Rabu, 04 Agustus 2010

Mengagas Politik Desentralisasi Indonesia ke Depan


Desentralisasi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak Republik ini didirikan. Hanya saja karena arus desentralisasi dengan tuntutan otonomi yang lebih luas baru muncul seiring dengan tuntutan reformasi, terlihat seolah-olah pemerintahan Indonesia baru mengenal desentralisasi di tahun 2001.[1]

Dari catatan sejarah, Indonesia telah mengenal desentralisasi sejak pemerintahan Hindia Belanda melalui pemberlakuan Decentralisasie Wet 1903 dan Bestuurhervormingswet 1922 yang membagi Hindia Belanda ke dalam daerah-daerah otonom meliputi provincie, regentschap (kabupaten) dan staatsgemeente (kota). Pasca kemerdekaan beberapa undang-undang mengenai otonomi daerah juga telah diberlakukan, dimulai dari UU No.1 Tahun 1945, UU No.22 Tahun 1948, UU No.1 Tahun 1957, UU No.18 Tahun 1965 dan UU No.5 Tahun 1974.

Sebagaimana umumnya negara-negara yang menganut faham negara kesatuan (unitarism) desentralisasi di Indonesia dibangun atas prinsip tidak ada negara dalam negara.[2] Menurut Hoessein, daerah otonom dalam negara kesatuan memang tidak memiliki kedaulatan dan juga tidak memiliki pouvoir constituant[3] sebagaimana halnya negara bagian di dalam negara federal, karena keberadaannya tetap di bawah subordinasi pemerintah. Hal lain, desentralisasi yang dilaksanakan juga hanya sebatas administrative decentralization, bukan legislative decentralization maupun judicial decentralization seperti state di negara federal.[4]

Desentralisasi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan memang selalu membawa konsekuensi dibentuknya self local-government[5] dan autonomous financial responsibility[6], namun desentralisasi sendiri sebenarnya hanya sarana (means) untuk mencapai tujuan. Sebagai sarana, menurut Leemans menjadikan praktik desentralisasi di setiap negara dan di setiap periode pemerintahan dalam satu negara berbeda-beda (mengikuti tujuannya masing-masing). Tujuan desentralisasi dapat berupa national unity (kesatuan bangsa), democratic government (pemerintahan demokratis), kemandirian, efisiensi administrasi dan pembangunan sosial ekonomi. Karena tujuan nasional yang beragam itulah akhirnya suatu negara kerap kali membuat skala prioritas tujuan yang berbeda dalam penyelenggaraan desentralisasi.[7]

Fried mengelompokkan berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam penyelenggaraan desentralisasi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu: negara-negara yang menganut structural eficiency dengan ciri prioritas pada national unity dan eficiency; dan negara-negara yang menganut democracy dan autonomy dengan ciri prioritas pada penguatan local democracy dan kemandirian daerah.[8]

Structural eficiency (menggunakan pendekatan Smith) biasanya dipraktikkan oleh negara-negara yang derajat konsensus rakyatnya rendah atau negara yang sering mengalami perpecahan (pemberontakan) dan ketidakstabilan politik.[9] Oleh karena itu desentralisasinya dibatasi agar tidak menimbulkan disintegrasi. Pembatasan desentralisasi dalam praktik dilakukan dengan 2 (dua) macam cara: pertama, dalam hal pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah digunakan metode ultra vires doctrine[10] dimana urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah dirinci satu persatu; dan kedua, dalam rangka efisiensi administrasi, pembagian wilayah antara daerah otonom dan wilayah administrasi digunakan fused model[11] dimana batas wilayah daerah otonom diintegrasikan dengan batas wilayah administrasi sehingga kepala daerah merangkap sebagai kepala prefect (kepala wilayah administrasi). Kelemahannya, daerah otonom tidak memiliki keleluasaan dalam menyelenggarakan pemerintahannya, sehingga derajat local democracy dan kemandirian daerah otonom rendah karena kewenangan yang diberikan oleh pemerintah terbatas, asimetris[12] dan dinamik (tidak ajeg) mengikuti perkembangan situasi politik nasional.

Sementara itu, model desentralisasi kedua yang bertujuan local democracy dan kemandirian daerah biasanya dipraktikkan oleh negara-negara yang derajat konsensusnya tinggi, stabilitas politik terjaga bagus dan tidak rentan perpecahan. Caranya dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah dengan model open end arranggement[13] dimana urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah diberikan secara umum (luas) tanpa perincian kecuali urusan-urusan yang bersifat nasional yang tetap menjadi urusan pemerintah (pusat).

Kelebihan dari open end arrangement sebagai wujud praktik otonomi seluas-luasnya akan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menyusun program-program pembangunannya berdasarkan tuntutan, kebutuhan dan aspirasi rakyat di masing-masing daerah yang tentunya mensyaratkan adanya partisipasi aktif seluruh elemen rakyat di daerah. Sehingga “demokratisasi” di tingkatan lokal dapat terbangun dan terjaga. Namun kelemahannya, akan melahirkan kesenjangan antar daerah dan didalam daerah itu sendiri. Bagi negara kesatuan yang sejarah konsensus rakyatnya berangkat dari kesamaan nasib sebagai rakyat terjajah (terutama negara-negara eks kolonial) jika tidak diikuti dengan pemeliharaan nilai-nilai kebangsaan, ke depan justru akan menurunkan derajat konsensus sebagai satu bangsa dan negara terutama bagi rakyat di daerah-daerah miskin karena merasa ditinggalkan.

***

Indonesia sendiri sebenarnya pernah mempraktikkan kedua model desentralisasi tersebut, baik structural eficiency maupun local democracy. Model structural eficiency di Indonesia sangat kental terlihat di era pemerintahan Orde Baru (pemberlakuan UU No.5 Tahun 1974) dimana daerah otonom yang dibentuk disatukan wilayahnya dengan wilayah administrasi (fused model) sehingga gubernur, bupati/walikota memiliki jabatan rangkap sebagai kepala daerah otonom sekaligus sebagai kepala wilayah administrasi (prefect).  Karena tujuannya national unity (menjaga dan memelihara persatuan nasional) gubernur, bupati/walikota akhirnya lebih banyak berperan sebagai kepala wilayah administrasi (prefect) daripada sebagai kepala daerah. Hanya saja desentralisasi era Orde Baru dalam perkembanganya terdistorsi dari national unity kepada kelanggengan/stabilitas kekuasaan belaka.

Pada masa demokrasi terpimpin, melalui UU No.18 tahun 1965 juga sempat dipraktikkan desentralisasi dengan tujuan national unity sebagai respon atas ketidakstabilan politik yang berlangsung selama masa demokrasi parlementer. Otonomi seluas-luasnya yang dituangkan dalam UU No.1 Tahun 1957 dan Pasal 131 ayat (2) UUDS 1950 kemudian kembali dibatasi melalui TAP MPRS No.XXI/MPRS/1966, dimana setiap daerah diberikan tanggung jawab untuk lebih mengedepankan kepentingan nasional daripada kepentingan kedaerahan.

Pasca reformasi, dengan pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999,[14] tujuan desentralisasi Indonesia dari structural eficiency kembali berubah ke arah local democracy dan autonomy. Otonomi yang diselenggarakan bukan lagi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab seperti yang diatur dalam UU No.5 Tahun 1974 sebelumnya, tetapi otonomi yang seluas-luasnya seperti masa demokrasi parlementer di bawah UUDS 1950[15]. Otonomi seluas-luasnya tersebut dipraktikkan dengan penyerahan kewenangan menggunakan open end arrangement dimana kewenangan pemerintah daerah diberikan secara umum (luas) tanpa perincian dan tanpa batas, kecuali urusan pemerintahan yang memang telah ditetapkan oleh undang-undang sebagai urusan pemerintah pusat yaitu: pertahanan dan keamanan, moneter, politik luar negeri, peradilan dan agama serta bidang pemerintahan yang bercirikan kepentingan nasional.

***

Era desentralisasi pasca reformasi dengan prioritas pertumbuhan local democracy dan kemandirian daerah kemudian berjalan seiring dengan praktik good governance yang bersandar pada 3 (tiga) pilar: accountability, transperency dan participation.[16] Ketiga prinsip tersebut secara umum mengarah kepada terbangunnya demokratisasi ditingkatan lokal. Penyelenggaraan pembangunan yang didasarkan pada ketiga prinsip itu mensyaratkan adanya kesadaran yang tinggi serta peran aktif rakyat di dalam setiap penentuan kebijakan di daerah.

Walaupun sisi positif dari desentralisasi adalah berkembangnya local democracy, namun sebagaimana yang menjadi kendala penyelenggaraan otonomi seluas-luasnya adalah lahirnya daerah kaya dan miskin dalam demarkasi yang saling berhadapan, yang berpotensi memperlemah derajat konsensus negara kesatuan. Semakin tinggi tingkat kesenjangan semakin tinggi pula potensi lepasnya daerah miskin mapun kaya dari kerangka nation-state Indonesia.

Di Indonesia, kesenjangan antara daerah kaya dan miskin adalah fakta empirik yang tak terbantahkan. Sebab walaupun memiliki kekayaan SDA yang berlimpah, namun berdasarkan peta geografis potensi SDA, nampak nyata sama sekali tidak merata. Dari 485 kab/kota, hanya 62 kab/kota saja yang memiliki SDA. Begitu pula dengan propinsi, hanya  6 dari 33 provinsi yang memiliki SDA.[17]

Belajar dari berbagai negara, upaya penanggulangan kesenjangan daerah kaya dan miskin dilakukan dengan cara tidak menyerahkan desentralisasi fiskal sepenuhnya. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan daerah tetap dibatasi dengan memberikan porsi pembagian pendapatan terbesar kepada pemerintah. Tujuannya agar pemerintah tetap dapat mengatur pendistribusian kekayaan secara adil dan merata kepada seluruh daerah dalam bentuk dana bantuan (baik yang bersifat block grant, specific grant maupun machting grand). Sehingga bagi daerah miskin, akan tetap dapat melaksanakan program-program pembangunannya dengan menggunakan dana bantuan dari pemerintah tersebut. Disamping itu, untuk mencegah kesenjangan pendapatan pegawai antar daerah, pemerintah pusat menggunakan integrated local government personnel system[18] dimana sistem kepegawaian pusat dan daerah diintegrasikan dan dikelola oleh pemerintah pusat sehingga gaji PNS dan standar kepangkatan di daerah kaya maupun miskin tetap seragam serta pendapatan yang proporsional.

Di Indonesia praktik bantuan keuangan pusat kepada daerah dilakukan dalam bentuk DAU (block grant), DAK[19] (specific grant) dan dana tugas pembantuan. Bantuan keuangan yang tujuannya mencegah terjadinya kesenjangan antar daerah adalah DAU[20]. Metode DAU sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan daerah kaya dan miskin memuat 2 (dua) komponen yaitu pemenuhan alokasi dasar (gaji PNS daerah)[21] dan celah fiskal (kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskal daerah).[22] Tingginya Celah Fiskal pastinya dialami oleh daerah-daerah miskin (miskin SDA dan PAD) yang saat ini totalnya mencapai + 440 daerah otonom (92%).

Berdasarkan perhitungan staf World Bank berdasarkan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Departemen Keuangan RI, antara celah fiskal dan alokasi dasar dalam DAU yang digelontorkan ke daerah perbandingannya adalah 50:50.[23] Namun perhitungan World Bank ini kemudian terbantahkan oleh local budget study yang dilakukan FITRA di 41 kab/kota yang hasilnya rata-rata 80:20, jauh lebih besar alokasi dasar daripada celah fiskal.[24] Hasil penelitian FITRA ini jelas bukan merupakan realitas yang menyenangkan bagi DPR maupun Pemerintah sebagai pembuat kebijakan legislasi desentralisasi. Karena celah fiskal dalam DAU saat ini adalah satu-satunya “senjata pamungkas” untuk menyelesaikan persoalan kesenjangan sekaligus kesejahteraan bagi daerah tetapi dalam praktiknya ternyata berjalan tidak efektif.

Akan tetapi yang lebih ironis adalah ditengah tidak efektifnya DAU mengatasi kesenjangan daerah, tuntutan daerah untuk menjadi daerah otonom baru justru semakin menguat dan cenderung tak terkendali, padahal praktik pembentukan daerah otonom baru (pemekaran) kurun waktu 1999-2008 hasilnya hanya semakin memperbanyak jumlah daerah miskin. Sebagaimana hasil penelitian Sucipto, dari 103 daerah otonom yang dibentuk kurun waktu 1999-2008, hanya 16 daerah saja yang memiliki potensi kekayaan daerah yang memadai, sisanya 87 daerah otonom baru terpaksa harus digolongkan sebagai daerah miskin bergabung dengan daerah miskin yang telah ada sebelumnya.[25]

Hasil penelitian local budget study FITRA juga menunjukkan adanya kecenderungan dari daerah yang lebih memilih meningkatkan kebutuhan government personeel daripada peningkatan kualitas dan penyediaan fasilitas pelayanan publik, yang ditunjukkan dengan tren kenaikan dari tahun ke tahun di dalam belanja pegawai, berbeda dengan tren belanja pelayanan publik yang cenderung stagnan dan di beberapa daerah bahkan turun. Tren kenaikan belanja pegawai ini cenderung menunjukkan adanya gejala “disorientasi” dari banyak pemerintah daerah (miskin) yang tampak telah kehabisan cara dalam meningkatkan pendapatan kecuali dengan memperbesar alokasi dasar melalui penggemukan birokrasi (rekrutmen PNS). Disamping itu, fakta tersebut juga telah menunjuk kecenderungan politik stabilitas dalam rangka menjaga status quo. Gejala disorientasi tersebut semakin terlihat jelas lagi dari data FITRA yang juga menunjukkan dalam upaya menggenjot PAD di sebagian besar daerah, yang secara “gelap mata” dengan menjadikan kesehatan sebagai “komoditas” unggulan bagi PAD yang berakibat terampasnya hak-hak kesehatan rakyat miskin.[26]

            Dalam persoalan lain, minimnya kapasitas fiskal daerah masih harus dibebani pula oleh pembiayaan penyelenggaraan pilkada. Cara yang dilakukan umumnya pemerintah daerah untuk memenuhi pembiayaan pilkada (sebagaimana hasil penelitian FITRA) yang notabene adalah amanat UU, seringkali dilakukan dengan cara mempertinggi SILPA paling tidak selama 3 tahun anggaran. Implikasinya, banyak program-program pelayanan publik yang terpangkas selama 3 tahun dalam setiap lima tahunnya. Padahal pemangkasan ini sama saja dengan  merampas hak-hak rakyat (miskin) atas anggaran.

            Menghadapi persoalan beban keuangan daerah karena penyelenggaraan Pilkada tersebut, ke depan perlu didorong gagasan tentang general election system (sistem pemilu) yang lebih demokratik, sederhana dan efisien yaitu “Pemilu cukup  2 kali dalam setahun setiap 5 tahun” dengan tawaran 2 (dua) model penyelenggaraan: pertama, Pemilu legislatif (DPR, DPD dan DPRD) dan pemilu eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota), atau Pemilu nasional dan Pemilu lokal serentak. Kedua tawaran model tersebut prinsipnya sama, demokratik, penyederhanaan dan efisiensi. Demokratik berarti tidak mengebiri serta mengakomodasi hak-hak politik rakyat pemilih. Sederhana karena cukup melakukan pemungutan suara  2 kali dalam setahun setiap 5 tahun (tidak lagi berulang-ulang) dengan prosedur dan tata cara tehnis yang sederhana, dan efisien karena daerah tidak perlu mengeluarkan pembiayaan penyelenggaraan Pilkada lagi karena pembiayaannya telah terintegrasi dalam Pemilu Nasional (APBN). Untuk yang terakhir, puluhan trilliun uang daerah akan bisa dihemat sekaligus bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.

***

Berdasarkan catatan sejarah, sebenarnya praktik desentralisasi di Indonesia baik yang menitik-beratkan pada national unity maupun local democracy-autonomy boleh jadi cenderung gagal. Desentralisasi yang semata-mata bertujuan keras pada stabilitas demi national unity pada masa Orde Baru terdistorsi pada sebatas pelanggengan kekuasaan belaka.

Namun desentralisasi yang mengarah pada local democracy (otonomi seluas-luasnya) yang diterapkan masa UUDS 1950 dan dipraktikkan kembali melalui amandemen UUD 1945 juga cenderung gagal karena faktanya justeru memperlemah integrasi nasional berikut jauh dari pemenuhan national interest (memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa) yang diantaranya ditunjukkan dengan terkotak-kotaknya daerah menjadi daerah kaya dan daerah miskin. Pendek kata, sebagai bangsa, kita telah lalai pada tujuan bernegara sebagaimana tertuang dalam Prembule UUD 1945.

Oleh karena itu, memang perlu untuk menggagas ulang politik desentralisasi Indonesia ke depan yang orientasinya harus dikembalikan kepada keutamaan national interest dan tujuan bernegara kita sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi (Pembukaan UUD 1945). Dengan demikian, politik desentralisasi yang seharusnya dijalankan adalah politik desentralisasi yang melindungi  segenap tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum (kesejahteraan seluruh rakyat) dan mencerdaskan kehidupan bangsa (bangsa yang sadar dan kritis) serta harus semakin memperkokoh NKRI.

Berikut beberapa pokok pikiran politik desentralisasi Indonesia ke depan sebagai sebuah gagasan awal:

1.       Politik desentralisasi yang mengedepankan national interest tidak dapat diartikan sebagai bentuk pengebirian demokrasi. Desentralisasi semacam ini mensyaratkan terbangunnya kesadaran kritis rakyat bersamaan dengan tegas dan jelasnya otoritas dan peran negara dalam mengatur distribusi yang adil. Disamping itu, proses serta prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas yang menjadi dasar local democracy dalam politik desentralisasi di Indonesia sudah cukup tepat, namun harus dapat berlangsung massif dan intensif melalui advokasi politik agar kesadaran kritis rakyat semakin kuat. (contoh kecil penguatan tersebut misalnya: advokasi-advokasi  kebijakan publik dengan melibatkan rakyat secara langsung sebagaimana yang menjadi concern FITRA selama ini).

2.       Fungsi kontrol melalui jaringan prefect. Untuk bisa menjaga desentralisasi agar tetap berpijak dan melayani national interest maka kontrol pemerintah terhadap daerah otonom tetap diperlukan. Model kontrol yang diatur dalam UU No.32/2004 yang memberikan peran ganda gubernur (integrated prefect) sebagai kepala daerah provinsi merangkap kepala wilayah sebenarnya sudah tepat. Hanya saja gubernur sebagai prefect dengan tugas pokok mengatur dan atau mengkoordinasikan daerah otonom (misalnya dalam hal penyelesaian sengketa perbatasan antar daerah otonom) tidak efektif. Penyebabnya karena sistem pengisian jabatan gubernur yang dilakukan melalui Pilkada ––yang notabene membutuhkan dukungan Kepala Daerah otonom–– membuat gubernur sering sulit bersikap tegas dan berlaku netral karena adanya beban psiko-politik “balas budi”, terutama kepada Kepala Daerah otonom yang telah memenangkannya dalam Pilkada.

Model kontrol tersebut bisa dilakukan dengan mengatur ulang keseimbangan atas peran ganda Gubernur sebagai kepala daerah otonom sekaligus sebagai kepala wilayah. Salah satunya adalah, bahwa sebagai wakil pemerintah, Gubernur bisa diberi kewenangan “nyata” untuk melakukan pengawasan efektif atas penggunaan DAU dan DAK serta ikut mengatur terjadinya distribusi keadilan antar Kabupaten dan Kota atas ketimpangan “akses dan sumber daya”.

3.       Desentralisasi yang diselenggarakan tidak bersifat eksklusif. Karena desentralisasi yang demikian hanya akan dinikmati segelintir daerah kaya saja. Oleh karena itu desentralisasi harus tetap bersifat inklusif, dimana pemerintah tetap memiliki kewenangan untuk mengatur kekayaan negara agar tetap terdistribusi secara adil dan merata kepada seluruh daerah. Oleh karena itu hak atas celah fiskal daerah miskin dalam DAU harus tetap dipertahankan, namun dengan pengaturan yang lebih tegas.

Pengaturan itu antara lain: pertama, adanya jaminan hukum terpenuhinya celah fiskal daerah miskin; kedua, perlunya pengaturan penggunaan DAU melalui batas minimal perbandingan penggunaan antara alokasi dasar dan celah fiskal misalnya 60:40 untuk alokasi dasar.

4.       Membuang beban APBD. Dalam rangka meringankan beban APBD daerah miskin sehingga pemajuan kesejahteraan umum dapat dipercepat minimal dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara:

a.       Perampingan birokrasi secara bertahap dan dengan menggunakan integrated local government personneel system dengan tujuan utamanya: menyeragamkan kepegawaian di seluruh daerah otonom meliputi: sistem penggajian, rekrutmen, promosi, kepangkatan, pensiun, kinerja dll. Sehingga pemerintah pusat (diwakili menteri terkait/Meneg PAN dan Mendagri) wajib membuat peraturan standarisasi kepegawaian di seluruh daerah otonom dalam rangka membentuk birokrasi yang proporsional, efisien, efektif dan bersifat nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan tidak membebani APBD.

b.      Integrated general election system. Berdasarkan penelitian Seknas FITRA, penyelenggaraan Pilkada di daerah miskin ternyata bersifat merugikan karena telah merampas hak-hak rakyat (miskin) atas anggaran paling sedikit 3 tahun. Sebab dalam upaya memenuhi biaya penyelenggaraan Pilkada, rata-rata daerah miskin harus memangkas berbagai program (termasuk program pelayanan publik) setidaknya selama 3 tahun anggaran agar bisa “menabung” dalam bentuk SILPA.

Oleh karena itu ke depan, perlu disusun sebuah sistem pemilu terintegrasi yang bersifat nasional, sehingga Pemilu di seluruh daerah di Indonesia cukup diselenggarakan 2 kali dalam setahun setiap 5 tahun. Yang berarti, pilkada nantinya akan dilaksanakan secara serentak dan diintegrasikan dengan Pemilu nasional sehingga daerah tidak perlu lagi menyediakan anggaran Pilkada dalam APBD.


[1]Pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
[2]Lihat Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen):  oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidstaat (negara kesatuan: red) maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga...
[3]Pouvoir Constituant adalah kewenangan membentuk undang-undang dan konstitusi, seperti negara-negara bagian di Amerika Serikat dimana setiap negara bagian tetap memiliki hak dan kewenangan untuk membuat undang-undang dan konstitusinya sendiri tanpa harus patuh dan mengikuti peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah Federal.
[4]Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi (Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia), hal 170-171
[5]Brian C. Smith (1), Decentralization: An Aspect of Decentralization (London: Routledge and Kegan Paul), hal.49
[6]Rondinelli, at.al., Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience (Whasington D.C.: The World Bank, 1983).
[7] A.F. Leemans, Changing Patterns of Local Government (Tha Hague: IULA, 1970).
[8] Robert C Fried, The Italian Prefects: A Study in Administrative and Politic (New Haven: Yale University Press).
[9] Lihat Brian C. Smith (2), Field Administration: An Aspect of Decentralization (London: Routhledge and Kegan Paul). Smith mengetengahkan negara-negara kesatuan di wilayah eropa kontinental yang ciri desentralisasinya diwarnai oleh Napoleon Bonaparte dengan ciri diintegrasikannya wilayah otonom dengan wilayah administrasi (integrated prefectoral system) untuk memudahkan pemerintah mengontrol daerah otonom agar tidak ada upaya-upaya pendisintegrasian.
[10] Penyerahan kewenangan dari pusat kepada pemerintah daerah biasanya dilakukan dalam 2 (dua) model yaitu menggunakan ultra vires doctrine (pemberian kewenangan disertai rinciannya) atau dengan menggunakan open end arrangement (rumusan umum/tidak dirinci). Bhenyamin Hoessein, Op.Cit. hal 99
[11] Menurut Leemans, teknik pemetaan wilayah administrasi dan wilayah daerah otonom yang dianut dalam satu negara dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) model yaitu fused model dan split model. Disebut fused model jika batas-batas daerah otonom sama persis dengan batas-batas wilayah administrasi, sementara disebut split model jika batas-batas daerah otonom tidak bersinggungan dengan batas wilayah administrasi (Leemans, Op.Cit). Di negara-negara eropa kontinental dikenal dengan istilah integrated prefectoral system untuk fused model dan fragmented prefectoral system untuk split model (Bhenyamin Hoessein, Op. Cit, hal 54).
[12]Praktik pola asimetris, pemberian kewenangan kepada masing-masing daerah otonom berbeda-beda disesuaikan dengan kemampuan, kondisi dan kapasitas daerah otonom masing-masing.
[13]Open end arrangement di Indonesia dikenal dengan istilah “otonomi seluas-luasnya”.
[14]UU No.22 Tahun 1999 dicabut dan diganti dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 dicabut dan diganti dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
[15]Istilah otonomi seluas-luasnya pertama kali digunakan di Indonesia di dalam Pasal 131 ayat (2) UUDS 1950. Namun prinsip tersebut oleh UUD 1950 tidak diberi rambu-rambu sehingga sempat mengundang variasi penafsiran di kalangan pakar dan praktisi. Oleh karena itu kemudian MPRS melalu TAP MPRS No.XXI/MPRS/1966 memberikan sejumlah rambu yaitu: semua urusan pemerintahan diserhakan kepada daerah otonom berikut 3P (personil, pembiayaan, dan peralatan), kecuali urusan-urusan yang bersifat nasional yang akan diatur dan ditentukan dengan undang-undang. Kedua, daerah otonom diberi tanggung jawab dan wewenang sepenuhnya untuk mengatur kepegawaian daerah. Ketiga, perlu diatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sehingga otonomi seluas-luasnya dapat terselenggara secara sehat. Lihat Bhenyamin Hoessein, Op.Cit. hal 73-74.
[16]Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998.
[17]World Bank, Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah, Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007, hal.126 (http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/2262711168333550999/PERHBAB7DesentralisasiFiskalKesen janganDaerah.pdf) diunduh 30 Jan 2010
[18]Menurut United Nations (PBB) 1961, sistem kepegawaian pemerintah daerah (local government system) disemua negara terdapat 3 (tiga) model, yaitu: separated central and local government personnel system, unified local government personnel system dan integrated local government personnel system. Separated central and local government personnel system memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sistem kepegawaiannya sendri mulai dari rekrutmen, penempatan, promosi, sistem penggajian, pensiun, kepangkatan dan lain-lain. Konsekuensinya akan terbentuk banyak badan kepegawaian karena setiap daerah otonom membentuk badan kepegawaiannya sendiri. Unified local government personnel system jika kepegawaian daerah otonom ditangani oleh suatu badan kepegawaian khusus yang dibentuk oleh pemerintah pusat untuk menangani kepegawaian daerah-daerah otonom. Konsekuensinya akan terdapat 2 (dua) badan kepegawaian yaitu badan kepegawaian pusat dan badan kepegawaian khusus untuk daerah-daerah otonom. Integrated local government system jika kepegawaian daerah-daerah otonom diintegrasikan dengan kepegawaian pemerintah pusat. Konsekuensinya hanya akan ada 1 (satu) badan kepegawaian.
[19] Pasal 1 angka UU No.33 Tahun 2004: ...DAK adalah dana... yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
[20] Pasal 1 angka 21 UU No.33 Tahun 2004: ...DAU adalah dana... yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuha ndaerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
[21] Konsekuensi dari integrated local government personnel system.
[22] Lihat Pasal 27 UU No.33 Tahun 2004.
[23] Word Bank, Op.Cit. hal 187
[24] Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Study (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran dan The Asia Foundation)
[25]Yenny Sucipto, Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Beban Keuangan Negara/Daerah (Jakarta: Fellowship Prakarsa, 2008)
[26]Data local budget study menunjukkan kontribusi terbesar PAD daerah miskin disumbang dari retribusi kesehatan dengan prosentase di atas 50% dari total PAD.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar