Berdasarkan Black’s Law Dictionary, konstitusi diartikan the fundamental organic law of a nation or state that establishes the institutions and apparatus of government, defines the scope of governmental sovereign powers, and gurantees individual civil rights and civil liberties dan the written instrument embodying this fundamental law, together with any formal amendments.[1]
Kemudian K.C. Wheare mendefinisikan konstitusi sebagai seperangkat aturan yang digunakan untuk membangun atau mengatur sebuah pemerintahan negara.[2] Strong mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum; hukum menetapkan adanya lembaga-lembaga permanen dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan.[3] Berdasarkan pandangan keduanya menunjukkan bahwa konstitusi memiliki pengertian umum sebagai aturan dasar yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan bernegara.
Dalam pengertian yang lebih sempit, S.A. de Smith melihat konstitusi sebagai dokumen yang berisi perangkat aturan pokok tentang pemerintahan sebuah negara.[4] Begitu juga Eric Barendt yang juga mengartikan konstitusi sebagai the written document or text which outlines the powers of its parliament, government, courts, and others important national institution.[5] Dari pandangan ini konstitusi dihadirkan melalui sifatnya yang tertulis.
Jika diartikan secarah harfiah, menurut Mahfud MD konstitusi berarti “pembentukan”, berasal dari bahasa Perancis yaitu “constituir”, yang berarti membentuk. Secara istilah ia berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dalam bahasa Belanda disebut Grondwet, sedangkan di dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Untuk itu maka konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya negara.[6]
Dalam kacamata positivisme, Kelsen mendefinisikan konstitusi sebagai …the highest level within national law… the constitution in the material sense consists of those rules wich regulate the creation of the general legal norms, in particular the creation of statutes.[7] Konstitusi dalam arti ini menunjukkan bahwa konstitusi merupakan norma dasar yang menjadi payung terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bawahnya[8].
Jimly Asshidiqie dengan menggunakan teori Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi yang bersifat fundamental, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang bersifat universal, maka peraturan-peraturan yang tingkatannya berlaku di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku atau diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.[9]
Jika dilihat dari pembentukannya, dengan menggabungkan pendekatan John Locke dan Rosseau dapat disimpulkan bahwa konstitusi adalah aturan-aturan dasar yang lahir pada saat rakyat melakukan perjanjian untuk membentuk negara dimana konstitusi merupakan cerminan kehendak rakyat (popular will) yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak lagi bersifat absolut, dan menjadi pedoman (guiden) penyelenggara negara dalam menjalankan pemerintahannya untuk mewujudkan kehendak rakyat. Locke menekankan bahwa konstitusi adalah kesepakatan mayoritas rakyat yang berfungsi mengarahkan dan membatasi negara, seperti dikatakannya: …and it being necessary to that which is one body to move one way; it is necessary the body should move that way whither the greater force carries it, which is the consent of majority.[10]
Mengikuti Locke, menurut Rosseau setelah kontrak sosial terwujud, maka persetujuan individu hilang berganti dengan kehendak mayoritas yang dituangkan di dalam konstitusi. Negara –dalam hal ini pemerintah yang dipilih rakyat– harus tunduk kepada konstitusi karena dengan demikian sama dengan mematuhi kehendak rakyat (popular will). Jika pemerintah melakukan tindakan yang berlawanan dengan konstitusi maka pemerintah dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi kekuasaannya sehingga menjadi tidak sah.[11]
Berangkat dari gagasan Locke dan Rosseau (serta Hobbes) inilah kemudian lahir paham konstitusionalisme. Negara penganut paham konstitusionalisme menurut Stephen Holmes adalah negara yang dalam mengorganisasikan pemerintahan tergantung dan taat kepada seperangkat hukum dan prinsip-prinsip fundamental yang telah digariskan dalam konstitusi.[12] Konstitusionalisme merupakan sebagian prasyarat dari demokrasi, karena demokrasi mengandaikan adanya sebuah pembatasan kewenangan dari kekuasaan yang diatur dalam sebuah perangkat hukum yang jelas. Oleh karena itu dikatakan oleh Barendt bahwa constitutionalism is a belief in imposition of restrains on government by means of a constitution.[13]
Friedrich juga menyatakan konstitutionalisme sebagai: …a set of an activites organized and operated on behalf of the people but subject to a series of restrains which attempt to ensure that the power which is need for such governance is not abused by those who are called upon to do the governing.[14] Dari pandangan Friedrich tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pokok dari konstitutionalisme adalah upaya membatasi kekuasaan mengingat pada masa sebelumnya kekuasaan sangat luas tanpa batas. Pembatasan itu kemudian dilakukan melalui sebuah hukum khusus yaitu konstitusi.
Essensi dari konstitusionalisme dari kacamata Soetandyo minimal terdiri dari dua hal pokok yakni, pertama, konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum harus mampu mengontrol dan mengendalikan politik; kedua, konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara yang dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh dari konstitusi.[15] [1] Bryan A. Garner, Op.Cit. hal.330
[2] K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, (London : Oxford University Press), hal. 1.
[3] C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia (Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form), diterjemahkan oleh SPA Teamwork (Jakarta: Nuansa dan Nusamedia, 2004), hal. 21
[4] S.A. de Smith, 1973, Constitutional and Administrative Law, (Middlesex : Penguin Education), hal. 17-18.
[5] Eric Barendt. An Introduction to Constitutional Law, (New York: Oxford University Press, 1998), hal. 1.
[6] Moh.Mahfud MD (1), Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rineka Cipta), hal. 72.
[7] Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russel and Russel, 1961), hal 114.
[8] Selain Kelsen, juga terdapat beberapa teori hirarki norma hukum lainnya yaitu: Kisch, Adolf Merkl dan Hans Nawiasky. Hirarkhi norma Kisch diawali dari: abstracte norm; generalle norm atau tussen norm; concreto norm atau casus norm. Sementara Adolf Merkl, hirarki norma hukumnya diawali dari: cita hukum; kategori hukum; pengertian-pengertian hukum; tata hukum. Dan yang paling lengkap adalah Hans Nawiasky yang menyusun hirarkhi norma mulai dari: staatsfundamental norm; staats grundgesetz; formeel gesetz; verordnung; autonome satzung.[8] Dari ketiga teori tersebut pada prinsipnya sama bahwa norma yang lebih rendah harus bersumber dan berdasar kepada norma yang lebih tinggi. Pemikiran Kelsen sebenarnya diilhami Adolf Merkl (murid Hans Kelsen) yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das dppelte rechtsantlitz). Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtkarcht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apablia norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula. Lihat Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Dikembangkan dari Perkuliahan Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH (Jakarta: Kanisius,2007), hal.43
[9] Jimly Asshiddiqie (4), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Setjen Mahkamah Konstitusi republik Indonesia, 2006), hal.19
[10] John Locke, The Second Treatise of Government (Indianapolis: The Liberal Arts Press, Inc, 1952), hal. 55.
[11] J.J. Rousseau, The Social Contract (New York: Hafner Publishing Company, 1951), hal. 88
[12] Stephen Holmes, Constitutionalism, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, (Washington : Congressional Quarterly Inc., 1995), hal. 299-306.
[13] Eric Barendt, Op.Cit., hal. 14.
[14] Carl J. Friedrich dalam Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia) hal. 57.
[15] Mahfud MD (3), Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan (Bandung: Rineka Cipta), hlm 145.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar