Rabu, 04 Agustus 2010

Menggagas Pengadilan Pemilu Indonesia: Perbandingan dengan Pengadilan Pemilu Inggris, Meksiko dan Brazil


Dalam praktik ketatanegaraan, di dalam sistem peradilan beberapa negara memang memiliki Pengadilan khusus Pemilu (Election Court). Salah satunya adalah Inggris yang di atur di dalam Representation of People Act 1983. Pengadilan Pemilu Ingris di bentuk hanya ketika terdapat gugatan terhadap hasil pemilu dan berakhir ketika telah terdapat putusan pengadilan, sehingga sifatnya ad hoc. Untuk sengketa pemilu legislatif, pengadilan pemilu di bentuk di tingkat pertama (pengadilan negeri) dan pengadilan tinggi (high court) jika terdapat proses banding. Sementara untuk menangani sengketa pilkada (local election) pengadilan pemilu dibentuk oleh pengadilan negeri dengan menunjuk advokad berpengalaman sebagai hakimnya tanpa ada upaya hukum.

Sebagian besar negara-negara yang memiliki Pengadilan khusus Pemilu berada di Amerika Latin seperti Mexico (The Electoral Tribunal of the Federal Judiciary), Brazil  (The Supreme Electoral Court), Panama (Electoral Tribunal), Guatemala (Electoral Tribunal), Bolivia (Electoral National Court), Uruguay (Electoral Court), Peru (National Jury of Election) dan lain-lain.

****
Di Mexico The Electoral Tribunal of the Federal Judiciary (Tribunal Electoral del Poder Judicial de la FederaciĆ³n) biasa disingkat dengan TEPJF, adalah peradilan khusus Pemilu yang berada langsung di bawah Supreme Court (Mahkamah Agung). Kewenangan utama TEPJF adalah mengadili setiap sengketa yang timbul selama pemilu, sekaligus mengesahkan hasil pemilu.
Hakim pemilu di dalam TEPJF terdiri Supreme Chamber (Pengadilan Agung) di tingkat federal dan Regional Chamber (Pengadilan Tinggi) sebanyak 5 pengadilan, ditempatkan di Kota Guadalajara , Monterrey , Xalapa, Mexico City, dan Toluca. Khusus Regional Chamber bersifat ad hoc dibentuk satu tahun pada saat diselenggarakannya pemilu (federal). Dalam hal keanggotaan, untuk Supreme Chamber terdiri dari 7 hakim pemilu (electoral judge), untuk Regional Chamber  terdiri dari 3 orang hakim pemilu.
Sebelum terbentuknya TEPJF, embrio pengadilan pemilu di Meksiko dimulai pada tahun 1986 ketika dibentuk The Electoral Disputes Tribunal (Tribunal de lo Contencioso Electoral) atau disingkat dengan TCE, sebuah badan administratif (non yudisial) yang dibentuk atas desakan partai-partai politik karena tingginya kecurangan pemilu karena tidak independennya Commission Federal Election (KPU Federal). Tujuan utama dibentuknya TCE adalah agar partai-partai politik memiliki upaya hukum untuk menggugat setiap keputusan-keputusan administratif yang ditetapkan oleh KPU Federal yang dinilai tidak adil dan berpihak. Keanggotaan TCE terdiri dari 7 hakim pemilu. Pengisian jabatan TCE dilakukan dengan cara pemilihan yang dilakukan oleh Chamber of Deputies (DPR) atas usulan partai-partai politik.
Keberadaan TCE  kemudian diperkuat dan digantikan oleh lembaga baru bernama The Federal Electoral Tribunal (TRIFE) melalui amandemen konstitusi Meksiko yang dibentuk pada tahun 1990 dengan kewenangan yang hampir sama yaitu mengadili setiap keputusan  administrasi Comission Federal Election yang menjadi sengketa. Namun lebih legitimate karena pengisian jabatan hakim pemilu telah melibatkan Presiden, dimana Presiden yang mengusulkan nama-nama kandidat hakim, Chamber of Deputies kemudian menominasikan nama-nama calon dengan persetujuan 2/3 anggota deputi.
Pada tahun 1996, keberadaan TRIFE diubah dan diperkuat lagi kewenangannya tidak hanya mengadili pemilu federal saja, tetapi juga termasuk pemilukada (local election). Nama TRIFE diubah menjadi The Electoral Tribunal of the Federal Judiciary (TEPJF). Metode pengisian hakim pemilu TEPJF juga diubah, nama-nama calon hakim diusulkan oleh Supreme Court (Mahkamah Agung), dinominasikan oleh 2/3 Chamber of Deputies dan kemudian Presiden memilih nama-nama yang telah dinominasikan tersebut. Dalam menyelesaikan sengketa-sengketa pemilukada TEPJF memiliki Regional Chamber di 5 kota yang berada di tengah-tengah diantara negara-negara bagian Meksiko.

****
Di Brazil, Pengadilan Pemilunya terdiri dari dua tingkat. Di tingkat federal adalah The Supreme Electoral Court (Tribunal Superior Eleitoral) atau disingkat TSE, ditingkat negara bagian adalah Regional Electoral Court (Tribunal Regional Eleitoral) atau disingkat dengan TRE.

TSE berdiri sejak tahun 1932. Menurut Pasal 119 Konstitusi Brazil1988, TSE terdiri dari 7 hakim, sebagai berikut: 3 hakim yang berasal dari Supremo Tribunal Federal (semacam Mahkamah Konstitusi); 2 hakim yang berasal dari Superior Tribunal de JustiƧa (Mahkamah Agung); dan 2 hakim yang ditunjuk oleh Presiden yang dipilih di antara 6 pengacara terkenal dengan pengetahuan hukum dan reputasi moral yang baik atas rekomendasi Supremo Tribunal Federal. Para hakim tersebut dipilih untuk masa jabatan 2 tahun, dan paling lama hanya bisa menjabat selama dua periode berturut-turut.

TSE bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Pemilu Federal, dengan tugas pokok memeriksa dan menangani seluruh proses pelaksanaan pemilu termasuk mengadili setiap sengketa pemilu yang muncul selama proses pemilu federal.
Sementara TRE bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Pemilu negara bagian. Kewenangan TRE diatur oleh UU 4.737 tahun 1965. Setiap pengadilan TRE terdiri dari hakim umum yang dipilih atau ditunjuk oleh bagian pengadilan negara bagian. Dalam hal tata cara pemilihannya ditetapkan dan diatur sendiri oleh masing-masing pengadilan negara bagian.
Menurut ketentuan UU, TRE bertanggung jawab untuk mengontrol dan memeriksa seluruh proses pemilu di bawah yurisdiksi mereka, mulai dari proses pendaftaran parpol peserta pemilu sampai proses penghitungan suara .
TRE bertanggung jawab terhadap pendaftaran pemilih dan dalam hal laporan hasil pemilu. TRE juga harus menyelesaikan setiap konflik maupun sengketa yang terjadi selama pemilu termasuk mengadili jika terdapa gugatan pemilu. Setiap TRE memiliki kebebasan untuk membuat peraturan mengenai hukum acara pemilu di masing-masing negara bagian.

****

Pengadilan pemilu Indonesia rencananya dibentuk bukan untuk mengadili sengketa hasil pemilu karena kewenangannya berdasarkan UUD 1945 berada dibawah Mahkamah Konstitusi. Pengadilan pemilu rencananya dibentuk untuk mengadili setiap sengketa pemilu diluar hasil pemilu, khususnya sengketa-sengketa administrasi pemilu sebagaimana yang sering terjadi selama ini.

Jika melihat perkembangan berbagai sengketa proses tahapan pemilu yang berujung di pengadilan, memang wacana pembentukan pengadilan pemilu saat ini sangat diperlukan, mengingat proses peradilan sengketa proses pemilu yang biasanya berada di wilayah TUN, hukum acaranya masih mengikuti hukum acara TUN sebagaimana yang diatur di dalam UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sehingga tidak dapat mengikuti akselerasi proses tahapan-tahapan pemilu yang cenderung berjalan lebih cepat.

Dalam beberapa kasus (sengketa) sengketa proses pemilu yang tidak memiliki hukum acara sendiri seringkali menghambat dan mengacaukan proses tahapan pemilu itu. Sebab hukum acara TUN dari tahap pemeriksaan sampai ke tahap peradilan memang sangat panjang sama seperti hukum acara pada umumnya. Dan menjadi semakin panjang jika terdapat upaya-upaya hukum Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

Contoh paling menarik adalah dalam kasus sengketa TUN perihal Ketetapan KPU Kota Medan tentang penetapan calon walikota dan wakil walikota Medan yang digugat oleh salah satu pasangan calon yang tidak lolos verifikasi KPU. Adanya gugatan TUN tersebut PTUN Medan melalui Putusan Sela memerintahkan agar KPU Medan menunda proses tahapan pemilukada sampai adanya putusan hakim yang bersifat final. Perintah penundaan tahapan pilkada tersebut tentu akan mengacaukan semua proses tahapan pilkada, karena untuk mendapatkan putusan hakim yang bersifat final dapat berlangsung dalam jangka waktu lama apalagi jika para pihak menggunakan upaya hukum banding, kasasi dan PK. Bagi KPU Medan situasi tersebut merupakan situasi dilematis, karena jika perintah pengadilan dilakukan maka semua tahapan pemilu yang telah dilaksanakan akan menjadi kacau yang dapat berakibat semakin membengkaknya dana (kertas suara yang terlanjur dicetak) dan dapat memicu konflik antara KPU dan peserta pemilu lainnya. Jika tidak dilaksanakan KPU dapat dikategorikan telah melawan putusan pengadilan.

*****

Berdasarkan praktik sengketa pemilu di atas, kekhususan yang paling urgen dalam wacana pembentukan pengadilan pemilu sebenarnya adalah hukum acara yang bersifat khusus dalam menangani sengketa proses pemilu. Proses tahapan pemilu yang memiliki jangka waktu singkat pada akhirnya membutuhkan proses peradilan yang bersifat cepat pula.

Mengingat sengketa proses pemilu berada dalam lingkup tata usaha negara maka pengadilan pemilu yang akan dibentuk nantinya kedudukannya lebih tepat berada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, bukan di bawah Peradilan Umum sebagaimana yang diusulkan beberapa pakar selama ini.

Memang ruang lingkup peradilan pemilu idealnya tidak sebatas pada hukum administrasi (TUN) tetapi juga melingkupi pidana pemilu itu sendiri. Namun jika dikaji dari seluruh pasal-pasal pidana pemilu yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan, proses peradilannya sebenarnya tidak memerlukan kekhususan, sehingga dapat tetap mengacu pada hukum acara pidana yang telah diatur di dalam KUHAP. Sebab semua jenis pelanggaran pemilu tidak ada satupun yang memberikan pengaruh atau dapat mengganggu proses tahapan pemilu. Memang beberapa pakar sempat mempersoalkan keberadaan pasal pidana politik uang (money politic) yang diatur di dalam Pasal 87 dan Pasal 88 UU No.10 Tahun 2008. Karena berdasarkan ketentuan, jika suatu calon terbukti melakukan politik uang dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), selain  sanksi pidana oleh pengadilan, KPU juga akan memberikan sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon tetap atau calon terpilih. Pembatalan ini memang akan merubah ketetapan KPU tentang calon tetap atau calon terpilih, namun perubahan ketetapan ini tidak akan bermuara pada peradilan TUN karena dasar perubahan ketetapan ini adalah ketetapan pengadilan pidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang kebenarannya tidak dapat lagi disangkal. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf e Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan: Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini: Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kekhususan hukum acara TUN untuk pemilu dapat diarahkan pada hukum acara cepat dengan aturan jangka waktu persidangan yang dapat disesuaikan dengan batas jangka waktu proses pemilu sehingga tidak mengganggu tahapan pemilu itu sendiri. Disamping itu, untuk mempercepat lahirnya putusan yang bersifat final, pengadilan pemilu Inggris dapat dijadikan contoh dengan membatasi upaya hukum hanya dua tingkat pengadilan.

Untuk menjamin agar peradilan pemilu dapat berjalan secara adil dan lebih representatif, dapat dibentuk hakim ad hoc yang dapat direkrut dari pakar, pengawas atau pihak-pihak di luar hakim peradilan (hakim reguler) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pemilu.

Sementara sifat dari pengadilan pemilu sebaiknya tetap bersifat ad hoc yang dibentuk hanya pada saat sengketa pemilu ada. Dalam hal upaya hukum, untuk pemilu Presiden/Wapres, pemilihan anggota DPR dan DPD, pengadilan pemilu diletakkan di Mahkamah Agung dan tidak diberikan upaya hukum. Sementara untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan pemilihan anggota DPRD Provinsi diletakkan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung jika terdapat upaya hukum Kasasi. Untuk pemilu Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota serta pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota, pengadilan pemilu diletakkan di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara jika terdapat upaya Banding.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar