Kamis, 05 Agustus 2010

Legal Discourse Politik Aliran Pasal 29 UUD 1945 dari BPUPKI sampai Amandemen UUD 1945


Jika menggunakan pendekatan Locke, konstitusi pada dasarnya memuat prinsip mayoritas, seperti dikatakannya: …and it being necessary to that which is one body to move one way; it is necessary the body should move that way whither the greater force carries it, which is the consent of majority.[1]  Setelah kontrak sosial tercapai, maka persetujuan individu hilang dan digantikan dengan kehendak mayoritas (konstitusi). Dan setiap pemerintahan harus tunduk terhadap kehendak mayoritas tersebut. Jika kemudian pemerintah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kehendak mayoritas, dalam kacamata Locke, pemerintah harus diturunkan/dilengserkan oleh rakyatnya.
Bagi Elster dan Slagstad, sistem mayoritas sebenarnya memiliki hal yang bersifat paradoks sebab kelompok minoritas tidak diberikan kesempatan (hak) untuk menolak secara langsung, selain memilih patuh sebagaimana yang dikehendaki mayoritas itu sendiri. Sebab dalam kacamata demokrasi tanpa adanya persetujuan mutlak (acquiescence) dari suara yang kalah (minoritas) sama dengan bukan demokrasi.
Persetujuan mutlak yang diberikan kelompok minoritas tersebut biasanya disertai dengan jaminan politik dari negara. Jaminan politik itu didasarkan pada teori multiple membership, dimana jika setiap individu memiliki beberapa kelompok lalu sebagian besar masyarakat tergabung dalam kedua koalisi mayoritas dan minoritas, masyarakat yang kalah (minoritas) akan menggunakan dasar kehormatan dirinya sebagai alasan untuk menerima keputusan yang tidak diinginkannya tersebut, dalam situasi lain, toh mereka tetap akan mendapatkan kebaikan dari keputusan yang sebenarnya tidak dikehendakinya. Sebaliknya, atas dasar persetujuan dari minoritas, kelompok mayoritas akan bertoleran untuk tidak bertindak sewenang-wenang terhadap minoritas.[2]
Atas dasar itulah maka Elster dan Slagstad dengan mengutip teori umum tentang konstitusionalisme milik Colhoun menegaskan bahwa konstitusi pada dasarnya tidak lebih dari proses tawar-menawar (bargains). Konstitusi diyakini pada awalnya lahir dari konflik-konflik kepentingan antar kelas yang saling bermusuhan di dalam masyarakat, seperti yang diutarakannya:[3]
Constitutions, he (Colhoun) argued, are bargains. Indeed, the development and acceptance of a constitutional framework can occur only as the contingent result of irresolvable conflict: The constitutions (of both Rome and Britain) originated in a pressure occasioned by conflicts of interests between hostile classes or orders and were intended to meet the pressing exigencies of the occasion, neither party, it would seem, having any conception of the principles involved or the consequences to follow beyond the immediate objects in contemplation.
Oleh karena itu, Elster dan Salgstad mengungkapkan bahwa the initial willingness of rival factions to compromise on a constitutional framework is usually motivated by battle fatigue and a yearning for the fruits of peaceful cooperation. But all parties mus be assured that “ultimate values” –the things they care avout most- will not be dragged through the mud of contestation. When factions negotiate, they put their differences aside and build on common the thought of being ruled by foreigners. Burying differences, in Calhoun’s view, meant removing them from the national political agenda in order to concentrate on problems likely to mobilize greater social concensus.[4]
Aristoteles memberikan gambaran konstitusi dengan pengklasifikasian konstitusi pada 2 (dua) hal pokok yaitu the ends pursued by states dan the kind of authority exercised by ther government. Tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Karena itu, Aristoteles membedakan antara right constitution dan wrong constitutions dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah.[5]
Konstitusi yang terakhir (yang salah) dapat disebut pula sebagai perverted constitution yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang selfish (the selfish interest of the rulling authority). Konstitusi yang baik disebut Aristoteles sebagai konstitusi yang tidak normal. Ukuran baik buruknya atau normal tidaknya kostitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled.[6]
Dalam kasus ini, Mahfud MD mencoba memberikan gambaran dengan membandingkan kehidupan berkonstitusi era Orde Lama dengan Orde Baru. Salah satu poin yang ditegaskan Moh.Mahfud adalah:  jalan yang ditempuh Orde Lama adalah inkonstitusional, sedangkan Orde Baru memilih justifikasi melalui cara-cara konstitusional sehingga perjalanan menuju otoritariannya memang didasarkan pada peraturan yang secara “formal” ada atau dibuat.[7] Dari kacamata Mahfud ini dapat dilihat bahwa jika meminjam istilah Aristoteles bahwa UUD 1945 pada masa Orde Baru tidak lebih sebagai perverted constitution yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang selfish.
Namun bagaimanapun, bagi Kelsen sebagai pelopor teori hukum murni, konstitusi akan tetap dipandang sah selama tetap dipostulasikan sah (valid) oleh masyarakat. Sebaliknya, jika ternyata konstitusi (perubahan konstitusi) tidak dipatuhi masyarakat (tidak efektif) bahkan berbuah protes, maka pihak-pihak yang menyusun konstitusi tersebut akan berbalik dinilai sebagai pengkhianat dan tindakan mereka dalam menyusun atau merubah konstitusi akan dianggap sebagai perbuatan yang illegal, atas dasar penilaian konstitusi sebelumnya.[8]
Jika dikaitkan dengan keberadaan Pasal 29 UUD 1945 yang mengatur tentang jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, dari sejarahnya dilahirkan dari proses bargains antar politik aliran di Indonesia, terutama antara kelompok Islam sebagai agama mayoritas dengan kelompok Indonesia Timur yang rata-rata beragama non Islam. Kelompok Islam sebagai agama mayoritas menghendaki dalam konstitusi perlunya memberikan perlakuan khusus bagi umat Islam. Perlakuan khusus tersebut telah disetujui oleh tim perumus (tim 9) yang bertugas menyusun dasar negara dengan menuangkan “7 kata” di dalam Piagam Jakarta, namun ketika Piagam Jakarta tersebut disahkan sebagai Pembukaan UUD 1945, 7 kata tersebut dihapus atas ancaman dari kelompok non Islam dari Indonesia Timur yang akan menolak untuk menjadi bagian dari negara Indonesia jika 7 kata tersebut dipertahankan.[9]
Penghapusan 7 kata tersebut kembali digugat oleh kelompok Islam ketika Dewan Konstituante membahas pembentukan UUD yang baru. Sebelum dibubarkan oleh Presiden Soekarno, Konstituante sebenarnya telah menyelesaikan 90 persen agenda tugasnya kecuali satu hal yaitu menetapkan pilihan atas dua anutan ideologi dasar: “Pancasila atau Islam”. Lima persyaratan telah disepakati: berkepribadian Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945, musyawarah sebagai dasar penyelesaian segala persoalan negara, terjaminnya kebebasan beragama, serta jaminan sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang luas dan keadilan sosial.[10]
Berdasarkan risalah rapat-rapat Dewan Konstituante, rangkaian debat di Konstituante jauh lebih tajam daripada perdebatan ST MPR dan Sidang PAH I BP MPR 200-2002. Menurut catatan risalah, perdebatan yang berlangsung kerapkali panas karena dibumbui kata-kata pedas yang menyerang pribadi dan mengarah SARA. PM Juanda dalam kesempatan memberikan jawaban pemerintah, misalnya, tak mau menanggapi ejekan seorang anggota yang dikatakannya bersifat persoonlijk dan provokatif. Anggota Asmara Hadi dari fraksi GPPS (Gerakan Pembela Pancasila) berkata:
Dari golongan Islam sudah keluar kata-kata ‘kami tak takut’. Juga dari golongan pendukung Pancasila ada keluar kata-kata ‘kami tak takut’. Kalau kita terus menerus begini saling panas, saling ejek, saling lempari dengan lumpur, ke mana kita sampai?
“Kita di sini bisa berdebat berpanas-panasan, kita tidak akan berkelahi, sebab kita berpikiran panjang dan sesudah berdebat kita akan bersama-sama minum kopi di restoran. Tapi bagaimana kalau rakyat di luar gedung Konstituante ini karena terseret akan kata-kata yang kita ucapkan di sini, ikut memperdebatkan pula apa yang kita perdebatkan di sini? Rakyat yang kurang panjang pikirannya. Kalau mereka karena panas hati lalu mencabut golok, maka kalau ada darah yang tertumpah, kitalah yang bertanggung jawab, kitalah yang bersalah.”[11]
Benturan antara blok Islam dan blok Pancasila akhirnya coba diakhiri oleh Bung Karno untuk kembali ke UUD 1945 melalui pidatonya "Respublica, Sekali Lagi Respublica" di depan sidang Konstituante. Namun sayang ajakan tersebut tidak meredakan benturan karena hanya disetujui oleh kelompok (blok ) Pancasila yang terdiri dari fraksi-fraksi nasionalis, partai-partai agama non-Islam, sosialis, komunis, golongan dan perorangan non partai. Sementara fraksi-fraksi Islam hanya mau kembali ke UUD 1945 jika sebelumnya diamandemen terlebih dahulu. Amandemen yang dikehendaki fraksi-fraksi Islam adalah masuknya “7 kata” dalam Piagam Jakarta di Pembukaan dan di pasal 29 UUD 1945.[12]
Karena musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, akhirnya dilakukan voting. Voting pertama (Jumat 29 Mei 1959) adalah untuk "setuju" atau "tidak" terhadap UUD 1945 dengan amandemen yang diusulkan blok Islam. Hasil pemungutan suara dari 470 anggota yang hadir adalah 201 setuju lawan 265 tidak setuju (empat anggota abstein). [13]
Karena rancangan UUD harus didukung oleh 2/3 suara, usulan amandemen dari fraksi Islam gagal. Nasib serupa dialami oleh pendukung UUD 1945 yang tanpa perubahan. Tiga hari  untuk tiga kali pemungutan suara atas usulan ini juga tak cukup memenuhi kuorum 2/3 suara. Hasilnya: (Sabtu 30 Mei 1959), 269 setuju lawan 199 tidak setuju; Senin 1 Juni 1959, 264 setuju dan 204 menolak; Selasa 2 Juni 1959, 263 setuju dan 203 menolak. Suara yang diperlukan untuk memenangkan tiga kali voting itu adalah 316, 313, 312. [14]
Rapat yang menentukan nasib UUD 1945 itu ditutup 2 Juni 1959 pukul 12.21. Itulah menit terakhir dari nafas Konstituante yang telah berupaya keras selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan 2 (dua) hari untuk menyelaraskan pandangan bangsa ini tentang dasar negaranya, namun sia-sia. Pada 5 Juli 1959 akhirnya Presiden Sukarno guna menghentikan perpecahan yang telah mengarah pada SARA dan perpecahan bangsa segera mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 dengan model kepemimpinan “Demokrasi Terpimpin”, dengan ciri setiap musyawarah yang tidak mencapai mufakat harus diserahkan kepada Presiden selaku Pemimpin Besar Revolusi demi penyelamatan persatuan bangsa dan jalannya revolusi Indonesia.[15]
Benturan ideologis dan berbau SARA tersebut kembali mencuat pada proses Perubahan UUD 1945. Benturan tersebut menguat di Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 ketika MPR mengagendakan Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap hasil Rancangan BP MPR khususnya tentang agama yang tercantum di dalam Pasal 29 UUD 1945. Isi rancangan tersebut tertuang dalam lampiran TAP MPR Nomor XI/MPR/ 2001 yang isinya memberikan 4 (empat) alternatif rancangan Pasal 29 ayat (1) yaitu:
Alternatif 1    : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Tetap).
Alternatif 2    : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Alternatif 3    : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya.
Alternatif 4    : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang tersebut, MPR terpolar ke dalam 2 (dua) kubu, yaitu kubu yang tetap menginginkan Pasal 29 tidak diubah (alternatif pertama) yang terdiri dari F-PDIP, dan F-PG dan FUG, dan kubu yang menginginkan “7 kata” dalam Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam rumusan Pasal 29 (alternatif kedua) yang terdiri dari  FPPP dan FPBB. Ditengahi oleh kubu yang sedikit soft namun lebih condong ke FPPP dan FPBB yang menawarkan kompromi tetap memasukkan “7 kata” namun kalimat “syariat Islam” diganti “ajaran agama” yang dimotori Fraksi Reformasi (PAN dan PK).
FPPP melalui Zainuddin Islam menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 sebenarnya adalah Piagam Jakarta yang pada saat terakhir penyusunan dan pengesahan UUD oleh PPKI direvisi dengan menghilangkan “7 kata” dibelakang kata Ketuhanan, oleh karena itu “7 kata” tersebut harus dikembalikan (dimasukkan) ke dalam Pasal 29 UUD 1945. FPPP meyakinkan bahwa pemuatan “7 kata” tersebut sama sekali tidak berarti telah terbentuk negara Islam. Hal itu hanya berarti bahwa hukum Islam berlaku bagi umat Islam sebagaimana halnya politik hukum Hindia Belanda tahun 1929 yang pernah mengakui keberadaan hukum Islam.[16]
Senada dengan FPPP, FPBB juga menginginkan dimasukkannya “7 kata” dengan alasan yang sedikit berbeda. Alasan yang dipergunakan dengan mengutip konsideran Dekrit yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UUD 1945, sehingga sudah sewajarnya “7 kata” yang terdapat dalam Piagam Jakarta dimuat kembali di Pasal 29 UUD 1945. FPBB menyatakan bahwa tidak ada maksud untuk memberlakukan syariat Islam kepada non muslim dan tidak ada maksud menyingkirkan agama-agama lainnya. FPBB menjamin kebebasan agama lain untuk hidup dan bebas menjalankan ajarannya di Indonesia karena syariat Islam pun menjaminnya.[17]
F-PDIP melalui wakilnya Soetjipto menyatakan bahwa rumusan Pasal 29 dalam UUD 1945 merupakan kesepakatan bangsa yang amat fundamental secara makna, dan amanat monumental dalam kedudukannya sebagai pusat keseimbangan sebagai bangsa. Tanpa keseimbangan, maka Bhinneka Tunggal Ika dipastikan akan berakhir, karenanya bagi F-PDIP rumusan Pasal 29 itu tidak perlu diubah.[18] Sementara F-PG melalui Hajriyanto Y. Thohari menyatakan bahwa kalimat tegas “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan sekaligus menegaskan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, tiap agama hidup berdampingan dan saling menghormati, sehingga Pasal 29 ayat (1) sudah benar dan tidak perlu diubah.[19] Fraksi UG melalui Valina Singka Subekti menegaskan bahwa Pasal 29 tidak boleh diubah karena merupakan jantungnya UUD 1945. Di dalam pembukaan tegas dinyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa karena itu harus ditegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar dari Negara Republik Indonesia.[20]
FPKB melalui Ali Masskur Musa juga menegasakan bahwa Pasal 29 merupakan kesepakatan bersama antara the founding fathers dalam rangka mewujudkan kebersamaan dan mempertahankan NKRI sehingga harus dipertahankan.[21] FPDKB bahkan lebih keras, melalui Tunggul Sirait secara tegas menyatakan mengubah Pembukaan atau memasukkan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang muatannya mengingkari isi, jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan NKRI.[22]
Sementara Fraksi Reformasi (terdiri dari PAN dan PK) mencoba untuk lebih bersikap moderat dengan memberi jalan tengah. Menurutnya tuntutan memasukkan “7 kata” Piagam Jakarta adalah wajar karena dari sejarahnya para pendiri bangsa kagum atas keluruhan budi pekerti dan kemuliaan akhlak yang didasarkan pada kesalehan individual dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Oleh karena itu F-Reformasi memberikan alternatif ketiga yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya.[23]
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya pada Rapat Paripurna ke-6 MPR Lanjutan ke-2 ST MPR, 10 Agustus 2002 dapat diakhiri tanpa harus melalui voting. Akhir perdebatan tersebut dilakukan dengan mundurnya FPPP dan FPBB untuk tidak ikut mengambil keputusan untuk menetapkan Pasal 29 sesuai dengan aslinya.


[1] John Locke, 1952,The Second Treatise of Government (Indianapolis: The Liberal Arts Press, Inc) Pasal 96, hal. 55.
[2] Jon Elster and Rune Slagstad, eds, 1997, Constitutionalism and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press), hal. 209. Dinyatakan bahwa: majoritarianism is thus inherently paradoxical. Its escapes inconsistency only because consent can be aimed at different targets. Even if they do not consent directly to the decisions being made, members of an outvoted minority can consent to the procedures by which that decision was reached and even bind themselver indirectly to abid by whatever outcome the accepted procedure produces. But the difficulty here cannot be so easily dismissed. Why do minorities accept majority rule? without a minority’s acquiescence in decisions which its members, by definition, dislike, democracy would be impossible. But how is a minority’s acquiescence politically guaranteed? One answer is offered by the theory of “multiple membership”. If every individual belongs to several groups at once, then most citizens will be aligned with both majority and miniority coalitions of different questions. Outvoted on issue citizens will have good self-regarding reason to accept an unwanted decision: in other circumstances they, too, will benefit from majority rule. Contrariwise, members of an obviously temporary majority will b inspired to display self restraint.
[3] Ibid. hal 211.
[4] Ibid.
[5] Jimly Asshiddiqie, Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Setjen Mahkamah Konstitusi republik Indonesia) Hal 6.
[6] Ibid.
[7] Moh.Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media) hlm 17

[8] Hans Kelsen, Op. Cit. hal 120 disebutkan oleh Kelsen bahwa If they succeed, if the old order ceases, and the new ordr begins to be efficacious, because the individuals whose behavior the nuew order regulates actually behave, by and large,in comformity with the new ordr, then this order is considered as a valid order… If the revolutionaries fail, if the order they have tried to establish remains inefficacious, then, on the other hand, their undertaking is interpreted, not as a legal, a law-crating act, as the crime of treason, and this according to the old monarchic constitution and its specific basic norm.
[9] 7 kata yang dimaksud  dalam Piagam Jakarta adalah sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.  Kalimat tersebut menempel pada sila Pertama dalam Piagam Jakarta, namun dalam  rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus kalimat tersebut dicoret karena tersiar kabar bahwa rakyat Kristen di wilayah Indonesia bagian timur akan menolak bergabung ke dalam Republik Indonesia. Dalam menanggapi keberatan trsebut, Moh. Hatta mengumpulkan beberapa wakil golongan Islam yang duduk di PPKI, yakni Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasma Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan untuk membicarakan persoalan tersebut. Dalam pembicaraan formal itu wakil-wakil golongan Islam dengan ikhlas merelakan beberapa perubahan de3mi persatuan kesatuan. Lihat buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Tintamas, Jakarta: 1970).

[10] Benturan dan Bubaran Konstituante (disarikan dari Risalah-risalah Perundingan Konstituante (Bandung: Masa Baru tanpa tahun) dalam http://diskusia.multiply.com/journal/ item/9/Benturan_dan_Bubaran_Konstituante
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VIII, Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), hal. 287-289.
[17] Ibid. hal.291-292.
[18] Ibid. hal.285-286
[19] Ibd. Hal.286
[20] Ibid. hal. 286-287
[21] Ibid. hal. 290
[22] Ibid. hal.293
[23] Ibid. hal.293

Tidak ada komentar :

Posting Komentar