Jika menggunakan pendekatan teori John Locke, kedaulatan rakyat dan konstitusi memiliki hubungan yang saling terkait. Sebab kedaulatan rakyat hanya bisa diwujudkan jika negara tidak lagi bersifat absolut. Oleh karena itu Locke mengenalkan teori tentang kelahiran negara atas dasar perjanjian masyarakat, dimana negara dibentuk untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara[1]. Atas dasar pandangan inilah (negara harus melindungi milik pribadi) maka dalam kacamata Locke kekuasaan negara harus dibatasi. Pembatasan kekuasaan tersebut menurut Locke dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: pertama dengan membentuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang ditentukan oleh Parlemen berdasarkan prinsip mayoritas; kedua dengan cara membagi kekuasaan ke dalam 3 (tiga) unsur: legistlatif, eksekutif, dan federatif.[2] Pembagian kekuasaan tersebut adalah upaya agar kekuasaan tidak lagi bersifat absolut, sebab dengan cara membagi kekuasaan negara ke berbagai lembaga negara pada akhirnya akan melahirkan sistem cecks and balances antar lembaga negara.[3]
Pembagian kekuasaan dalam konteks kedaulatan rakyat –yang kemudian dikenal melalui prinsip trias politica– tersebut dalam kacamata Barend telah menjadi ciri pokok konstitusi-konstitusi negara modern, dimana setiap konstitusi akan selalu mengatur masing-masing kekuasaaan (parlemen, pemerintah, peradilan dan institusi-institusi nasional penting lainnya).[4] Ciri konstitusi ini sesuai dengan keinginan Locke yang menghendaki kekuasaan dibatasi oleh aturan-aturan hukum yang tidak lagi dibuat oleh raja melainkan oleh parlemen –walaupun parlemen dalam kacamata Locke saat itu masih terbatas kaum aristokrat dan tuan tanah. Dalam pandangan positivisme Kelsen, pengaturan kekuasaan-kekuasaan lembaga negara di dalam konstitusi akan menempatkan aturan tersebut sebagai hukum tertinggi yang tidak dapat diubah oleh aturan apapun, kecuali dengan jalan merubah konstitusi itu sendiri[5], sehingga dengan demikian prinsip-prinsip kedaulatan rakyat melalui jalan pembagian kekuasaan dapat bersifat lebih ajeg.
Prinsip trias politica dalam praktik telah melahirkan faham konstitusionalisme yang dianut negara-negara modern. Sebagaimana dinyatakan Friedrich bahwa konstitutionalisme adalah …a set of an activites organized and operated on behalf of the people but subject to a series of restrains which attempt to ensure that the power which is need for such governance is not abused by those who are called upon to do the governing.[6] Dari pandangan Friedrich tersebut terlihat bahwa tujuan pokok dari konstitutionalisme adalah upaya membatasi kekuasaan seperti yang diharapkan Locke melalui sebuah hukum khusus yaitu konstitusi. Senada dengan Friedrich, Soetandyo dalam melihat konstitusionalisme juga mensyaratkan harus memuat konsepsi negara hukum, hak-hak sipil warga negara dan pembatasan kekuasaan negara yang dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh dari konstitusi.[7]
Paham konstitusionalisme pada akhirnya melahirkan negara-negara konstitusional, sebab sebagaimana menurut Locke suatu negara dapat disebut sebagai negara konstitusional ketika kekuasaan negara dibatasi dengan adanya konstitusi.[8] Namun demikian, untuk melihat sejarah lahirnya negara konstitusional, Strong tidak mau terjebak hanya dengan melihat riwayat institusi-institusi konstitusional saja, tetapi lebih penting dari itu adalah sejarah gagasan-gagasan politik yang mendasarinya. Sebab lahirnya negara konstitusional telah melewati garis sejarah panjang mengenai praktik-praktik kekuasan, hak-hak yang dikuasai dan hubungan diantara keduanya, yang pada akhirnya bermuara pada paham konstitusionalisme. [9]
Menurut John Alder, negara konstitusional hanya akan terwujud jika terdapat kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah untuk mematuhi konstitusi sebagai perwujudan kehendak rakyat (popular will). Agar pemerintah mau mematuhi konstitusi, paling tidak terdapat 4 (empat) cara:
1) By creating basic principles of justice, and individual rights policed by courts who are independent of the government.
2) By splitting up power between different government bodies to ensure that no one person has too much power (separation of powers).
3) By adopting representative institutions of government that are chosen by the people and can be removed by the people.
4) By providing for direct participation by the people in the process of government decision-making. [10]
Namun demikian, bentuk kepatuhan negara terhadap konstitusi pada dasarnya juga belum bisa dijadikan jaminan terjaganya prinsip-prinsip kedaulatan rakyat suatu negara. Karena dalam praktiknya, tidak semua negara memiliki konstitusi yang benar-benar merepresentasikan kedaulatan rakyat. Apalagi jika menggunakan pendekatan Locke, konstitusi masih terbatas pada “kehendak mayoritas” yang di satu sisi mengartikan tidak terakomodirnya suara atau kehendak minoritas, sehingga mau tidak mau kelompok minoritas harus tunduk kepada kehendak mayoritas. Persoalan ini sempat ditangkap John Elster dan Run Slagstad. Menurutnya sistem mayoritas memang bersifat paradoks, sebab kelompok minoritas tidak diberikan kesempatan (hak) untuk menolak secara langsung, selain memilih patuh sebagaimana yang dikehendaki mayoritas itu sendiri. Sebab dalam kacamata demokrasi tanpa adanya persetujuan mutlak (acquiescence) dari suara yang kalah (minoritas) sama dengan bukan demokrasi.[11]
Jika menggunakan pendekatan Colhoun atas hasil penelitiannya terhadap konstitusi Roma dan Britania, diyakini bahwa konstitusi sebenarnya merupakan produk hukum yang dihasilkan dari political bargains antar kelompok kepentingan. Konstitusi diyakini pada awalnya lahir dari konflik-konflik kepentingan antar kelas yang saling bermusuhan di dalam masyarakat. Dalam kacamata Elster dan Salgstad (dengan tetap meminjam pendekatan Colhoun) juga melihat bahwa lahirnya konstitusi berangkat dari kompromi politik antar faksi setelah menghadapi jalan buntudi dalam pertarungan-pertarungan politik. Seperti yang diungkapkan keduanya:[12]
Constitutions, he (Colhoun) argued, are bargains. Indeed, the development and acceptance of a constitutional framework can occur only as the contingent result of irresolvable conflict: The constitutions (of both Rome and Britain) originated in a pressure occasioned by conflicts of interests between hostile classes or orders and were intended to meet the pressing exigencies of the occasion, neither party, it would seem, having any conception of the principles involved or the consequences to follow beyond the immediate objects in contemplation.
Menyoal konstitusi yang dalam praktiknya ternyata belum tentu lahir atas dasar kehendak rakyat, tetapi bisa juga dari proses tawar menawar politik antar kelompok kepentingan, Jimly dengan menggunakan pendekatan Aristoteles memberikan gambaran konstitusi dengan pengklasifikasian konstitusi ke dalam 2 (dua) hal pokok yaitu the ends pursued by states dan the kind of authority exercised by the government. Tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Karena itu, Aristoteles membedakan antara right constitution dan wrong constitutions dengan ukuran kepentingan bersama tersebut. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah.[13]
Konstitusi yang terakhir (yang salah) dapat disebut pula sebagai perverted constitution yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang selfish (the selfish interest of the rulling authority). Konstitusi yang baik disebut Aristoteles sebagai konstitusi yang tidak normal. Ukuran baik buruknya atau normal tidaknya kostitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled.[14]
Dalam kasus ini, Mahfud MD mencoba memberikan gambaran dengan membandingkan kehidupan berkonstitusi era Orde Lama dengan Orde Baru. Salah satu poin yang ditegaskan Mahfud bahwa jalan yang ditempuh Orde Lama adalah inkonstitusional, sedangkan Orde Baru memilih justifikasi melalui cara-cara konstitusional sehingga perjalanan menuju otoritariannya memang didasarkan pada peraturan yang secara “formal” ada atau dibuat. [15] Dari kacamata Mahfud dengan meminjam istilah Aristoteles, bahwa UUD 1945 pada masa Orde Baru tidak lebih sebagai perverted constitution yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang selfish dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan UUD 1945.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, menunjukkan bahwa walaupun konstitusi pada dasarnya merupakan cerminan dari kehendak rakyat sebagai satu-satunya pihak yang berdaulat dalam suatu negara, namun konstitusi tersebut ternyata juga tidak bersih dari pertarungan politik antar kepentingan (faksi) kelompok masyarakat. Dalam praktik penyelenggaraan negara, konstitusi sebagai pedoman bernegara juga tergantung dari political will kekuasaan untuk mewujudkan kewajiban negara dan hak-hak rakyat dalam konstitusi.
Untuk menjaga agar konstitusi tetap mencerminkan kehendak rakyat dan terpeliharanya prinsip-prinsip kedaulatan rakyat serta terjauhkan dari unsur kepentingan kelompok/golongan, John Patrick menawarkan 4 (empat) cara: pertama, rakyat harus terlibat langsung maupun tidak langsung (melalui wakil-wakil mereka) dalam menyusun konstitusi. Kedua, konstitusi yang dibuat atas nama rakyat harus didasarkan pada suara mayoritas rakyat, atau paling tidak konstitusi itu dibuat oleh para wakil yang dipilih oleh rakyat. Ketiga, rakyat harus terlibat langsung maupun tidak langsung dalam mengusulkan dan meratifikasi setiap perubahan konstitusi. Keempat, rakyat menunjukkan dukungan terhadap pemerintah melalui pemilihan umum.[16]
[1] Locke melihat lahirnya sebuah negara tidak terlepas dari perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat dalam kacamata Locke dibagi ke dalam 3 (tiga) tahap. Pada tahap pertama, masyarakat berada dalam keadaan alamiah dimana setiap orang masih hidup dalam harmoni karena mengikuti ketentuan hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan. Yang dimaksud hukum kodrat dari Tuhan menurut Locke adalah larangan untuk merusak dan memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain. Kehidupan harmoni itu berubah ke dalam peperangan ketika manusia mulai mengenal uang yang pada akhirnya melahirkan ketidaksamaan harta kekayaan sehingga membawa manusia dalam relasi sosial yang terhirarki antara tuan-budak, majikan-pembantu, dan status-status yang hirarki lainnya. Untuk mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi iri, saling bermusuhan, dan saling bersaing. Masing-masing orang menjadi hakim dan mempertahankan miliknya sendiri, sehingga manusia pada akhirnya berada situasi peperangan, yang ditandai dengan kedengkian, permusuhan dan kekerasan yang saling menghancurkan. Dalam pandangan Locke situasi tersebut merupakan tahap perkembangan masyarakat yang kedua. Untuk menciptakan jalan keluar dari keadaan perang sambil menjamin milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan "perjanjian asali".Inilah saat lahirnya negara yang bertujuan untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Di dalam perjanjian, masyarakat memberikan dua kekuasaan penting yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah kepada negara. Kedua kuasa tersebut adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat yang berasal dari Tuhan. Lihat John Locke, Two Treatiest of Government (Indianapolis: The Liberal Arts Press, Inc, 1952), hal. 131-175.
[2] Peter Laslett, Introduction: Locke and Hobbes. Two Treatises on Government (New York: Cambridge University Press, 1988) hal. 68. Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan Locke mengalami berbagai penyempurnaan khususnya oleh oleh Montesquieu. Menurutnya perlu ada pemisahan antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Kalaupun tidak bisa, maka setidaknya mempertahankan agar kekuasaan yudikatif tetap independen.. Lihat Montesquieu, Kontrak Sosial (Jakarta: Nusamedia, 2007), hlm. 187. Menurut Ismail Sunny, teori trias politica yang digagas oleh Montesquieu merupakan perkembangan ajaran bentuk negara dari monarki-tirani ke bentuk negara demokrasi. Dalam negara modern, hubungan antara ketiga macam kekuasaan tersebut sering merupakan hubungan yang kompleks. Trias politica atau biasa disebut Trichotomy sudah merupakan kebiasaan, kendati batas pembagian itu tidak selalu sempurna bahkan saling mempengaruhi diantara cabang kekuasaan tersebut. Lihat Ismail Suny, Mencari Keadilan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 15.
[3] David Wootton (ed), John Locke, Political Writings (Indianapolis: Penguin Books, 1993), hal.32
[5] Seperti yang diungkap Hans Kelsen bahwa konstitusi adalah …the highest level within national law… the constitution in the material sense consists of those rules wich regulate the creation of the general legal norms, in particular the creation of statutes. Lihat Hans Kelsen. Op.Cit. hal.114
[6] Carl J. Friedrich dalam Miriam Budiardjo, Op.Cit. hal. 57.
[7] Mahfud MD (3), Op.Cit. hal. 145.
[8] Frans Magnis Suseno. Op.Cit. hal 222
[9] C.F. Strong, Op.Cit. hal. 22
[10] John Alder, Constitutionalism and Administrative Law (London: Macmillan Professional Master, 1989), hal. 39-40.
[11] Jon Elster and Rune Slagstad, eds, Constitutionalism and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 209.
[12] Ibid. hal 211.
[15] Moh.Mahfud MD (2), Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999) hlm 17
[16] John J. Patrick, Understanding Democracy (New York : Oxford University Press, 2006), hal.73. Dinyatakan oleh Patrick … popular sovereignty is government based on consent of the people. The government's source of authority is the people, and its power is not legitimate if it disregards the will of the people. Government established by free choice of the people is expeced to server the people, who have sovereignty, or supreme power. There are four ways that popular sovereignty is expressed in a democracy. First, the people are involved either directly or through their representatives in the makin of a constitution. Second, the constitution made in the name of the people is ratified by a majority vote of the people or by representatives elected by the people. Third, the people are involved directly or indirectly in proposing and ratifying amendments to their constitution. Fourth, the people indicate support for their government when they vote in public elections.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar