrasi yang dapat mengancam jabatan yang diembannya.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa walaupun undang-undang yang mengatur tentang peradilan tata usaha negara telah diubah sebanyak 2 (dua) kali namun tetap tidak memberikan kewenangan yang kuat kepada hakim pengadilan TUN untuk mengeksekusi putusan yang telah ditetapkannya. Padahal di negara-negara lain, seperti di Spanyol, Mesir dan Turki, setiap hakim (termasuk hakim peradilan TUN) diberikan wewenang penuh untuk melakukan semua tindakan yang diperlukan dalam rangka menjaga efektifitas pelaksanaan putusan TUN. Bahkan di Spanyol konstitusinya secara tegas menyatakna bahwa setiap hakim berwenang untuk menghakimi dan menegakkan apa yang telah diadili (juzgar y hacer ejecutar lo juzgado).[5]
Berbagai model eksekusi putusan TUN yang diterapkan diberbagai negara tersebut didasarkan pada fakta obyektif tentang problem birokrasi di masing-masing negara yang dalam kasus-kasus tertentu juga seringkali tidak mau melaksanakan putusan TUN, sehingga melahirkan hukum acara eksekusi putusan TUN. Berbeda dengan Inggris dan Wales, dalam laporannya utusan dari kedua negara tersebut di dalam Kongres VIII International Association of Supreme of Administratif Jurisdiction menyatakan hampir tidak ada masalah mengenai penegakan putusan TUN di negara mereka. Setiap putusan TUN yang dikeluarkan oleh pengadilan TUN, baik di Inggris dan Wales selalu mendapatkan dukungan oleh seluruh elemen lembaga negara. Sehingga semua putusan TUN tanpa perlu paksaan ataupun ancaman sanksi langsung dilaksanakan oleh pejabat bersangkutan. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan tentang peradilan administrasi negara di kedua negara tersebut tidak sampai mengatur hal-hal mengenai tata cara eksekusi TUN.[6]
Inggris dan Wales tentu sebagai pengecualian karena peradilan TUN di kedua negara tersebut ditopang oleh sistem administrasi yang mapan dan serta sumber daya manusia yang kesadaran hukumnya telah terbangun dengan baik.[7] Berbeda dengan negara-negara yang sistem administrasinya masih lemah dan kesadaran hukum para pejabatnya masih rendah seperti di Indonesia. Masih dibutuhkan suatu norma khusus yang dapat memberikan kewenangan yang kuat kepada hakim untuk memberikan sanksi terhadap pejabat yang tidak melaksanakan putusan TUN. Dan juga diperlukan sebuah lembaga khusus (lembaga eksekutor) yang khusus melaksanakan putusan TUN.
Jika mengacu pada Swiss, lembaga eksekutor tersebut kekuasaannya tetap berada peradilan tata usaha negara yang kewenangannya sampai pada penjatuhan sanksi berupa: pemberhentian pejabat dari jabatannya. Dengan melihat kewenangan lembaga eksekutor ini memang akan menghadapi tantangan yang cukup berat karena dinilai akan mencampuri wilayah eksekutif dalam hal kepegawaian, sebab mutasi, kenaikan pangkat promosi dan sanksi administrasi kewenangan eksekutif.
Masalah ini dapat diselesaikan dengan memperkaya unsur lembaga eksekutor dengan melibatkan unsur yudikatif (peradilan TUN) eksekutif, meliputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, Departemen Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM yang ditunjuk oleh menteri masing-masing. Atau jika, lembaga ini dinilai terlalu sulit, maka dapat dibentuk badan ad hoc yang dibentuk hanya pada saat suatu putusan TUN tidak dilaksanakan oleh pejabat. Di Luxemburg misalnya, Comite du Contentieux du Conseil d'Etat yang akan menunjuk komisioner khusus yang bertugas melaksanakan eksekusi putusan pengadilan. Begitu juga di Itali, pengadilan akan membentuk ad acta juga bertugas untuk mengeksekusi putusan pengadilan yang terdiri dari unsur praktisi atau bisa juga PNS.[8]
[1] Adriaan Bedner, Administrative Courts in Indonesia , A Socio-Legal Study ( Kluwer Law International: Netherlands , 2001), hal. 12
[2] Lihat Pasal II angka 30 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[3] International Association of Supreme Administrative Jurisdictions, The Executions of Decisions of The Administrative Court, (VIIIth Congress, General Report of Congresses, Madrid : 2004) hal. 19 … In Switzerland , where the rule is the same as in Australia and Finland , the judge can appoint another authority if he considers it is better placed in order to enforce the court’s decision. Some Swiss cantons have also established a subsidiary power of enforcement in the hands of several administrative authorities. In other legal systems, the judge can request the aid of another power of the State, that decides what are the proper means for the implementation of the court’s decision.
[4] Ibid. Such is the case, for example, of Congo , where the judge makes the request to the President of the Republic, who orders the enforcement to the administrative authorities (in the same terms as Ivory Coast ). In the case of Finland, administrative enforcement of the court’s decisions is supervised by the Minister of Justice
[5] Ibid. hal 21 The Spanish Constitution guarantees, in very clear terms, the power of judges and courts to enforce their decisions: juzgar y hacer ejecutar lo juzgado (to judge, and enforce what has been judged). This provision is equally important in interpreting the powers of the court in relation to enforcement, for its powers in this area are, as it can be seen, of a considerable high degree.
[6] Ibid. hal.22 … In England and Wales , the report explains that hardly any problems concerning enforcement arise. Furthermore, the instruments to enforce judgements in the area of administrative law are the same as the mechanisms provided in private or criminal law. It is submitted that several legal orders with autonomous systems of administrative law make reference to civil procedures only to regulate certain aspects (that is an outstanding feature of German administrative law).
[7] Ibid.
[8] In Italy , mechanisms of assistance to the court have been instituted in cases of administrative inaction. Such is the case of the commissioner ad acta, although he currently lacks of a well defined statutory profile. The commissioner ad acta will either be a member of the judicature, a private practitioner or, if the court considers it reasonable, a civil servant in charge of those matters linked to the contents of the enforced decision. It is important to underline, as the Italian report has insisted, that the commissioner ad acta’s actions are not considered to be administrative acts, and thus he is merely an authority under the orders of the court in charge of enforcement. Thus, the parties can turn to the court in order to review the commissioner’s actions. Other systems with codified law have also created such figure. That is the case of Luxembourg , where the Committee of Judicial Review of the State Council (Comité du Contentieux du Conseil d’Etat) has the power to appoint a special commissioner in charge of enforcing the court’s decision. In Belgian law (which was the inspiring model of Luxembourg ’s system, as the report from the Grand Duchy points out), special commissioners are specifically confined to mechanisms of control over the powers of decentralised authorities
Tidak ada komentar :
Posting Komentar