Mahfud menyatakan bahwa MK harus tetap dijaga agar dalam melaksanakan kewenangannya itu selalu sesuai dengan maksud yang sesungguhnya (original intent) UU dan isi UUD yang dijadikan dasar pengujian, agar MK tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yidkatif. Dengan demikian dalam memeriksa dan memutus perkara MK harus berpijak dan mengembalikan putusan kepada original intent (maksud utama atau maksud yang sebenarnya) isi konstitusi, sebab konstitusi dibuat dengan maksud-maksud tertentu yang telah disepakati oleh lembaga yang membuatnya.
Harus diingat bahwa, seperti dikemukakan oleh Wheare, konstitusi adalah produk resultante berdasar situasi sosial, politik dan ekonomi pada waktu dibuat.[1] Artinya ada kesepakatan-kesepakatan tertentu dari setiap isi konstitusi yang harus dijadikan pegangan oleh hakim konstitusi jika ada undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya sehingga MK harus melakukan pengujian. Relevan dengan ini, Thomas Paine juga mengatakan bahwa lahirnya konstitusi itu bukanlah tindakan pemerintah melainkan tindakan rakyat untuk mengatur pemerintahan negaranya dan pemerintahan tanpa konstitusi adalah kekuasaan yang tanpa hak,[2] sehingga pengujian undang-undang oleh MK juga harus berdasar pada kesepakatan yang menjadi aturan tentang tindakan rakyat itu. Dapat juga dirujuk disini pendapat Carl J. Friedrich yang mengatakan bahwa konstitusi di dalam pemikiran politik modern sangatlah khas karena ia merupakan proses pengendalian aktivitas pemerintahan secara efisien[3] sehingga pengujian undang-undang itu harus juga berpedoman pada original intent UUD yang merupakan dasar untuk mengendalikan tindakan-tindakan pemerintah, termasuk dalam membuat undang-undang tersebut.
Oleh sebab itu, tidak bolehlah ada kegiatan pemerintahan, termasuk dalam pembuatan undang-undang, yang berada di luar kendali konstitusi.[4] Bahwa konstitusi dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat dibuat dapat juga disarikan dari pandangna Whinny ketika mengatakan bahwa konstitusionalisme tidak semata-mata menjadi nilai-nilai substantif yang dituliskan menjadi piagam konstitusi tetapi juga mencakup proses-proses aktual perubahan-perubahan konstitusi itu sendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada setiap perkembangannya.[5]
Dalam kaitan inilah, maka dalam melaksanakan kewenangannya, terutama dalam melakukan pengujian atau judicial review undang-undang terhadap UUD, MK hanya boleh menafsirkan isi UUD sesuai dengan original intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkannya. MK seharusnya hanya boleh menyatakan sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan UUD dan tidak boleh memasuki ranah legislatif (ikut mengatur) dengan cara apapun. Pada umumnya pembatasan tugas yang demikian dikaitkan dengan pengertian bahwa DPR dan pemerintah adalah positive legislator (pembuat norma) sedangkan MK adalah negative legislator (penghapus atau pembatal norma).
Putusan MK terhadap permohonan uji materi UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang diajukan oleh Bawaslu secara normatif telah melampaui kewenangan atributif yang diberikan oleh UUD 1945. Sebab kewenangan MK hanya sebatas menguji UU terhadap UUD 1945 sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945[6].
Karena kewenangan MK sebatas menguji, maka MK hanya bisa membatalkan atau menyatakan suatu UU (sebagian pasal atau keseluruhan) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kewenangan ini dalam bahasa hukum dikenal dengan negative legislator, sebuah kewenangan legislasi tetapi bersifat negatif/pasif karena hanya sebatas membatalkan dan/atau menyatakan suatu peraturan tidak mengikat. Berbeda dengan positive legislator yang kewenangannya sampai pada tingkat membuat, membentuk, menetapkan dan mensahkan suatu undang-undang.
Kewenangan negative legislator sebenarnya baru dikenal pada tahun 1803 melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury Vs Madison”. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Konstitusi Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan didukung 4 (empat) Hakim Agung lainnya yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.[7] Pembatalan undang-undang inilah yang kemudian dikenal sebagai negative legislator sebagai kewenangan baru lembaga peradilan yang kemudian diikuti oleh banyak negara di dunia.
Di Indonesia berdasarkan norma-norma yang diatur di dalam konstitusi (UUD NRI 1945) kewenangan negative legislator dimiliki oleh 2 (dua) lembaga kekuasaan kehakiman yaitu MK dan MA. Untuk MK negative legislator digunakan untuk membatalkan UU yang bertentangan dengan UUD 1945, sementara untuk MA negative legislator digunakan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah UU yang bertetangan dengan UU. Untuk positive legislator, kewenangannya dimiliki oleh 2 (dua) lembaga negara yaitu: DPR dan Presiden[8] sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD NRI 1945.
Kembali kepada Putusan MK No.11/PUU-VIII/2010, putusan tersebut ternyata tidak sebatas negative legislator, namun juga sekaligus sebagai positive legislator yang sebenarnya kewenangan tersebut hanya dimiliki DPR dan Presiden. Sebab MK tidak hanya menyatakan pasal-pasal yang diuji (Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 95) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat saja, tetapi juga merombak dan membuat norma baru dan kemudian menyatakan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 95 yang sebenarnya telah diputus “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” kembali dinyatakan berlaku dan mengikat dengan norma baru yang dibuat secara sepihak oleh MK di dalam Putusannya.
Alasan yang digunakan MK di dalam putusan tersebut adalah atas dasar kegentingan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) karena penyelenggaraan Pilkada yang mendesak. Namun alasan ini tetap tidak dapat dibenarkan karena tidak ada sandaran konstitusional apapun. Sifat kegentingan memaksa berdasarkan UUD 1945 kewenangannnya hanya dimiliki Presiden melalui penerbitan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) seperti yang disebutkan di Pasal 22 UUD 1945.
Seharusnya, Putusan MK tetap bersifat negative legislator walaupun dengan alasan kegentingan apapun. Untuk menggantikan pasal-pasal yang telah dinyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” tersebut tetap diserahkan kepada DPR dan Presiden sebagai positive legislator. Kalau pun alasan MK bersifat mendesak karena dikejar jadwal penyelenggaraan Pemilukada, toh salinan Putusan MK yang diserahkan kepada DPR dan Presiden dapat disertai surat permintaan kepada Presiden untuk segera menerbitkan Perpu dengan alasan kegentingan memaksa. Dan jika hanya untuk membuat Perpu atas Perubahan UU No.22 Tahun 2007 untuk menggantikan 3 (tiga) buah pasal yang telah dibatalkan oleh MK tersebut, Presiden dapat membuatnya dengan kilat yang tidak membutuhkan waktu berbulan-bulan, bisa saja hanya dalam 1 (satu) hari saja, karena Perpu bisa langsung dinyatakan berlaku tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari DPR terlebih dahulu.
MK tidak perlu memiliki kekhawatiran berlebihan bahwa Perpu tersebut nantinya akan ditolak oleh DPR, karena dasar norma-nomar yang terdapat di dalam Perpu tersebut adalah norma yang telah diuji konstitusionalitasnya (telah sesuai dengan norma-norma di dalam UUD 1945) berdasarkan Putusan MK, sehingga secara konstitusional tidak ada alasan pula bagi DPR untuk menolak Perpu tersebut. Jadi kekhawatiran tersebut sebenarnya adalah kekhawatiran mengada-ada yang bersifat politis. [1] K.C. Wheare, Modern Constitutions (Oxford University Press, 3nd Impression London-New Yord, Toronto, 1975) hal. 67
[2] Thomas Paine, Right of Man (1792), Constitution Society http://www.constitution.org/tp/rightsma2.htm diunduh 20 Maret 2010
[3] Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America (Weldham, Mass: Blaisdell Publishing Company, 5th edition, 1967) hal.3
[4] Kegiatna pemerintahan dalam arti luas mencakup kegiatan legislatif, eksekutif dan yudikatif, namun dalam arti sehari-hari istilah kegiatan pemerintahan sering diberi arti sempit sebagai kegiatan eksekutif saja.
[5] Mc.Whinny dalam James A. Curry, Richard B. Railey, dan Richard M. Battistoni, Constitutional Government, The American Experience (1989), hal.132
[6] Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar...
[7] Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara (Konstitusi Press, Jakarta : 2005), hal. 15
[8] Kewenangan positive legislator tidak dimiliki DPD karena lembaga tersebut kewenangan legislasinya hanya sebatas mengusulkan dan ikut membahas UU, tidak sampai memutuskan dan mensahkan UU.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar