Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dari sejarahnya dipengaruhi oleh positivisme hukum yang mulai berkembang sejak abad 18-19, dimana hukum harus digunakan untuk mengontrol kehidupan negara bangsa yang mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian dan ketertiban hukum. Positivisme lahir sebagai kritik terhadap aliran hukum alam klasik yang cenderung menjustifikasi kekuasaan para raja yang berperan sebagai satu-satunya legislator sekaligus pemutus benar-salahnya suatu tindakan.
Tidak adanya rujukan normatif menjadikan hukum raja (king’s order) semena-mena dan represif, serta tiadanya kepastian mengenai apa yang harus digolongkan sebagai rujukan normatif yang berlaku guna menjamin keteraturan dalam kehidupan nasional, dan mana pula yang tidak atau belum. Di sinilah awal pemikiran positivisme yang hendak mengetengahkan dan memperjuangkan ide bahwa apa yang dimaklumatkan sebagai hukum haruslah mempunyai statusnya yang positif, dalam arti telah “disahkan” tegas-tegas (positif) sebagai hukum, dengan membentuknya dalam wujud produk perundang-undangan.[1] Oleh karena itu Austin sebagai salah satu tokoh pencetus positivisme, memberikan penegasan bahwa hukum dalam arti sebenarnya (hukum positif) harus mempunyai 4 (empat) unsur yakni perintah, kewajiban, sanksi, dan kedaulatan.[2]
Inilah pemikiran positivisme yang sangat marak pada masa pasca revolusi Perancis, menolak segala pemikiran yang serba metafisik, dan menolak pula praktik-praktik penyelenggaraan tertib kehidupan atas dasar rujukan yang metayuridis. Inilah era tatkala –baik dalam teori maupun dalam praktik hukum–orang tidak lagi mau bicara tentang hukum “yang belum berbentuk”, (disebut ius). Akan gantinya, pada era ini, apabila orang bicara tentang hukum, yang mereka maksudkan tak lain daripada ius yang telah dibentuk (ius constitutum). Yang juga disebut lex (kalau satu) atau lege (apabila berjumlah lebih dari satu). Inilah tipe hukum yang di dalam Bahasa Indonesia diistilahkan dengan hukum undang-undang.[3]
Kelsen kemudian lebih mengkonkritkan wajah hukum positif (peraturan perundang-undangan) dengan teorinya Stufenbau des Rechts atau The hierarchy of Law, bahwa norma hukum merupakan susunan berjenjang, dan setiap norma hukum yang lebih rendah bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi.[4] Ajaran ini menuntut konsistensi positivis dimana tidak ada ruang bagi peraturan perundang-undangan apapun untuk memasuki ranah hukum dan peraturan kecuali lahir atas perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kelebihan dari teori ini, mencegah kekuasaan legislasi yang bersifat subyektif dan sewenang-wenang, karena dengan teori ini legislator dilarang membentuk undang-undang walaupun dengan alasan moralitas (kebenaran dan keadilan) sekalipun, kecuali atas perintah dari peraturan yang lebih tinggi. Sebagaimana yang menjadi tujuan utama positivisme, kepastian dan ketertiban hukum adalah menjadi tujuan utamanya dengan menafikan ius constituendum (hukum yang dicita-citakan).
Dengan menggunakan teori Kelsen maka suatu peraturan perundang-undangan adalah tidak valid jika bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,[5] sehingga dapat dituntut untuk dibatalkan, bahkan batal demi hukum atau van rechtswege nietig.[6] Oleh karena itu setiap produk perundang-undangan di Indonesia agar dapat dinyatakan valid di dalam konsiderannya selalu memuat dasar hukum yang mendasari lahirnya peraturan tersebut.[7] Disamping itu praktik kekuasaan legislasi, baik di DPR maupun Pemerintah, sebelum suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) diusulkan, terlebih dahulu akan selalu melalui tahap harmonisasi dan sinkronisasi baik secara vertikal (UUD 1945) maupun horisontal (UU lainnya) agar tidak saling bertentangan. DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi, badan yang melaksanakan hormonisasi dan sinkronisasi tersebut dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg).[8]
Jika suatu peraturan yang dilahirkan ketika diberlakukan ternyata dinilai bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, masyarakat tetap diberikan hak untuk mengajukan judicial review (uji materi) kepada Pengadilan. Di Indonesia kewenangan uji materi dilakuan oleh 2 (dua) lembaga pemegang kekuasaan kehakiman. Untuk uji materi suatu peraturan terhadap undang-undang kewenangannya diserahkan kepada Mahkamah Agung, sementara uji materi suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar kewenangannya diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi.[9]
Berdasarkan hirarkhinya, sumber hukum tertinggi yang mendasari lahirnya suatu peraturan perundang-undangan menurut Kelsen adalah konstitusi.[10] Kelsen menyebutnya sebagai …the highest level within national law… the constitution in the material sense consists of those rules wich regulate the creation of the general legal norms, in particular the creation of statutes.[11] Jika melihat hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sumber hukum tertinggi adalah UUD 1945, kemudian berturut-turut ke bawah yaitu Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Untuk peraturan-peraturan lain, selain peraturan yang disebutkan di atas, tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (penerapan teori The Hierarchy of Law Hans Kelsen).[12]
Jika pembentukan peraturan perundang-undangan (legislasi) hanya didasarkan pada positivisme an sich, maka pendekatannya akan selalu menggunakan pendekatan hirarkhis yang pembentukannya hanya didasarkan pada perintah dari peraturan di atasnya. Unsur moralitas (baik atau buruk, adil atau tidak) akan diabaikan, karena positivisme menuntut pemisahan antara hukum dan moral itu sendiri.[13] Sebab positivisme hanya mengkaji hukum sebagai hukum itu sendiri, sedangkan baik atau buruk dan adil atau tidak suatu norma bersifat filosofis, sehingga bukan bagian dari obyek teori hukum, melainkan obyek filsafat.[14]
Positivist juga sangat yakin, jika hukum as it is (das sein) tidak akan menghilangkan makna hukum yang sesungguhnya.[15] Hukum tetaplah hukum. Soal bertentangan atau tidak dengan moral (etika) adalah masalah lain. Hubungan esensial antara hukum dan moral baru terjadi bila ada penyelidikan bagaimana hukum diintepretasikan dan diaplikasikan dalam kasus-kasus hukum yang konkrit.[16] Oleh karena itu Kelsen sebagaimana pula Austin meyakini jika hukum adalah dari kehendak sang berdaulat (commands of the souvereign), lain tidak.[17]
Namun dalam praktik legislasi khususnya di Indonesia penerapan positivisme hukum dalam penyusunan RUU tidaklah bersifat mutlak. Karena selama proses penyusunan RUU tersebut khususnya DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi selalu meminta masukan dari masyarakat langsung melalui Rapat Dengar Pendapat Umum maupun dalam kunjungan-kunjungan kerja dalam rangka penyerapan aspirasi, sehingga tidak murni hanya berdasar atas perintah konstitusi. Praktik legislasi seperti ini sebenarnya perpaduan antara positivisme dengan pemikiran Savigny yang mendasarkan proses kelahiran hukum dengan cara menyerap hukum kebiasaan masyarakat (custom) yang kemudian negara mempositifkannya melalui berbagai cara pelibatan masyarakat secara langsung. Hukum yang demikian menurut Savigny akan tetap menjaga perasaan keadilan masyarakat.[18] Hal ini diperkuat oleh Ross yang juga menegaskan bahwa custom (adat) sebagai sumber dari hukum.[19]
Diperkuat lagi oleh Nonet dan Selznick dengan hukum responsifnya yang menuntut hukum untuk dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Negosiasi yang dimaksud adalah partisipasi dengan mengundang sebanyak-banyaknya semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.[20] Oleh karenanya, tidaklah mungkin hukum positif dapat meninggalkan secara mutlak unsur-unsur moralitas dalam hukum. Karena jika demikian menurut Diamond sudah pasti hukum tersebut akan langsung berkontradiksi dengan (hukum) kebiasaan masyarakat yang justru kaya dengan moralitas.[21]
Namun demikian, menghindar dari positivisme adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena masyarakat membutuhkan kepastian hukum dimana hukum harus tertulis dan disahkan secara tegas (positif), serta ketertiban hukum dimana hukum hanya boleh lahir atas perintah peraturan yang lebih tinggi (bukan atas kepentingan kekuasaan). Walaupun harus dipraktikkan, positivisme tidak harus melepaskan sisi-sisi moralitas, sebaliknya justru dapat diperkaya dan diperkuat melalui penyerapan aspirasi dari masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Inilah yang dilakukan dalam praktik legislasi di Indonesia.
Jika dilihat dari perkembangan sistem hukum Indonesia ternyata juga terdapat korelasi yang bersinergi (antara praktik dan sistem hukum yang digariskan), karena ternyata sistem hukum Indonesia mendasarkan pada pemikiran Friedman dengan membagi hukum ke dalam berbagai unsur yang saling bergerak tidak terpisah dan tidak saling terpengaruh satu sama lain. Unsur-unsur tersebut meliputi: legal substance (materi hukum); legal structure (tatanan kelembagaan hukum); dan legal culture (budaya hukum).[22] Menurut Friedman budaya hukum yang baik hanya akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance yang bersifat positifis dan legal structure yang bersifat subyektif.[23]
Walaupun proses legislasi di Indonesia telah berjalan secara partisipatif dan aspiratif, namun dalam berbagai kasus undang-undang yang dilahirkan seringkali berujung pada penolakan masyarakat baik melalui jalan non litigasi (demonstrasi) ketika dinilai berkontradiksi dengan moralitas masyarakat dan jalan litigasi (uji materi) ketika dinilai berkontradiksi dengan konstitusi. Bahkan dalam beberapa kasus, suatu undang-undang dapat berkontradiksi dengan undang-undang lainnya, padahal telah melalui proses harmonisasi dan sinkronisasi baik terhadap UUD 1945 maupun undang-undang lain yang berkaitan. Bagi Gordon, kontradiksi tersebut wajar karena produk hukum adalah produk politik sehingga dalam beberapa kasus seringkali bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan dan ideologi.[24]
[2] M.D.A. Fremann, Introduction to Jurisprudence, (London: Sweet and Maxwell Ltd., 1994), hal. 756.
[6] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Yogyakarta: FH UII Press, 2004) hal. 202.
[7] Lihat Lampiran UU No.10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan, yang khusus mengatur tentang sistematika teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
[9] Praktik judicial review mulai mencuat pertama kali di Amerika Serikat dalam kasus yang dikenal dengan The Steel Seizure Case, sebuah peristiwa hukum ketika President Harry S. Truman menasionalisasi perusahaan baja di Amerika Serikat. Tujuannya adalah untuk menjaga agar produksi baja dapat terus mendukung dan memenangkan perang Amerika terhadap Korea. Alasan yang digunakan Truman bahwa Presiden memiliki kekuasaan untuk melakukan tindakan apapun ketika kondisi negara dalam keadaan darurat dan mengalami krisis nasional. Nasionalisasi tersebut tidak diterima oleh para pemilik pabrik baja sehingga keputusan Truman tersebut digugat ke Supremen Court. Dan akhirnya Supremen Court mengabulkannya dengan membatalkan nasionalisasi yang dilakukan Truman karena syarat-syarat keadaan darurat yang dikemukakan Truman dinilai hakim tidak terpenuhi secara obyektif.
[10] Selain Kelsen, juga terdapat beberapa teori hirarki norma hukum lainnya yaitu: Kisch, Adolf Merkl dan Hans Nawiasky. Hirarkhi norma Kisch diawali dari: abstracte norm - generalle norm atau tussen norm - concreto norm atau casus norm. Sementara Adolf Merkl, hirarki norma hukumnya diawali dari: cita hukum - kategori hukum - pengertian-pengertian hukum - tata hukum. Dan yang paling lengkap adalah Hans Nawiasky yang menyusun hirarkhi norma mulai dari: staatsfundamental norm - staats grundgesetz - formeel gesetz - verordnung - autonome satzung. Dari ketiga teori tersebut pada prinsipnya sama bahwa norma yang lebih rendah harus bersumber dan berdasar kepada norma yang lebih tinggi. Pemikiran Kelsen sebenarnya diilhami Adolf Merkl (murid Hans Kelsen) yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das dppelte rechtsantlitz). Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtkarcht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apablia norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.
Lihat Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Dikembangkan dari Perkuliahan Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH (Kanisius, Jakarta: 2007), hal.43
[13] Teori ini dikritik Hart, karena menurutnya selalu ada korelasi integralistik antara Law as it is dengan Law as ought to be. Kenyataan hukum (Das Sein) harus juga merupakan derivat atau pantulan dari hukum yang seharusnya (Das Sein). Kedua premis hukum tadi tak bisa dipisahkan begitu saja. Sebab diantara keduanya ada titik-titik korelatif secara esensial yang bila dinafikan akan justru mengaburkan fakta-fakta hukum atau kebenaran hukum secara material.
Lihat H.L.A Hart, Positivism and The Separation of Law and Moral, hal.56
[15] Positivisme juga menghendaki adanya pemisahan hukum sebagaimana adanya (law as it is) dari hukum sebagaimana mestinya (law as ought to be). Proposisi ini setara dengan adanya persoalan filsafat mengenai perbandingan antara “Das Sein” (apa yang terjadi) dan “Das Solen” (apa yang seharusnya). Pemisahan tersebut sebagai upaya menemukan hukum ‘spesisfik’ (khusus) yang maknanya gamblang dan tidak bisa diperdebatkan lagi.
[16] Lihat Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Bombay: N.M. Tripathi Private Limited, 1979) hal. 45.
Jika yang dimaksud The souverign (sang berdaulat) oleh Kelsen dan Austin berada dalam konteks kedaulatan rakyat pemikiran Rosseau, maka the soverign yang dimaksud adalah rakyat sendiri, yang dalam pandangan Rosseau, kedaulatan rakyat tersebut menjelma ke dalam konstitusi, sehingga dapat diartikan hukum adalah perintah konstitusi (sama dengan perintah rakyat), bukan perintah the soverign dalam arti sang penguasa.
Lihat J.J. Rousseau, The Social Contract, London: Penguin Book, 1979), hal 41.
[18] Walter Friedman. Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Cetakan. II. diterjemahkan oleh Muhammad Arifin. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1986) hal.65
[20] Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responseve Law (New York: Harper & Row, 1978) hal. 69 – 113.
[21] S. Diamond, The Rule of Law versus The Order of Custom¸ (Transaction Publishers, 1981) hal. 102 yang secara tegas menyatakan: ...We live in a law-ridden society; law has cannibalized the institutions which it presumably reinforces or with which it interacts.... [W]e are encouraged to assume that legal behavior is the measure of moral behavior.... Efforts to legislate conscience by an external political power are the antithesis of custom: customary behavior comprises precisely those aspects of social behavior which are traditional, moral and religious--in short, conventional and nonlegal. Put another way, custom is social morality. the relation between custom and law is basically one of contradiction, not continuity.
[23] L.M. Friedman, American Law: An Introduction, Revised and Update Edition (London: W.W Norton and Company, 1986), hal. 56
[24] Robert Gordon, Law and Ideology, Tikkun Magazine, Volume 3, Tahun 1988.
Bahkan menurut Elster dan Slagstad dengan mengutip teori umum tentang konstitusionalisme milik Colhoun bahwa konstitusi pun pada dasarnya merupakan produk politik yang tidak lepas dari proses bargains antara kelompok kepentingan dalam masyarakat, seperti yang diutarakannya: Constitutions, he (Colhoun) argued, are bargains. Indeed, the development and acceptance of a constitutional framework can occur only as the contingent result of irresolvable conflict: The constitutions (of both Rome and Britain) originated in a pressure occasioned by conflicts of interests between hostile classes or orders and were intended to meet the pressing exigencies of the occasion, neither party, it would seem, having any conception of the principles involved or the consequences to follow beyond the immediate objects in contemplation. Oleh karena itu Elster dan Salgstad mengungkapkan bahwa the initial willingness of rival factions to compromise on a constitutional framework is usually motivated by battle fatigue and a yearning for the fruits of peaceful cooperation. But all parties mus be assured that “ultimate values” –the things they care avout most- will not be dragged through the mud of contestation. When factions negotiate, they put their differences aside and build on common the thought of being ruled by foreigners. Burying differences, in Calhoun’s view, meant removing them from the national political agenda in order to concentrate on problems likely to mobilize greater social concensus
Jon Elster and Rune Slagstad, eds, 1997, Constitutionalism and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press), hal. 209 s/d 221
Tidak ada komentar :
Posting Komentar