Kamis, 05 Agustus 2010

Antara Keadilan dan Penegakan Hukum


            Adalah Oliver Holmes yang pertama kali berani menyatakan bahwa law is not logic, but it’s experience setelah dalam beberapa abad terakhir hukum didominasi oleh pemikiran positifis yang bersifat letter lux. Pendapat ini didasarkan pada pandangan rules sceptics dan fact scpetics dimana rule dan fact dalam proses pengadilan amat tergantung pada penafsiran hakim. Dalam kacamata ini Holmes tidak mau memandang paper rules (aturan di atas kertas) sebagai sumber putusan, karena norma hukum yang sebenarnya adalah real rule (aturan nyata). Oleh karena itu menurut Holmes setiap keputusan hakim agar tetap bisa menjaga rasa keadilan di masyarakat maka dasar pijakannya adalah penafsiran terhadap real rule sebagai norma hukum yang sesungguhnya, bukan paper rule yang kaku dan tidak bernyawa.[1]
Dalam bahasa lain Sacipto menambahkan, penafsiran hukum yang dibutuhkan untuk mencapai rasa keadilan adalah penafsiran yang harus bersifat progresif untuk kembali memanusiakan aturan hukum yang sangat kaku (baca: formal). Cara itu berguna agar hukum mampu mencapai kehendak tertinggi dari keinginan manusia di dunia yaitu kebahagian. Hukum berfungsi mencapat harapan-harapan tersebut, menurut Satjipto hendaknya hukum bisa memberikan kebahagian kepada rakyat dan bangsanya.[2] Untuk mencapai kebahagian itu, hukum sebagai alat harus mampu dipraktikan secara luar biasa dan progresif. Masyarakat memang membutuhkan ketertiban serta keteraturan, sebab itu masyarakat membutuhkan hukum. Namun ketertiban hukum tidak harus menghalangi manusia untuk bertindak progresif agar hukum menjadi hidup dan menyentuh aspek-aspek keadilan di masyarakat.
Kewenangan menafsir aturan hukum yang dilakukan lembaga peradilan adalah sebuah sarana dalam menafsir hukum secara progresif yang bermula pada kasus Madison versus Marbury di Amerika.[3] Hakim adalah harapan para justiabelen (pencari keadilan) oleh karena itu mereka harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum sebagaimana dipopulerkan oleh Ronald Dworkin (moral reading of law) karena menurut Dworkin hakim adalah polisi moral yang tidak bisa dibatasi dengan teks hukum an sich.[4]


[1] Olliver Wendel Holmes, The Path of the Law
[2] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), hal.10
[3] Satjipto Rahardjo, MA yang Progresif, (Kompas, 23/01/2009)
[4] Feri Amsari, Hakim Bermuka Dua: Prosedural dan Progresif, http://www.feriamsari. wordpress.com.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar