Rabu, 04 Agustus 2010

MK tidak bisa memutuskan Sistem Pemilu bagi Indonesia


Mengikuti Putusan MK, sistem pemilu di dalam RUU Pemilu yang baru akan diubah menjadi perwakilan proporsional dengan daftar terbuka murni (opened list). Awalnya, sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem setengah terbuka (semi-opened list) seperti Slovakia, namun MK menilai dan memutus penggunaan sistem setengah terbuka tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dalam mewujudkan Pemilu yang luber dan jurdil.

Asas-asas penyelenggaraan Pemilu luber dan jurdil sebenarnya merupakan asas umum yang digunakan oleh semua negara di dunia. Namun dalam menerapkan pemilu yang luber dan jurdil tersebut setiap negara memiliki sistem sendiri-sendiri. Terdapat negara yang menggunakan sistem pemilu mayoritas/pluralitas, perwakilan proporsional atau campuran keduanya. Dari negara-negara yang menggunakan sistem perwakilan proporsional (proportional representation) dengan metode daftar partai (list party) yang murni menggunakan daftar terbuka hanya 12 negara yaitu: Brasil, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Irak, Norwegia, Swedia, Swiss dan Indonesia sendiri. Sebagian besar tetap menggunakan daftar tertutup (closed list).

Jika mau jujur, sebenarnya tidak ada ukuran yang pasti sistem pemilu manakah yang paling demokratis, paling jurdil dan luber. Setiap negara memiliki sistem pemilu yang berbeda-beda. Perbedaan itu menurut Horowitz diakibatkan oleh berbedanya sistem kepartaian, kondisi sosial dan politik masyarakat, jumlah penduduk, jenis sistem politik, dan lain-lain. Oleh karena itu, pilihan atas sebuah sistem pemilu menjadi perdebatan sengit di kalangan partai politik sampai saat ini. Namun, apapun dasar pertimbangannya, sistem pemilu yang ditetapkan harus memperhatikan serangkaian kondisi. Kondisi ini yang membimbing pemerintah dan parpol guna menetapkan sistem pemilu yang akan dipakai. Paling tidak menurut Horowitz, sistem pemilu harus mempertimbangkan beberapa hal antara lain: (1) Perbandingan Kursi dengan Jumlah Suara; (2) Akuntabilitasnya bagi Konstituen (Pemilih); (3) Memungkinkan pemerintah dapat bertahan; (4) Menghasilkan pemenang mayoritas; (5) Membuat koalisi antaretnis dan antaragama; dan (6) Minoritas dapat duduk di jabatan publik. [1]

Pertimbangan lain dalam memilih sistem pemilu juga diajukan Andrew Reynold, et.al[2]. Menurut mereka, hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam memilih sistem pemilu adalah : perhatian pada representasi; membuat pemilu mudah digunakan dan bermakna; memungkinkan perdamaian; memfasilitasi pemerintahan yang efektif dan stabil; pemerintahan yang terpilih akuntabel; pemilih mampu mengawasi wakil terpilih; mendorong parpol bekerja lebih baik; mempromosikan oposisi legislatif; mampu membuat proses pemilu berkesinambungan; dan memperhatikan standar internasional.[3]
Jika mau menyusun suatu sistem pemilu, sebenarnya tidak mutlak harus dengan sistem suara terbanyak (proportional representation-party list- opened list) sebagaimana yang diputus MK, tetap harus didasarkan pada berbagai pertimbangan yang mendalam sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara lainnya berdasarkan hasil penelitian Andrew Reynold diatas.

Putusan MK yang menyatakan party list dengan model semi-opened list yang diatur dalam UU Pemilu dinilai tidak representatif dan bertentangan dengan asas pemilu luber dan jurdil sebagaimana amanat UUD 1945, sebenarnya cenderung sebagai politik hukum MK yang mendasarkan putusannya pada penafsiran kontekstual, bukan tekstual (original intent) atas dasar konstitusi. Penafsiran kontekstual ini menurut Levent Gönenç mengutip John Elster dan Stephen Holmes disebut sebagai backdoor constitutional amendment (amandemen konstitusi melalui pintu belakang) dimana MK telah menyerobot kewenangan MPR sebagai satu-satunya lembaga negara yang bisa mengamandemen konstitusi.[4]

Penafsiran konstitusi yang begitu lentur (arbiraty interpretation) karena menggunakan penafsiran kontekstual disadari atau tidak telah membuat kedudukan MK lebih tinggi (supreme) daripada konstitusi. Tidak ada perbedaan kedudukan karena keduanya telah menjelma menjadi satu-kesatuan. Sehingga MK tidak dapat lagi disebut sebagai pengawal konstitusi seperti yang diinginkan Kelsen sebagai penggagas pertama kali keberadaan MK di dunia, karena antara yang mengawal dan dikawal telah melebur menjadi satu. Padahal, dalam konteks prinsip supremasi konstitusi menurut Kelsen, pengawal harus patuh dan berkedudukan lebih rendah daripada yang dikawal.[5]

Penafsiran MK yang begitu lentur tersebut sebenarnya dapat memicu potensi konflik antar lembaga negara. Menurut Levent Gönenç, konflik antara MK dan lembaga tinggi negara lainnya sering terjadi di negara-negara demokrasi baru. Banyak negara pasca komunis seperti Kazakstan, Belarus, Romania, Bulgaria, Slovakia dan Rusia, hakim konstitusinya telah menjadi aktor yang sangat berkuasa (supreme), sehingga melahirkan pertarungan terus menerus antara MK dan lembaga tinggi negara lain yang berpuncak pada pengekangan kewenangan MK baik melalui amandemen konstitusi maupun amandemen UU MK itu sendiri.[6]

Di Afrika Selatan misalnya, pengekangan MK dilakukan dengan 2 (dua) cara, eksternal dan internal. Eksternal dilakukan dengan mengamandemen kewenangan MK yang diatur di dalam konstitusi, dan cara internal dilakukan dengan mengganti hakim MK atas rekomendasi Service Commision (di Indonesia semacam Komisi Yudisial) yang menyatakan bahwa hakim tersebut memang tidak layak (tidak kompeten).[7]

Tentunya konflik antara MK dan lembaga tinggi negara lain khususnya MPR dan DPR tidak diharapkan terjadi jika saja MK dapat kembali menempatkan posisinya sebagai negative legislator dan menggunakan original intent dalam menafsirkan konstitusinya. Dan jika menggunakan original intent, seharusnya sistem pemilu yang diatur di dalam UU No.10 Tahun 2008 tidak akan dibatalkan oleh MK karena sistem pemilu tersebut merupakan kesepakatan bersama antara parpol-parpol melalui wakil-wakilnya di parlemen dan pemerintah yang didasarkan pada berbagai pertimbangan politik, perubahan sosial dan budaya di tengah masyarakat. Dan sebenarnya menurut Horowitz ataupun Andrew Reynolds pertimbangan-pertimbangan sistem pemilu antar satu negara pastilah berbeda-beda sehingga tidak ada satupun sistem pemilu yang dapat dikatakan paling demokratis ataupun paling representatif kecuali dinilai demikian oleh masing-masing negara.


[1] Donald L. Horowitz, “Electoral Systems and Their Goals : A Primer foR Decision-Makers”, Paper on James B. Duke Professor of Law and Political Science, Duke University, Durham, North California, January 2003.
[2]Andrew Reynolds, dkk, Electoral System Design: The New International IDEA Handbook (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2005) hal. 9-14.
[3] Yang dimaksud perhatian kepada representasi harus memperhatikan kondisi geografis, faktor ideologis, situasi partai politik (sistem kepartaian), dan wakil rakyat terpilih benar-benar mewakili pemilih mereka. Yang dimaksud Pemilu dapat digunakan dengan mudah dan bermakna bahwa pemilu adalah proses yang “mahal” baik secara ekonomi (biaya cetak surat suara, anggaran untuk parpol yang diberikan pemerintah) maupun politik (konflik antar pendukung), agar bisa dimengerti oleh masyarakat awam serta disabel (buta warna, tunanetra, tunadaksa). Yang dimaksud dapat mendamaikan bahwa faktanya masyarakat pemilih punya latar belakang yang berbeda, dan perbedaan ini bisa diperdamaikan melalui hasil pemilihan umum yang memungkinkan untuk itu. Yang dimaksud memfasilitasi pemerintahan yang efektif dan stabil bahwa sistem pemilu mampu menciptakan pemerintahan yang diterima semua pihak, efektif dalam membuat kebijakan. Sistem pemilu yang baik mampu menciptakan pemerintah yang akuntabel. Yang dimaksud pemilih mampu mengawasi wakil terpilih bahwa sistem pemilu yang baik memungkinkan pemilih mengetahui siapa wakil yang ia pilih dalam pemilu, dan si pemilih dapat mengawasi kinerjanya. Yang dimaksud mendorong parpol bekerja lebih baik bahwa sistem pemilu yang baik mendorong partai politik untuk memperbaiki organisasi internalnya, lebih memperhatikan isu-isu masyarakat, dan bekerja untuk para pemilihnya.Yang dimaksud mempromosikan oposisi legislatif bahwa sistem pemilu yang baik mendorong terjadinya oposisi di tingkat legislatif, sebagai bentuk pengawasan DPR atas pemerintah. Yang dimaksud mampu membuat proses pemilu berkesinambungan bahwa sistem pemilu harus bisa dipakai secara berkelanjutan dan memungkinkan pemilu sebagai proses demokratis yang terus dipakai untuk memilih para pemimpin. Dan yang dimaksud memperhatikan standar internasional misalnya isu HAM, lingkungan, demokratisasi, dan globalisasi ekonomi. Lihat Ibid.
[4] Levent Gönenç, Prospects for Constutionalism in Post Communist Contries (Kluwer Law International: Hague, 2002), hal. 254
[5] Hans Kelsen, General Theory of Law and State (The Law Book Exchange, Ltd: New Jersey, 2007), hal.156
[6]  Levent Gönenç, Op.Cit. hal.254-272
[7] Ziyad Motala dan Cyril Ramaphosa, Constitutional Law, Analysis and Cases (Oxford University Press, 2002), hal.143

Tidak ada komentar :

Posting Komentar