Kamis, 05 Agustus 2010

Hukum dan Moral dari Hart, Fuller sampai Finnis


1.    Pandangan Hart[1]
Sejumlah ahli hukum seperti Bentham dan Austin, menghendaki adanya pemisahan hukum sebagaimana adanya (law as it is) dari hukum sebagaimana mestinya (law as ought to be). Proposisi ini setara dengan adanya persoalan filsafat mengenai perbandingan antara “Das Sein” (apa yang terjadi) dan “Das Solen” (apa yang seharusnya). Pemisahan tersebut sebagai upaya menemukan hukum ‘spesisifk’ (khusus) yang maknanya gamblang  dan tidak bisa diperdebatkan lagi.
Bentham dan Austin sangat yakin, kalau hukum “sebagaimana adanya” tidak menghilangkan makna hukum yang sesungguhnya. Hukum tetaplah hukum. Soal bertentangan atau tidak dengan moral (etika), itu adalah masalah lain. Pendapat Bentham dan Austin yang mengacu pada aliran atau mazhab hukum positifis ditentang oleh Hart. Pandangan positifis menyimpan potensi permasalahan, terutama bila terjadi ketidakpuasan. Hart mengemukakan keberatan atas pandangan yang memisahkan hukum dari fenomena “Das Solen” dari “Das Sein” atau “Law as it is” dari “Law as ought to be”.[2]
Meski pandangan Bentham dan Austin tidaklah keliru, akan tetapi menurut Hart, ada baiknya bila selalu ada korelasi integralistik antara “Law as it is” dengan “Law as ought to be”. Kenyataan hukum (Das Sein) harus juga merupakan derivat atau pantulan dari hukum yang seharusnya (Das Sein).  Hart berpendapat, kedua premis hukum tadi tak bisa dipisahkan begitu saja. Sebab diantara keduanya ada titik-titik korelatif secara esensial yang bila dinafikan akan justru mengaburkan fakta-fakta hukum atau kebenaran hukum secara material. Kaum Utilitarian menegaskan bahwa hubungan esensial antara hukum dan moral baru terjadi bila ada penyelidikan bagaimana hukum diintepretasikan dan diaplikasikan dalam kasus-kasus hukum yang konkrit. Secara garis besar, kaidah hukum harus terpisah dari masalah-masalah moral.[3]
Kaum Utilitarian (positifis) menganut tiga doktrin utama. Pertama adalah doktrin menyangkut studi analisis bahasa, sebuah studi yang mempelajari perbedaan kosa kata hukum. Berikutnya ialah doktrin atau teori imperative yang menyebutkan bahwa hukum esensinya adalah perintah. Ketiga doktrin tentang tradisi kaum Utilitarian dalam yurisprudensi. Dalam pandangan Hart, meski ketiga doktrin tadi berdiri sendiri namun diantara satu dengan lain sering bertentangan (tidak relevan). Mungkin hukum bisa dipisahkan dari aspek moral, serta bisa melakukan penyelidikan analitis terhadap konsep-konsep legal, namun adalah sebuah kekeliruan bila kita memahai hukum sebagai sebuah perintah. Lewat pendapat itu, Hart menegaskan, bila salah satu diantara doktrin Utilitarian terjadi kekeliruan, maka kekeliruan itu akan terjadi pada dua doktrin lainnya. Doktrin imperative yang memaknai hukum sebagai sebuah perintah, menjadikan sifat hukum tak lebih sebagai alat pemaksa dan penindas terhadap komunitas masyarakat yang berbeda pandangan, misalnya dalam mamahami bunyi kontsitusi. Pandangan positifis sebagaimana dianut Utilitarian Bantham dan Austin, menafikan berbagai nuansa demokrasi (moral/etika) dalam perkara-perkara hukum.[4]
Hart menilai pandangan perlunya “Law as it is” dari “Law as it ought to be” memiliki nilai secara moral, sekaligus juga intelektual. Meski demikian, tidak berarti pandangan kaum positifis sepenuhnya keliru. Sebab penerapan “Hukum sebagai Hukum” bisa lebih valid bila diaplikasikan dalam situasi dan sistim hukum tertentu. Hanya yang menjadi masalah ialah, pandangan positifis yang memisahkan hukum dari aspek moral  seharusnya tidak masuk dalam konsep sistim legal (suatu negara atau pemerintahan).[5]
Meski mengkritik kalangan positifis, Hart tetap sampai pada pandangan bahwa apa yang tidak benar dari suatu sistim hukum diterima secara terpisah, tapi apa yang benar dan penting di dalam suatu legal system dapat ditelan bulat-bulat. Contohnya hubungan hukum dengan sanksi dan hubungan eksistensi hukum dengan ‘efektivitasnya’. Setiap hukum di legal system suatu pemerintahan harus memuat sanksi dan keberadaan (eksistensi) hukum terlihat dari sejauhmana manfaatnya (efektivitasnya) dalam menciptakan pranata tertib hukum.[6]
Menguatkan pandangan atau kritiknya atas positifisme hukum, Hart mengurai tentang dialektika di dalam masyarakat. Bahwa masyarakat atau dunia terus-menerus berubah sesuai dengan beragam dinamikanya. Perubahan itu melandasi model-model konseptual (pemikiran) masyarakat akan perubahan-perubahan tersebut. Hart menekankan bahwa seluruh hidup sosial, moral dan legal manusia yang sekarang dipahami bergantung sepenuhnya pada fakta sementara dan konvensi-konvensi kontemporer yang menurut teori hukum kodrat (natural law theory), sistim legal itu menuju pada penghormatan terhadap élan kemanusiaan secara umum dan menyeluruh (filantropi universal). [7]
Seluruh umat manusia harus didevosikan (disatukan) dalam konsepsi untuk mengejar nilai-nilai dan tujuan-tujuan luhur (pengejaran pengetahuan dan keadilan bagi sesama manusia). Pandangan itu menginspirasi munculnya keinginan menyatukan hukum dengan aspek moral. Meski demikian, Hart menekankan perlunya kehati-hatian dalam penerapannya dalam sistim legal. Sebab alih-alih ingin meredam distorsi hukum sebagaimana pandangan kaum Utilitarian (positifis) yang berusaha memisahkan hukum dari aspek moral, yang terjadi justru penguatan salah satu doktrin Utilitarian, yakni imperative hukum (hukum sebagai perintah), biasanya dijalankan oleh masyarakat yang telah menerapkan secara kaku dan formal standar-standar moralitas tertentu. Dalam banyak hal terjadi pada sistim legal pemerintahan berbasis agama (contoh Negara Sudan di Afrika Utara). Dan bila itu terjadi, akan selalu muncul alasan bagi setiap individu untuk  memberontak, tak mematuhi hukum atau dalam wilayah politik disebut dengan “Civil-Disobedience” (ketidakpatuhan masyarakat terhadap aturan negara).

2.    Pandangan Lon Fuller[8]
“The only formula that might be called a definition of law offered in these writings is
 by now thoroughly familiar: law is the enterprise of subjecting human conduct to the governance of rules. Unlike most modern theories of law, this view treats law as an activity and regards a legal system as the product of a sustained purposive effort.”[9]

Bagi Lon L. Fuller, titik awalnya adalah bahwa ‘hukum berkaitan dengan pengaturan perilaku manusia dengan aturan-aturan’. Meski ini mirip dengan pendapat Hart, namun ada perbedaannya. Hart menekankan apa yang dimaksud dengan aturan (dan bagaimana aturan/hukum tersebut akan diidentifikasi, dan bagaimana aturan/hukum tersebut digabungkan menjadi sistem hukum). Fuller menekankan pada apa yang diperlukan untuk membuat hukum bekerja. Solusi Fuller adalah bahwa sistem hukum harus mewakili ‘moralitas dalam’, ‘moralitas internal’, ‘prinsip legalitas’, atau ‘ hukum dasar prosedural ‘.
            Karena moralitas merupakan fokus utama Fuller, maka perlu dilihat bagaimana ia menggunakan istilah tersebut. Menurut pandangan Fuller ada dua jenis moral yaitu, moral kewajiban dan moral aspirasi. Moral kewajiban ini adalah moral yang harus dipenuhi dalam suatu masyarakat dan moral tersebut bisa merupakan aturan yang tegas, keras dan memaksa. Sehingga dapat ditransformasikan menjadi hukum positif. Lain halnya dengan moral aspirasi yang menuntut individu mencapai kesempurnaan,dengan jalan apapun. Moral ini bersifat bebas sehingga membiarkan individu memilih menggunakan cara yang bagaimana yang penting dapat memperoleh kesempurnaan.
Selain itu Lon Fuller membedakan antara moral hukum internal dengan moral hukum eksternal. Moral hukum internal adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar layak mendapat nama hukum. Moral hukum internal hanya berkenaan dengan aturan aturan bagaimana orang memulai pelaksanaan pembentukan hukum. Jika aturan aturan tersebut tidak memenuhi maka dipandang dengan moral hukum eksternal. Eksternal disini berarti tuntutan yang harus diajukan agar hukum dapat berfungsi dengan adil.
Menurut Fuller, kriteria yang harus dipenuhi oleh sistem hukum agar berkeadilan (dengan merujuk pada sistem hukum Inggris) adalah generalisasi, promulgasi, non-retroaktivitas, kejelasan, non-kontradiksi, tidak mengharuskan hal yang tidak mungkin, konsisten di setiap waktu, dan persamaan antara tindakan pejabat dan aturan yang dideklarasikan. 
Generalisasi. Dalam kriteria generalisasi harus ada aturan. Hal ini tidak mudah. Meski generalisasi merupakan karakteristik universal aturan-aturan yang disebut hukum, namun jelas bahwa pemberlakuan hukum yang dipermasalahkan belum tentu dapat memenuhi kriteria ini. Dalam sistem hukum Inggris, contohnya adalah Undang-Undang Parlemen yang mengijinkan dua orang menikah meski mereka berada dalam kategori yang dilarang untuk menikah.
Promulgasi. Persyaratan bahwa hukum harus dipromulgasi (dipublikasikan) adalah hal yang masuk akal, karena orang tidak akan mematuhi hukum yang tidak mereka ketahui. Dalam praktek, promulgasi dapat tumpang tindih dengan non-retroaktivitas.
Non-retroaktivitas. Fuller berpendapat bahwa legislasi retroaktif dapat diterima misalnya jika legislasi tersebut memperbaiki kesalahan formal. Tetapi, legislasi retroaktif tidak dapat diterima jika ia menghilangkan hak orang. Ada 3 hal mengenai retroaktivitas dalam hukum Inggris. Pertama, jika UU/hukum tidak jelas, ada presumsi terhadap retroaktivitas: “prinsip utama adalah bahwa Parlemen diasumsikan tidak bermaksud mengganti hukum yang berlaku di peristiwa dan transaksi masa lalu dengan cara yang tidak adil terhadap pihak yang berkepentingan terhadap peristiwa dan transaksi tersebut, kecuali jika timbul maksud yang bertentangan… ini merupakan masalah –semakin besar ketidakadilan, semakin diharapkan bahwa Parlemen akan menjelaskannya jika hal tersebut disengaja.” Kedua, ketentuan pasal 4 UU Interpretasi 1978 yang menyatakan bahwa hukum yang tidak memiliki ketentuan terhadap pemberlakuan hukum tersebut akan berlaku sejak hari pertama hukum tersebut menerima Persetujuan Kerajaan. Ketiga, doktrin preseden wajib bekerja secara retroaktif.
Kejelasan.  Kriteria kejelasan dalam banyak hal kurang dipatuhi. Ini dikarenakan otoritas hukum yang tidak jelas, atau kerena hukum dirancang secara membingungkan.
Non-kontradiksi. Kriteria non-kontradiksi mengharuskan konsistensi dalam hukum. Jika dikonfrontasi dengan inkonsistensi dalam hukum/UU, pengadilan Inggris menyelesaikan konflik dengan memberlakukan prinsip posteriora derogant prioribus (hal yang terakhir terjadi setelah hal yang pertama), meski terdapat otoritas lama yang berakibat bahwa, meskipun prinsip posteriora, ketentuan yang lebih dulu ada setelah ketentuan sesudahnya disusun. Jika UU yang terakhir tidak memiliki referensi terhadap, tetapi inkonsisten dengan, UU sebelumnya, maka UU yang terakhir akan digunakan, meski dalam konteks ini prinsip posteriora berupa doktrin pembatalan implisit. Ini merupakan pengecualian jika hukum terakhir inkonsistem dengan ketentuan hukum Masyarakat Eropa yang dimasukkan dalam hukum Inggris melalui UU Masyarakat Eropa 1972. Dalam situasi ini, hukum Masyarakat Eropa tetapi digunakan dan pengadilan tidak memberlakukan hukum Inggris.
 Tidak mengharuskan hal yang tidak mungkin. Dalam semua sistem hukum penting bahwa hukum tidak mengharuskan orang melakukan hal yang tidak mungkin. Fuller mengakui bahwa topik ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati, dan tidak perlu melarang pemberlakuan tanggung jawab yang tegas bahkan dalam hukum kriminal, karena ini akan menyebabkan pihak tergugat berupaya menghindari perilaku yang dilarang.
Konsisten di setiap waktu. Menurut Fuller, ketentuan bahwa hukum harus konstan/konsisten di setiap waktu tidak mutlak, karena hukum harus merespon perubahan yang terjadi di setiap waktu. Namun, kriteria konsisten di setiap waktu mengharuskan bahwa hukum tidak boleh berubah terlalu cepat sehingga menyebabkan masyarakat sulit mengidentifikasi satus hukum mereka. Ini tidak menjadi masalah dalam hukum Inggris karena hukum berubah sangat lambat, tetapi contoh yang terkait dengan kriteria ini adalah masalah menyeimbangkan antara keyakinan dan fleksibelitas dimana Majelis Tinggi terikat oleh keputusannya sendiri.
Persamaan antara tindakan pejabat dan aturan yang dideklarasikan. Mengkarakteristikkan persamaan antara tindakan pejabat dan aturan yang dideklarasikan merupakan unsur yang ‘paling rumit’ dari semua unsur moralitas internal hukum, Fuller mengidentifikasi hal yang dapat ‘merusak’ persamaan tersebut, yaitu: ‘interpretasi yang salah, hukum yang tidak dapat diakses, kurang wawasan terhadap apa yang diperlukan untuk memelihara integritas sistem hukum, penyuapan, prasangka, ketidakpedulian, kebodohan, dan dorongan terhadap kekuasaan pribadi’.
Fuller menunjukkan bahwa dalam sistem hukum Amerika, hakim/pengadilan merupakan badan yang menjalankan tanggung jawab utama untuk menjamin bahwa perbedaan tidak terjadi, atau cara menangani jika terjadi perbedaan. Sehingga menghindari tanggung jawab ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang mengalami persoalan tersebut, tetapi juga oleh pengawasan publik. Ini menyebabkan keuntungan ‘dramatisasi integritas hukum’. Sebaliknya, menghindari tanggung jawab memiliki kerugian bahwa hal ini tergantung pada penuntut yang bersedia dan mampu secara finansial untuk memulai dan melakukan proses persidangan, dan ‘terbukti adanya pengawasan yang tidak efektif terhadap perilaku polisi yang di luar hukum’.

Posisi Fuller dalam tradisi hukum dasar
Fuller bertanya apakah prinsip yang ia susun ‘mewakili beberapa jenis hukum dasar’ dan menjawab bahwa ‘jawabannya adalah empatis, meski tepatnya, iya’. Fuller membedakan teorinya dari pihak yang bertujuan untuk mengidentifikasi isi hukum yang dapat diterima secara moral (yang disebutnya teori hukum dasar substantif), dan Fuller memilih menggunakan istilah prosedural terhadap teorinya.
Menurut Fuller, kegagalan total dalam salah satu kriteria jarang ditemui. Hal yang lebih realistik adalah situasi dimana ‘terdapat kerusakan hukum yang umum dan drastis, misalnya Jerman pada masa Hitler’, dengan banyaknya hukum yang tidak promulgasi atau retroaktif, sering terjadi perbedaan antara tindakan pejabat dan aturan yang dideklarasikan, dan ‘tujuan utama pemerintah’ adalah ‘menakuti masyarakat’. Situasi ini menyebabkan individu harus menyelesaikan masalah mereka sendiri, tetapi ’satu hal yang jelas…. Penghargaan terhadap otoritas tidak boleh dicampuradukkan dengan komitmen/fidelitas hukum.
Fuller menolak pendapat Hart bahwa dasar semua perilaku manusia adalah keinginan untuk bertahan hidup. Sebagai penjelasan, ia menggunakan pendapat Aquinas bahwa kapten yang ingin mempertahankan kapalnya dengan cara apapun tidak akan pernah berada di laut, meski keputusan ini tidak sesuai dengan tujuan dibuatnya kapal.
Ada 3 (tiga) kritik terhadap versi Fuller tentang hukum dasar. Pertama, menyatakan prosedural, ia gagal membahas isu penting mengenai isi moral hukum. Kedua, karena hanya kegagalan total dalam salah satu kriterianya menyebabkan tidak adanya sistem hukum, kegagalan parsial tidak menimbulkan dampak besar, sehingga terlihat Fuller memiliki komitmen pada ide bahwa keberadaan (atau tidak adanya) sistem hukum bersifat relatif daripada mutlak. Ketiga, kriterianya tidak memiliki prinsip moral sama sekali, karena ia kurang membahas bahwa sistem hukum harus melakukan tugasnya dengan baik.[10]
Apapun istilah yang digunakan, Fuller memberikan teori yang mengidentifikasi bentuk praktek yang mengarah pada dominasi tirani dan runtuhnya idealisme liberal hukum.

3.    Pandangan John Finnis[11]
Ada 2 (dua) hal yang harus dibuat sebelum melihat substansi teori Finnis. Pertama, Finnis berpendapat bahwa Hume membuat kesalahan ketika ia menyatakan bahwa ‘perbedaan antara sifat buruk dan sifat baik tidak…dipersepsikan oleh pikiran’, Finnis memilih pendapat Aquinas bahwa ‘prinsip pertama hukum dasar’ yaitu membedakan baik dan buruk, ‘jelas dan tidak dapat ditunjukkan’.
Ketika mengacu pada prinsip hukum dasar yang jelas, Finnis tidak bermaksud bahwa prinsip tersebut nyata dalam pengertian bahwa semua orang akan menerimanya secara otomatis, tetapi hanya bahwa kebenaran prinsip tersebut nyata tanpa perlu membuktikannya dengan argumen rasional.
Kesulitan dalam contoh immateri seorang malaikat adalah bahwa bagi orang yang menganggap malaikat hanya khayalan akan melihat setiap pernyataan tentang sifat malaikat akan mirip dengan kategori pernyataan tentang kuda bertanduk satu (unicorn). Dengan kata lain, orang tersebut akan melihat ide “jelas” tidak lebih dari sekedar menambah keyakinan untuk memberi status intelektual. Mereka juga melihat bahwa proposisi tentang kebenaran yang tidak dapat ditunjukkan adalah alasan bahwa hal itu tidak benar. Sedangkan orang yang melihat “jelas” sebagai kebijaksanaan akan tetap teguh.
Perlu ditekankan bahwa Finnis mengarah pada titik negatif karena melihat penolakan Hume terhadap hukum dasar sebagai salah paham, dan berpendapat bahwa prinsip benar dan salah adalah rasional.
Kedua, Finnis mengindikasikan cara-cara menggunakan terminologi dasar hukum dan hukum dasar. Ia menggunakan istilah hukum yang berarti hukum positif, dan menggunakan istilah hukum dasar yang berarti prinsip dasar yang menunjukkan ‘bentuk dasar perkembangan manusia dimana kebaikan untuk dikejar dan direalisasikan’ bersama dengan metodologi ‘rasionalitas praktis’. Rasionalitas praktis membantu perbedaan antara pikiran yang benar dan salah, yang mengarah pada kriteria membedakan antara tindakan yang secara moral benar dan salah, serta penyusunan standar moral yang dapat diterapkan secara umum.
Finnis menolak pandangan tradisional bahwa hukum dasar memvalidasi hukum positif, sehingga hukum positif yang tidak sesuai dengan hukum dasar bukan merupakan hukum sama sekali. Finnis mendukung pandangan bahwa hukum dasar memberikan cara untuk menilai kebaikan atau keburukan hukum positif. Pendapat Finnis adalah bahwa hukum dasar bersifat evaluatif, dan bukan konstitutif, terhadap hukum positif.
Di tingkat praktis, ini berarti bahwa hukum dasar menimpa hukum positif dengan membatasi kebebasan rasional pilihan pembuat undang-undang dan para hakim yang berfungsi dalam sistem yang membantu mereka dalam pembuatan keputusan. Pembuat undang-undang dan para hakim dapat memilih bertindak irasional, dalam pengertian melawan hukum dasar. Jika demikian mereka menciptakan hukum yang buruk (yaitu hukum yang salah dan tidak diinginkan, dan mungkin terdapat kewajiban moral yang membenarkan ketidakpatuhan), tetapi status hukum tersebut tidak dipermasalahkan.
Finnis menjelaskan lebih lanjut apa yang ia maksud dengan ‘bentuk dasar perkembangan manusia dimana kebaikan untuk dikejar dan direalisasikan’ dan ‘persyaratan metodologi dasar rasionalitas praktis (yang merupakan salah satu bentuk dasar perkembangan manusia’.
Ada dua pengertian rasionalitas praktis yang digunakan Finnis. Pertama, relatif sempit, yaitu hanya kebaikan manusia. Kedua, lebih luas, semua metodologi berpikir, yang memberikan kekuatan moral pada kebaikan manusia.
Finnis mengidentifikasi 7 (tujuh) kebaikan manusia atau bentuk dasar perkembangan manusia, yaitu kehidupan, pengetahuan, permainan, pengalaman estetika, sosiabilitas (persahabatan), rasionalitas praktis dan ‘agama’.
Kehidupan. Nilai dasar pertama yang berkaitan dengan dorongan mempertahankan hidup adalah nilai kehidupan’. Ini ‘menunjukkan setiap aspek kehidupan…yang meletakkan manusa dalam bentuk penentuan nasib sendiri yang baik’.
Pengetahuan. Finnis mengidentifikasi jenis pengetahuan sebagai ‘pengetahuan spekulatif’, dalam rangka ‘untuk membedakan pengetahuan yang dicari untuk pengetahuan itu sendiri dengan pengetahuan yang dicari hanya sebagai alat yang berguna untuk mengejar tujuan lain’. Bagi Finnis, status pengetahuan sebagai kebaikan dasar manusia adalah jelas, sama dengan kebaikan dasar manusia lainnya, tetapi dalam kasus pengetahuan ada nilai tambahan yang menolak nilai pengetahuan menjadi ‘penyangkalan diri sendiri secara operasional’, karena jika pengetahuan tidak berharga, setidaknya pengetahuan tersebut ada nilainya. Perbedaan antara pengetahuan spekulatif dan instrumental adalah salah, dengan nilai semua pengetahuan tergantung pada penggunaannya. Misalnya, pengetahuan yang memberikan kemampuan untuk mengeluarkan tenaga nuklir berguna untuk membangkitkan listrik, tetapi menjadi buruk ketika digunakan untuk menciptkan senjata penghancur massal. Bahkan pembangkit listrik tenaga nuklir dapat ditolak dengan alasan lingkungan.
Permainan. Finnis menyatakan bahwa melakukan sesuatu hal demi hal itu sendiri merupakan unsur universal budaya manusia. Pengalaman estetika, meski pengalaman estetika merupakan bagian integral dari bentuk permainan, Finnis membedakan antara keduanya dengan dasar bahwa ‘pengalaman estetika, tidak seperti permainan, tidak membutuhkan keterlibatan tindakannya sendiri’.
Sosiabilitas (persahabatan). Untuk menunjukkan bahwa sosiabilitas adalah kebaikan manusia, Finnis mengajukan pertanyaan retorika: ‘untuk memiliki hubungan persahabatan dengan minimal satu orang bukankah merupakan bentuk dasar kebaikan?’
Rasionalitas praktis. Rasionalitas praktis sebagai kebaikan dasar berarti mampu menggunakan intelijensi seseorang ketika membuat keputusan yang mempengaruhi hidupnya.
Agama, Meski Finnis meyakini Katolik Roma dan percaya pada tuhan, tanda kutip pada kata agama menunjukkan bahwa ia menggunakan agama dalam pengertian luas, termasuk pada agnostisisme (tidak percaya tuhan) dan ateisme. Argumennya adalah bahwa tidak masuk akal untuk mengabaikan pentingnya pemikiran tentang pertanyaan dasar tentang asal mula, sifat dan tujuan alam semesta dan tempat manusia di dalamnya, apapun jawaban yang diberikan.
Ada 2 (dua) hal untuk menyimpulkan pendapat Finnis tentang kebaikan dasar manusia. Pertama, ia mengakui bahwa terdapat banyak hal lain yang ingin dimasukkan masyarakat (misalnya keberanian, kedermawanan, kesederhanaan dan kelembutan), tetapi menurutnya bahwa ini merupakan kualitas yang membantu mencapai kebaikan dasar dan bukan kebaikan dasar itu sendiri. Kedua, meski kebaikan dasar semuanya sama dasarnya, dan tidak dapat dibuat hierarki urutan satu sama lain, tetapi setiap individu dapat memilih kebaikan mana yang akan digunakan dalam hidup mereka, dan kebaikan yang mereka pilih tersebut dapat berubah pada waktu yang berbeda. Misalnya seorang sarjana memilih pengetahuan daripada sosiabilitas, tetapi ini hanya masalah kepribadian dan bukan meletakkan nilai yang lebih tinggi pada satu kebaikan dibanding lainnya. Contoh lain adalah orang yang hampir mati tenggelam, akan mengutamakan pentingnya nilai kehidupan dari pada orang lainnya yang menganggap kehidupan hanya sarana mengejar kebaikan dasar lainnya.

Persyaratan rasionalitas praktis
Mengidentifikasi kebaikan dasar manusia adalah hal yang berguna, tetapi kebaikan tersebut tidak memiliki kekuatan moral: karakteristik penting ini berasal dari persyaratan rasional praktis. Finnis mengidentifikasi 9 (sembilan) persyaratan rasionalitas praktis, yaitu rencana hidup yang logis/koheren; tidak ada pilihan subyektif di antara nilai; tidak ada pilihan subyektif di antara orang; obyektivitas dan komitmen; relevansi konsekuensi (terbatas): efisiensi dalam pikiran; menghargai setiap nilai dasar dalam setiap tindakan; persyaratan kebaikan bersama; dan mengikuti hati nurani. Persyaratan ini menghasilkan nilai moral, karena ‘rasionalitas merupakan aspek dasar kebahagiaan manusia dan keterlibatan partisipasi seseorang dalam semua aspek dasar kebahagiaan manusia.
Rencana hidup yang koheren. Persyaratan rencana hidup yang koheren berarti bahwa, dengan hidup yang singkat dan kebutuhan membuat pilihan, pilihan tersebut harus konsisten. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh hidup hanya untuk hari ini.
Tidak ada pilihan subyektif di antara nilai. Karena subyektivitas tidak konsisten dengan rasionalitas, maka tidak heran jika Finnis melarangnya. Persyaratan tidak ada pilihan subyektif di antara nilai mengakui bahwa rencana hidup yang koheren harus memberi perhatian lebih kepada beberapa kebaikan dasar dan sedikit pada kebaikan dasar lainnya, tetapi pilihan tersebut harus rasional dalam pengertian ‘menjadi dasar penilaian seseorang terhadap kapasitasnya, situasinya, dan bahkan seleranya’. Pilihan tersebut tidak rasional jika didasarkan pada pengurangan setiap kebaikan dasar, atau melebih-lebihkan kebaikan sekunder seperti kekayaan atau kesenangan.
Tidak ada pilihan subyektif di antara orang. Finnis mengakui bahwa ‘lingkup rasional pilihan seseorang’, tetapi ia berpendapat bahwa persyaratan ini melarang ‘keegoisan, perlakuan khusus, standar ganda, kemunafikan, ketidakpedulian terhadap kepentingan orang lain yang dapat dibantu (‘tidak peduli sesama’), dan semua bentuk keegoisan dan bias kelompok’.
Obyektivitas dan komitmen. Finnis berpendapat bahwa penggunaan kedua hal ini secara bersamaan merupakan jalan tengah antara menjadi obyektif bahwa seseorang tidak pernah terlibat apapun, dan memiliki komitmen terhadap kegiatan yang kegagalannya akan mengarahkan seseorang bahwa hidupnya tidak berguna.
Relevansi konsekuensi (terbatas): efisiensi dalam pikiran. Persyaratan efisiensi dalam pikiran melihat bahwa terdapat banyak konteks yang rasional untuk menilai konsekuensi berbagai tindakan alternatif. Misalnya, adalah hal rasional untuk memprioritaskan kebaikan manusia daripada binatang, dan memilih kebaikan manusia yang mendasar, seperti kehidupan, yang bagi orang lain hanya merupakan alat, seperti kekayaan. Namun, kebaikan dasar tidak dapat diukur, dan setiap upaya untuk menghitungnya sebagai bagia proses pengambilan keputusan merupakan hal yang irasional.
Menghargai setiap nilai dasar dalam setiap tindakan. Persyaratan menghargai setiap nilai dasar dalam setiap tindakan terkait dengan persyaratan sebelumny, dan merupakan dasar kemurnian hak asasi manusia fundamental. Karena kebaikan dasar tidak dapat dihitung, setiap tindakan yang didasarkan pada premis bahwa nilai satu kebaikan dasar lebih rendah daripada kebaikan dasar lainnya adalah irasional dan harus dilarang.
Persyaratan kebaikan bersama. Persyaratan ini berhubungan dengan memajukan kebaikan bersama masyarakat secara keseluruhan, terutama untuk membantu setiap orang untuk berpartisipasi secara penuh dalam kebaikan dasar.
Mengikuti hati nurani. Meski persyaratan mengikuti hati nurani terdengar mampu membenarkan segala sesuatu yang menarik secara subyektif, namun yang dimaksud Finnis adalah bahwa seseorang harus bertindak secara rasional dalam segala hal, dan menerima bahwa mengikuti hati nurani yang berpengetahuan, jujur dan rasional tidak selalu menghasilkan jawaban yang benar. Menurut Finnis, persyaratan ini melihat ‘kebaikan dari hati nurani yang salah sekalipun’.

Peran persyaratan rasionalitas praktis dalam menciptakan
kewajiban moral
Finnis tidak mengklaim bahwa kebaikan dasar manusia menciptakan kewajiban moral, tetapi kewajiban moral timbul dari penerapan prinsip rasionalitas praktis. Finnis menyajikan argumennya dalam bentuk silogistik:
·         Semua persyaratan rasionalitas praktis merupakan aspek satu kebaikan dasar manusia (atau bentuk perkembangan manusia), yaitu kebebasan dan pikiran;
·         Dalam semua konteks, setiap persyaratan rasional praktis dapat dipenuhi dengan melakukan (tidak melakukan) sesuatu;
·         Maka ’sesuatu’ harus (tidak harus) dilakukan.
Formulasi ini menimbulkan kritik bahwa premis tersebut merupakan pernyataan fakta, sedangkan kesimpulannya adalah pernyataan nilai, sehingga persoalan lama memperoleh apa yang seharusnya dari apa adanya muncul kembali. Namun, meski premis dinyatakan secara fakta, tetapi premis tersebut merupakan pernyataan nilai. Finnis hanya memperoleh apa yang seharusnya dari apa yang seharusnya, dan tidak dapat disangkal secara logis. Sebaliknya, jenis argumen ini menimbulkan masalah lain yaitu menetapkan kebenaran dari premis sejak awal, karena, tidak seperti permasalahan fakta, permasalahan nilai tidak dapat ditetapkan dengan bukti empiris.
Finnis menjawab penolakan ini menggunakan apa yang ia sebut nyata (self-evidence). Tapi hal ini tidak diterima secara universal, dan Weinreb berpendapat bahwa ide refleksi pada kondisi manusia dapat menghasilkan prinsip moral yang nyata yang digunakan dalam situasi nyata adalah hal yang salah.

Tingkat kewajiban untuk mematuhi hukum
Ketika bertanya apakah ada kewajiban untuk mematuhi hukum yang tidak adil, Finnis menunjuk bahwa ada 4 pengertian dalam pertanyaan tersebut. Pertama, pertanyaan tersebut berarti: ‘apakah ketidakpatuhan terhadap hukum akan membuat saya bertanggung jawab terhadap sanksi?’. Dalam praktek, jawaban pertanyaan ini sudah jelas sehingga tidak mungkin ditanyakan.
Kedua, pertanyaan tersebut berarti: “Karena hukum tidak adil, dapat saya tidak mematuhinya dan kemudian membujuk pengadilan bahwa hukum harus diubah?’ Jawaban pertanyaan ini tergantung pada prinsip preseden dan interpretasi yang ada dalam sistem hukum. Ketiga, pertanyaan tersebut berarti: ‘Karena hukum ini tidak adil, tetapi pengadilan akan tetap memberlakukannya, apakah fakta bahwa sistem hukum secara keseluruhan adil, berarti bahwa saya memiliki kewajiban moral untuk mematuhi hukum ini?’ atau dalam istilah Finnis, dapatkah dikatakan bahwa ‘hukum yang tidak adil menciptakan kewajiban moral yang sama dengan diciptakan hukum yang adil?’ Finnis menjawab bahwa hukum tersebut tidak memiliki otoritas moral, dan karenanya tidak menimbulkan kewajiban moral untuk dipatuhi, tapi ia tidak menolak ketentuan statusnya sebagai hukum.
Keempat: pertanyaan apakah ada kewajiban untuk mematuhi hukum yang tidak adil dapat dipahami, yaitu apakah terdapat kewajiban moral yang menjamin kepatuhan (dengan kata lain, kewajiban yang berasal dari semua tempat yang bukan dari status ketentuan yang dipersoalkan). Finnis menjawab bahwa kewajiban tersebut bisa ada, jika kepatuhan dapat melemahkan hukum secara keseluruhan, tetapi tingkat kepatuhan terbatas pada hal yang diperlukan untuk menghindari ketidakefektifan seluruh sistem hukum. Tingkat kepatuhan tersebut bervariasi di berbagai situasi, tetapi dalam kasus hakim dan pejabat lain, diharuskan kepatuhan secara penuh. Finnis mengkarakteristikkan jenis kewajiban kepatuhan ini sebagai ‘dalam pengertian ekstra-legal’. Apapun kepatuhan yang diberikan terhadap hukum, pembuat undang-undang tetap berkewajiban untuk membatalkan atau mengubah hukum sedemikian rupa untuk menghilangkan ketidakadilannya.
Finnis menegaskan klaim tradisi hukum dasar perlu dikaji lebih teliti. Namun, apakah pengkajian tersebut menghasilkan munculnya kembali skeptisisme Hume merupakan persoalan kesimpulan individual.


[1] Disarikan dari H.L.A Hart, Positivism and the Separation of Law and Morals, Harvard Law Review, Vol. 71 (1958).

[2] Sebagaimana yang dinyatakan Hart ..Two of them, Bentham and Austin, constantly insisted on the need to distinguish, firmly and with the maximum of clarity, law as it is from law as it ought to be. Ibid. hal. 594

[3] Harti menyatakan: Austin thought ultimate moral principles were the commands of God, known to us by revelation or through the "index" of utility, and Bentham thought they were verifiable propositions about utility. Nonetheless I think (though I cannot prove) that insistence upon the distinction between law as it is and ought to be has been, under the general head of "positivism," confused with a moral theory according to which statements of what is the case ("statements of fact") belong to a category or type radically different from statements of what ought to be ("value statements"). It may therefore be well to dispel this source of confusion. Ibid. hal 617
[4] Ibid. hal.599
[5] Ibid. hal 616
[6] Ibid. hal 597
[7] Ibid. hal.623
[8] Disarikan dari Lon L. Fuller, The Morality of Law, (New Haven and London: Yale University Press, 1969)
[9] Ibid. hal.106
[10] Barry Macleod dan Cullinane, Lon L. Fuller and Enterprise of Law, Legal Note No.22 (London: Libertarian Alliance), hal.32
[11] Disarikan dari buku John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980).

2 komentar :

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak telah menyajikan tulisan yang sangat bermanfaat, terutama bagi mereka yang mencintai dunia filsafat dan hukum.

      Hapus