Kamis, 05 Agustus 2010

Keadilan Dalam Kacamata Plato, Aristoteles, Rawls sampai Derrida


1.    Keadilan Dalam Kacamata Plato, Aristoteles, Rawls dan Derrida
Keadilan dan hukum memang telah lama menjadi perdebatan bahkan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum dan teori sosial, yang kemudian terbagi ke dalam dua titik ekstrim, keadilan yang dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan di titik lain dipahami secara rasional.[1]
Plato yang mengawali pembicaraan tentang keadilan. Sesuai dengan aliran idealis abstrak yang menjadi ciri berpikirnya, keadilan menurutnya berada di luar kemampuan manusia dan bersifat metafisis (irrasional). Karenanya, semua pemikiran manusia tentang keadilan harus tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga.[2] Jika terjadi ketidakadilan, itu karena perubahan di dalam masyarakat yang tidak tunduk dengan aturan-aturan Tuhan. Oleh karena itu untuk mewujudkan keadilan maka masyarakat harus dikembalikan kepada struktur aslinya sesuai dengan garis Tuhan (penguasa tetap menjadi penguasa dan rakyat harus tetap kembali menjadi rakyat). Setiap perubahan dalam masyarakat harus dicegah oleh negara karena perubahan adalah sumber ketidak-adilan, namun dengan syarat pemimpin negara haruslah the king of philosopher agar keadilan Tuhan benar-benar tetap terjaga.[3] Dalam kacamata ini, Plato lebih melihat keadilan sebagai hubungan individu dengan negara (bagaimana individu melayani negara) bukan hubungan antar individu.[4]
Sementara Aristoteles melihat keadilan dalam 2 (dua) hal, secara irrasional, keadilan adalah apa yang telah ditentukan oleh alam, dan secara rasional, keadilan sebagai hasil ketetapan manusia (keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal, sedangkan keadilan yang ditetapkan manusia tidak sama di setiap tempat. Keadilan yang ditetapkan oleh manusia inilah yang disebut dengan nilai. Akibat adanya ketidak-samaan ini maka ada perbedaan kelas antara keadilan universal dan keadilan hukum yang memungkinkan pembenaran keadilan hukum. Bisa jadi semua hukum adalah universal, tetapi dalam waktu tertentu tidak mungkin untuk membuat suatu pernyataan universal yang harus benar.  Adalah sangat penting untuk berbicara secara universal, tetapi tidak mungkin melakukan sesuatu selalu benar karena hukum dalam kasus-kasus tertentu tidak terhindarkan dari kekeliruan. Saat suatu hukum memuat hal yang universal, namun kemudian suatu kasus muncul dan tidak tercantum dalam hukum tersebut. Karena itulah persamaan dan keadilan alam memperbaiki kesalahan tersebut.[5]
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls lebih menekankan pada keadilan sosial.[6] Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. [7]
Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota masyarakat secara sederajat.[8]
Baik Plato, Aristoteles maupun Rawls, kesemuanya mendasarkan keadilan pada sebuah tatanan, entah itu tatanan hukum, ilahi maupun rasional. Keadilan seolah-olah adalah sebuah benda yang memang ada dan dapat ditunjuk. Meskipun masing-masing menunjuk pada hal yang berbeda, namun mereka semua sepekat bahwa ada sebuah keadilan. Masalah keadilan siapa yang dipakai tentu saja menjadi masalah lain yang tersendiri.
Dari tradisi inilah kemudian Derrida menawarkan jalan lain. Daripada berargumen mengenai apa yang adil, dengan membenarkan satu pendapat dan menentang pendapat yang lain, Derrida melakukan jalan yang berbeda, yaitu dekonstruksi hukum. Di saat kita tidak dapat mengambil keputusan berdasarkan apa yang sudah ada, momen itulah keadilan. Di saat kita tidak bisa mengambil keputusan berdasarkan hukum yang sudah ada, itulah keadilan. Hukum harus diinterpretasikan setiap kali kita menghadapi momen tersebut. Ia justru memberikan peluang melepaskan diri dari pemaksaan hukum. Tak terlalu berlebihan memang dengan demikian kutipan Derrida, bahwa dekonstruksi adalah keadilan. [9]


[1] Berbagai macam permasalahan keadilan dan kaitannya dengan hukum yang berkembang dari berbagai aliran pemikiran dapat dibaca pada buku: W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan II, (Legal Theory), diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, cetakan Kedua, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1994.
[2] W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori), Susunan I, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin, Cetakan kedua, Jakarta (PT RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 117.
[3] Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi (Bandung: Pustaka Mizan, 1997) hal. 1-15.
[4] Konsepsi keadilan Plato dapat dilihat dalam bukunya The Republik terjemahan Benjamin Jowett. Dalam bagian awal buku ini plato mengetengahkan dialog antara Socrates dengan Glaucon tentang makna keadilan.
[5] Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen.html. Diunduh tanggal 12 Desember 2009.
[6] Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: International Law Book Review, 1994) hal. 278.
[7]Lihat  John Rawls, A Theory of Justice (Belknap, 1971) hal.256- 230
[8] Ibid.
[9] Mitchell Stephens, Deconstructing Jacques Derrida, The Most Reviled Professor in The World Defends His Diabocally Difficult Theory, Time Magazine, Los Angeles 21 July 1991.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar