Rabu, 04 Agustus 2010

KPU memang Tidak Harus Non Parpol (Studi Original Intent)


Pasal 23E ayat (5) UUD 1945:
“ Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”



L
ahirnya ketentuan Pasal 23E ayat (5) UUD 1945 di atas jika didasarkan pada risalah persidangan-persidangan MPR-RI tahun 2000 menggambarkan suatu keinginan untuk membentuk penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional (terhirarkhi sampai ke daerah), tetap (permanen/tidak ad hoc), dan mandiri (tidak berada dibawah subordinat lembaga negara lain).

Mengenai masalah keanggotaan penyelenggara pemilu, seluruh peserta rapat sepakat untuk tidak mengaturnya di dalam konstitusi, tetapi membebaskannya sebagai opened legal system yang dapat diatur lebih lanjut di dalam UU. Sehingga konstitusi memberikan kebebasan kepada DPR dan Pemerintah untuk menyusun komposisi dan jumlah keanggotaan KPU yang dinilai paling ideal, yang menurut DPR dan Pemerintah nantinya dapat mendukung terwujudnya Pemilu jurdil sebagaimana yang menjadi semangat perubahan UUD 1945.

Memang, awalnya Fraksi PDI Perjuangan sempat mengusulkan agar keanggotaan KPU tetap diatur sebagai salah satu norma dalam UUD 1945. Bahkan Fraksi PDI Perjuangan mengusulkan nantinya agar keanggotaan KPU bukan “anggota aktif”[1] partai politik peserta Pemilu dengan tujuan untuk menjamin keadilan dan kejujuran KPU. Pemikiran tersebut didasarkan pada sejarah penyelenggaraan Pemilu yang selalu tidak jurdil dan hanya menguntungkan penguasa (Orde Baru), oleh karena itu pemilu harus diatur dalam UUD 1945. Seperti yang dinyatakan Hobbes:

Dengan tidak diaturnya pemilihan umum di dalam UUD 1945, maka pelaksanaan Pemilu di Indonesia selama ini diatur dalam UU yang lebih banyak menguntungkan penguasa. Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat pemilihan umum haruslah dilakukan secara jujur dan adil.[2]

Pemikiran Fraksi PDI Perjuangan yang menginginkan keanggotaan KPU juga harus diatur dalam UUD 1945, kemudian berkembang dan dijadikan draft awal PAH I MPR dengan berbagai penambahan yang kemudian berbunyi:

Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, permanen dan mandiri yang keanggotaannya bukan dari partai politik dan juga birokrasi.[3]

Ketika memasuki Rapat Pleno Sinkronisasi PAH I BP MPR tanggal 11 Juli 2000, rumusan ini kemudian diminta ditinjau ulang khususnya norma yang mengatur keanggotaan KPU. Karena setelah dikaji ulang, keanggotaan KPU ini sebenarnya tidak perlu diatur dan diikat dengan satu norma, karena nantinya dikhawatirkan tidak akan dapat mengikuti perkembangan tuntutan dan kondisi masyarakat yang akan terus berubah. Permintaan peninjauan ulang itu diminta oleh Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB melalui pernyataannya sebagai berikut:

Sebelum kita masuk ke ayat (6) sekiranya masih bisa kita diskusikan anak kalimat terakhir dari ayat (5) ini: “yang keanggotaannya bukan dari partai politik dan juga birokrasi”. Ini saya kira tidak perlu kita cantumkan secara tepat seperti ini. Mana tahu dalam perkembangan selanjutnya bahwa ada perubahan-perubahan yang signifikan pada suatu saat mungkin partai politik ini perlu juga masing-masing satu orang...[4]

Permintaan peninjauan ulang Hamdan Zoelva ikut didukung Lukman Hakim Saifuddin dari Fraksi PPP, yang juga menyatakan:

...boleh jadi dalam masa mendatang kedudukan akan perlunya komite atau badan penyelenggara pemilu ini memerlukan birokrasi karena melihat struktur ke bawah meskipun tidak dominan tapi perlu ada orang-orang tertentu, termasuk di dalamnya juga partai politik.

Usulan Hamdan Zoelva dan Lukman Hakim Saifuddin ini ikut diamini oleh Slamet Effendy Yusuf sebagai pimpinan rapat dengan memberikan perbandingan dengan komite pemilu di Amerika Serikat:

Memang di negara yang modern seperti Amerika, di komisinya itu lembaganya independen tapi anggotanya ternyata 3 dari Partai Republik, 3 dari Partai Demokrat, beberapa sisanya dari orang-orang independen. Tapi, memang disana, walaupun orang partai kalau sudah di KPU betul-betul jadi orang KPU.[5]

Dari berbagai pandangan peserta rapat, akhirnya forum rapat menyetujui secara aklamasi penghapusan kalimat “yang keanggotannya bukan dari partai politik dan juga birokrasi”. Atas saran ahli bahasa, kata “permanen” kemudian diganti dengan kata tetap, sehingga rumusan akhir ayat (5) berbunyi:

Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.[6]

Rumusan akhir ini kemudian dilaporkan oleh PAH I MPR bersama seluruh ayat di dalam Pasal 22E di dalam Rapat BP MPR yang dipimpin langsung oleh Ketua MPR (Amien Rais) dan disahkan sebagai hasil kerja BP MPR. Materi ini kemudian dibahas dan diputus dalam Rapat Paripurna ke-5 ST MPR 2000 dan seluruh fraksi menyetujuinya.

Dalam praktiknya (pasca amandemen UUD 1945) keberadaan penyelenggara Pemilu pengaturannya dijadikan satu bagian dengan UU Pemilu (UU No.12 Tahun 2003). Kemudian dicabut dan diganti dengan undang-undang yang khusus mengatur tentang penyelenggara Pemilu (UU No.22 Tahun 2007). Keanggotaan KPU yang bersifat opened legal system, kemudian oleh UU diterjemahkan dengan pelarangan keanggotaan KPU yang berasal dari anggota atau pengurus parpol.[7]

Tujuan pelarangan keanggotaan KPU dari unsur parpol yang diharapkan dapat mewujudkan suatu KPU yang profesional justru berbalik. Dalam Pemilu 2004 dimana keanggotaan KPU yang sebagian besar keanggotaannya diisi oleh para akademisi dan LSM justru banyak melahirkan kecurangan dan korupsi yang berujung pada pemenjaraan Ketua dan anggota KPU. Begitu pula dalam Pemilu 2009, keanggotaan KPU yang sebagian besar diisi oleh mantan anggota KPU Provinsi, akademisi dan peneliti, justru penyelenggarannya sangat tidak profesional yang berakibat hilangnya jutaan hak pilih masyarakat diikuti dengan tingkat kecurangan dan perselisihan yang tinggi, sehingga membawa derajat demokrasi Indonesia menuju ke titik terendah. Jauh berbeda dengan Pemilu 1999 dengan keanggotaan KPU yang terdiri dari gabungan antara pemerintah dan partai politik dengan keanggotaan mencapai 53 orang, justru berjalan secara demokratis tanpa adanya pelanggaran dan kecurangan yang berarti.

Berkaca dari pengalaman 2 (dua) kali Pemilu terakhir di atas, perlu dikaji ulang, apakah keanggotaan KPU harus tetap dipertahankan non parpol? Atau kembali kepada tahun 1999 dengan berbagai perbaikan dan tambahan unsur independen dan pemerintah? Semua kembali kepada DPR dan Pemerintah sebagai pemegang kebijakan legislasi, karena seperti apapun komposisi dan jumlah KPU, konstitusi (UUD 1945) tidak mensyaratkannya tapi membiarkannya menjadi opened legal system (kebijakan hukum terbuka) agar sewaktu-waktu dapat diubah dan dirombak disesuaikan pada kondisi, tuntutan dan pembelajaran sejarah demi terwujudnya pemilu yang demokratis dan jurdil. Akhir kata, vox populi vox dei!


[1] Yang dimaksud sebagai anggota aktif adalah anggota parpol yang menjadi pengurus di parpolnya. Usulan ini disampaikan oleh Pataniari Siahaan dari Fraksi PDI Perjuangan dengan usulan: ....pemilihan umum diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, permanen, mandiri dan anggota-anggotanya mempunyai kemampuan dan kepribadian yang baik dan bukan anggota aktif partai politik peserta pemilihan umum. Risalah Rapat ke-39 PAH I BP MPR, 6 Juni 2000, hal.7
[2] Ibid.
[3] Rumusan ini masuk dalam Pasal 22E ayat (5), setelah forum rapat menyepakati bahwa Pemilu diatur di dalam Bab tersendiri di dalam UUD 1945.
[4] Risalah Rapat Pleno Sinkronisasi PAH I BP MPR, 11 Juli 2000, hal.4
[5] Ibid.
[6] Ibid. hal.5
[7] Di dalam UU No.12 Tahun 2003 diatur di Pasal 18 huruf j yang berbunyi: tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik. Dan didlam UU No.22 Tahun 2007 diatur di Pasal 11 huruf I, yang berbunyi: tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan

Tidak ada komentar :

Posting Komentar