Pisang klutuk, buah pisang yang penuh dengan biji dan tidak bisa dimakan, biasanya dimanfaatkan untuk makanan burung. Harga satu tandan pisang klutuk biasanya dihargai Rp 2 ribu. Tapi di Sleman Yogyakarta, gara-gara pisang makanan burung tersebut seorang kakek harus meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan. Kasus ini bermula ketika Klijo Sumanto (76 tahun) menebang sebatang pohon pisang klutuk milik tetangganya bernama Sulis. Klijo mengira pohon pisang tersebut tidak dibutuhkan tetangganya. Ternyata sang tetangga tidak terima dan melaporkannya ke Polsek Godean. Polisi langsung bergerak cepat, keesokan harinya Klijo langsung ditangkap dan dikirimkan ke Lapas Cebongan untuk ditahan. Kasus Klijo ini sangat memprihatinkan sebagaimana kasus Minah, apalagi kondisi Klijo sudah lama menderita lumpuh dan penyakit katarak di matanya, memang selayaknya polisi tidak menahannya apalagi jika alasannya dikhawatirkan melarikan diri. Terlebih lagi memprosesnya ke meja hijau hanya karena menebang pohon pisang seharga 2 ribu rupiah.[1]
Klijo sebenarnya sudah berusaha melepaskan diri dari jerat hukum dengan mencoba meminta maaf pada tetangga dan Polisi yang menangkapnya, namun usahanya sia-sia. Hukum yang mestinya mengayomi masyarakat dengan menegakkan keadilan, bagi Klijo, ternyata tak punya nurani. Hukum kita rupanya tidak memberi ampun bagi orang kecil seperti Klijo dan Minah. Tetapi, bagi koruptor pencuri miliaran rupiah uang rakyat melenggang bebas dari sanksi hukum.[2] Menurut Sutandyo Wigjosoebroto hukum di Indonesia memang hanya galak kepada orang miskin, tidak berani kepada orang kaya.[3]
Klijo dan Minah memang tidak mengerti masalah hukum seperti para terpidana dan terdakwa kasus korupsi yang dapat menyewa Pengacara mahal. Jika menggunakan pendekatan Robert Gordon, kasus Minah dan Klijo tersebut adalah potret dominasi legal discourse. Adil tidaknya suatu hukum bukan pada saat hukum dibuat, tetapi pada saat hukum itu dipraktikkan. Karena hukum dalam praktik akan menjelma ke dalam diskursus-diskursus yang tidak semua orang mampu meraih dan membangun diskursus hukumnya sendiri, kecuali memiliki kekuasaan dan uang untuk menggunakan jasa orang lain (pengacara, legislator, pe-lobby, dan lain-lain). Jadi wajar jika kemudian Minah dan Klijo sebagai kelompok marjinal (miskin dan jauh dari kekuasaan) harus menjadi korban dari diskursus hukum kelas berkuasa. Berbeda dengan para pelaku korupsi uang negara yang begitu mudah diputus bebas karena dengan kekuasaan dan uang yang dimilikinya mampu mendominasi legal discourse di depan pengadilan.[1]
Belajar dari Blaise Pascal, Derrida melihat keadilan dan kekuatan merupakan dua kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Sebab keadilan tanpa kekuatan bukanlah keadilan, karena akan ada yang selalu menentang. Sebaliknya, kekuatan tanpa keadilan adalah tirani. Oleh karena itu keadilan dan kekuatan harus digabungkan, dengan membuat apa yang adil menjadi kuat, dan apa yang kuat menjadi adil. Hanya karena kita tidak mampu membuat apa yang adil menjadi kuat, maka kita harus membuat apa yang kuat menjadi adil.[2] Kontradiksi kasus Klijo versus anggota DPRD adalah wujud kegagalan mencapai keadilan, karena kekuatan (kekuasaan memaksa) yang diberikan oleh negara kepada aparat penegak hukum berubah menjadi tirani, karena kekuatan itu (menggunakan pendekatan CLS) hanya diberlakukan kepada Klijo dan Minah tetapi tidak kepada anggota DPRD karena mereka memiliki political power, tetapi tidak seperti Klijo dan Minah.
Seorang hakim (bahkan polisi dan jaksa), seharusnya, sebagaimana Holmes, dalam memutus perkara seharusnya menggunakan nurani dan moralitas yang berlaku di masyarakat. Karena kasus Klijo dan Minah telah melukai rasa moral di tengah masyarakat. Penyebabnya karena penerapan positifisme hukum yang terlalu berlebihan dalam kasus Klijo dan Minah, dimana tindakan mengambil kakao dan menebang pohon pisang adalah pencurian berdasarkan hukum pidana, tidak peduli berapa nilai yang dicuri, tidak peduli kenapa dan untuk apa mengambil kakao dan menebang pohon pisang, mencuri adalah mencuri. Akibatnya, hukum terjauhkan dari unsur-unsur moralitas, keadilan dan nurani.
Menurut Satjipto, dampak negatif positivisme telah membuat hukum menjadi bukan untuk manusia, tapi manusia yang ”diperbudak” oleh hukum. Yang terjadi saat ini bukan lagi proses kemanusiaan yang berlangsung, tetapi proses hukum.[3] Akibatnya bukanlah ketertiban yang manusiawi yang timbul melainkan ketertiban hukum belaka. Hukum sebagai alat kemudian ”diperalat” untuk memperturuti hawa nafsu orang-orang tertentu yang mampu mengendalikan hukum. Ketertiban dan keadilan menjadi tidak berpegang kepada rasa kemanusian tetapi melihat kehendak formalisasi hukum.[4] Pada akhirnya, seperti yang diungkap Holmes hakim tidak lebih dari robot-robot bernyawa yang tidak memiliki kreasi dan inisiasi[5], padahal menurut Dworkin seharusnya penegak hukum (khususnya hakim) harus bertindak sebagai polisi moral.[6]
Oleh karena itu Satjipto tanpa mengenal lelah mengajak setiap elemen bangsa terutama para penegak hukum untuk selalu berpikir progressif dalam setiap menerapkan dan menafsirkan hukum, agar tidak diperbudak oleh hukum.
[1] Lihat Robert Gordon, Law and Ideology, TIKKUN Magazine, Volume 3, tahun 1988, hal.11, sebagaimana yang diungkapnya: ... These are discourses of power. Law is not, of course, uniquely the tool of the powerful. Everyone invokes the authority of law in everyday interactions, and the content of laws registers many concessions to groups struggling for change from below, as well as to the wishes of the politically and economically dominant. But to be able to wield legal discourses with facility and authority or to pay others (lawyers, legislators, lobbyists, etc.) to wield them on your behalf is a large part of what it means to possess power in society. Legal discourses therefore tend to reflect the interests and the perspectives of the powerful people who make most use of them.
[2] Meskipun Pascal di satu pihak mengutuk kekerasan yang dilakukan tanpa keadilan, namun di lain pihak jelas ia melihat bahwa tidak ada gunanya sebuah keadilan yang tidak bisa ditegakkan. Dan pada akhirnya karena lebih mudah membuat yang kuat menjadi adil daripada membuat yang adil menjadi kuat, maka kita kembali pada sifat pemaksa dari hukum, force of law. Lihat Mitchell Stephens, Op. Cit.
[3] Ibid. hal.60
[4] Satjipto Rahardjo, Op. Cit.
[5] Oliver Wendell Holmes, Op. Cit.
[6] Ronald Dworkin,
[1] Kompas, 4 Desember 2009
[2] Di Jawa Tengah, misalnya, empat bekas anggota DPRD dan aparat Pemerintah Kota Semarang yang menjadi terpidana kasus korupsi dana APBD Kota Semarang tahun 2004 sebesar Rp 2,16 miliar divonis bebas. Mereka bebas dari sanksi hukum setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali mereka. MA menyatakan keempat terpidana itu tidak melakukan tindak pidana. Ditambah lagi dengan putusan hakim yang hanya memberikan hukuman percobaan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Salah satunya dijatuhkan kepada Ketua DPRD Jateng periode 1999-2004, Mardijo. Terdakwa korupsi dobel anggaran APBD Jateng sebesar Rp 14,8 miliar ini hanya diberi hukuman percobaan selama dua tahun.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar