1. Konstitusi: Hasil Kesepakatan Rakyat atau Bargains Politik
Negara penganut paham konstitusionalisme adalah negara yang dalam mengorganisasikan pemerintahan tergantung dan taat kepada seperangkat hukum dan prinsip-prinsip fundamental yang telah digariskan dalam konstitusi.[1] Konstitusionalisme merupakan sebagian prasyarat dari demokrasi, karena demokrasi mengandaikan adanya sebuah pembatasan kewenangan dari kekuasaan yang diatur dalam sebuah perangkat hukum yang jelas. Oleh karena itu dikatakan oleh Barendt bahwa constitutionalism is a belief in imposition of restrains on government by means of a constitution.[2]
Essensi dari konstitusionalisme dari kacamata Soetandyo minimal terdiri dari dua hal pokok yakni, pertama, konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum harus mampu mengontrol dan mengendalikan politik; kedua, konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan kekuasaan negara yang dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh dari konstitusi.[3]
Friedrich juga menyatakan konstitutionalisme sebagai: …a set of an activites organized and operated on behalf of the people but subject to a series of restrains which attempt to ensure that the power which is need for such governance is not abused by those who are called upon to do the governing.[4] Dari pandangan Friedrich tersebut dapat difahami bahwa tujuan pokok dari konstitutionalisme adalah upaya membatasi kekuasaan mengingat pada masa sebelumnya kekuasaan sangat luas tanpa batas. Pembatasan itu kemudian dilakukan melalui sebuah hukum khusus yaitu konstitusi.
Lalu Wheare mendefinisikan konstitusi sebagai seperangkat aturan yang digunakan untuk membangun atau mengatur sebuah pemerintahan negara.[5] Dalam definisi yang lain, Smith menyatakan konstitusi sebagai dokumen yang berisi perangkat aturan pokok tentang pemerintahan sebuah negara.[6] Begitu juga Barendt mengartikan konstitusi sebagai the written document or text which outlines the powers of its parliament, government, courts, and others important national institution.[7]
Jika diartikan secarah harfiah, konstitusi berarti “pembentukan” berasal dari bahasa Perancis “constituir”, yang berarti membentuk. Secara istilah ia berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dalam bahasa Belanda disebut Grondwet, sedangkan di dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Untuk itu maka konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya negara.[8]
Sementara Kelsen mengartikan konstitusi sebagai …the highest level within national law… the constitution in the material sense consists of those rules wich regulate the creation of the general legal norms, in particular the creation of statutes.[9] Konstitusi dalam arti ini menunjukkan bahwa konstitusi merupakan norma dasar yang menjadi payung terhadap seluruh peraturan peru ndang-undangan di bawahnya.[10]
Senada dengan Kelsen, Jimly Asshidiqie dengan mengacu pada kasus Marbury versus Madison dalam Bryce juga menyatakan bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi yang bersifat fundamental, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang bersifat universal, maka peraturan-peraturan yang tingkatannya berlaku di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku atau diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.[11]
Jika menggunakan pendekatan Locke, konstitusi pada dasarnya memuat prinsip mayoritas, seperti dikatakannya: …and it being necessary to that which is one body to move one way; it is necessary the body should move that way whither the greater force carries it, which is the consent of majority.[12] Setelah kontrak sosial tercapai, maka persetujuan individu hilang dan digantikan dengan kehendak mayoritas (konstitusi). Dan setiap pemerintahan harus tunduk terhadap kehendak mayoritas tersebut. Jika kemudian pemerintah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kehendak mayoritas, dalam kacamata Locke, pemerintah harus diturunkan/dilengserkan oleh rakyatnya.
Namun teori ini masih menyisakan pertanyaan kecil yaitu bagaimana pemerintah sebagai penguasa dapat beritikad baik mematuhi konstitusi? Pertanyaan ini dijawab Alder dengan menyuguhkan 4 (empat) jalan sebagaimana yang ditulisnya:[13]
There are boadly four ways in which constitutions have grappled with this. Ultimately though, all depend on political good will.
1) By creating basic principles of justice, and individual rights policed by courts who are independent of the government.
2) By splitting up power between different government bodies to ensure that no one person has too much power (separation of powers).
3) By adopting representative institutions of government that are chosen by the people and can be removed by the people.
4) By providing for direct participation by the people in the process of government decision-making.
Oleh karena itu bagi Andrews, konsensus sebagai alat untuk menjamin tegaknya konstitusionalisme, di jaman modern pada umumnya difahami dengan bersandar pada tiga elemen konsensus, yaitu:[14]
1) the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government;
2) the basic government;
3) the form of institutions and procedures.
Dalam persoalan lain, teori Locke tentang “kehendak mayoritas” juga memunculkan satu dilematika yaitu tertutupnya suara atau kehendak minoritas, sehingga mau tidak mau kelompok minoritas harus tunduk kepada kehendak mayoritas. Jika tidak, maka harus mengambil jalan sendiri dan pindah ke lain wilayah. Bagi Elster dan Slagstad, sistem mayoritas sebenarnya memiliki hal yang bersifat paradoks sebab kelompok minoritas tidak diberikan kesempatan (hak) untuk menolak secara langsung, selain memilih patuh sebagaimana yang dikehendaki mayoritas itu sendiri. Sebab dalam kacamata demokrasi tanpa adanya persetujuan mutlak (acquiescence) dari suara yang kalah (minoritas) sama dengan bukan demokrasi.
Persetujuan mutlak yang diberikan kelompok minoritas tersebut biasanya disertai dengan jaminan politik dari negara. Jaminan politik itu didasarkan pada teori multiple membership, dimana jika setiap individu memiliki beberapa kelompok lalu sebagian besar masyarakat tergabung dalam kedua koalisi mayoritas dan minoritas, masyarakat yang kalah (minoritas) akan menggunakan dasar kehormatan dirinya sebagai alasan untuk menerima keputusan yang tidak diinginkannya tersebut, dalam situasi lain, toh mereka tetap akan mendapatkan kebaikan dari keputusan yang sebenarnya tidak dikehendakinya. Sebaliknya, atas dasar persetujuan dari minoritas, kelompok mayoritas akan bertoleran untuk tidak bertindak sewenang-wenang terhadap minoritas.[15]
Atas dasar itulah maka Elster dan Slagstad dengan mengutip teori umum tentang konstitusionalisme milik Colhoun menegaskan bahwa konstitusi pada dasarnya tidak lebih dari proses tawar-menawar (bargains). Konstitusi diyakini pada awalnya lahir dari konflik-konflik kepentingan antar kelas yang saling bermusuhan di dalam masyarakat, seperti yang diutarakannya:[16]
Constitutions, he (Colhoun) argued, are bargains. Indeed, the development and acceptance of a constitutional framework can occur only as the contingent result of irresolvable conflict: The constitutions (of both Rome and Britain) originated in a pressure occasioned by conflicts of interests between hostile classes or orders and were intended to meet the pressing exigencies of the occasion, neither party, it would seem, having any conception of the principles involved or the consequences to follow beyond the immediate objects in contemplation.
Oleh karena itu, Elster dan Salgstad mengungkapkan bahwa the initial willingness of rival factions to compromise on a constitutional framework is usually motivated by battle fatigue and a yearning for the fruits of peaceful cooperation. But all parties mus be assured that “ultimate values” –the things they care avout most- will not be dragged through the mud of contestation. When factions negotiate, they put their differences aside and build on common the thought of being ruled by foreigners. Burying differences, in Calhoun’s view, meant removing them from the national political agenda in order to concentrate on problems likely to mobilize greater social concensus.[17]
Aristoteles memberikan gambaran konstitusi dengan pengklasifikasian konstitusi pada 2 (dua) hal pokok yaitu the ends pursued by states dan the kind of authority exercised by ther government. Tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Karena itu, Aristoteles membedakan antara right constitution dan wrong constitutions dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah.[18]
Konstitusi yang terakhir (yang salah) dapat disebut pula sebagai perverted constitution yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang selfish (the selfish interest of the rulling authority). Konstitusi yang baik disebut Aristoteles sebagai konstitusi yang tidak normal. Ukuran baik buruknya atau normal tidaknya kostitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled.[19]
Dalam kasus ini, Mahfud MD mencoba memberikan gambaran dengan membandingkan kehidupan berkonstitusi era Orde Lama dengan Orde Baru. Salah satu poin yang ditegaskan Moh.Mahfud adalah: jalan yang ditempuh Orde Lama adalah inkonstitusional, sedangkan Orde Baru memilih justifikasi melalui cara-cara konstitusional sehingga perjalanan menuju otoritariannya memang didasarkan pada peraturan yang secara “formal” ada atau dibuat. [20] Dari kacamata Mahfud ini dapat dilihat bahwa jika meminjam istilah Aristoteles bahwa UUD 1945 pada masa Orde Baru tidak lebih sebagai perverted constitution yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang selfish.
Namun bagaimanapun, bagi Kelsen sebagai pelopor teori hukum murni, konstitusi akan tetap dipandang sah selama tetap dipostulasikan sah (valid) oleh masyarakat. Sebaliknya, jika ternyata konstitusi (perubahan konstitusi) tidak dipatuhi masyarakat (tidak efektif) bahkan berbuah protes, maka pihak-pihak yang menyusun konstitusi tersebut akan berbalik dinilai sebagai pengkhianat dan tindakan mereka dalam menyusun atau merubah konstitusi akan dianggap sebagai perbuatan yang illegal, atas dasar penilaian konstitusi sebelumnya. If they succeed, if the old order ceases, and the new ordr begins to be efficacious, because the individuals whose behavior the nuew order regulates actually behave, by and large,in comformity with the new ordr, then this order is considered as a valid order… If the revolutionaries fail, if the order they have tried to establish remains inefficacious, then, on the other hand, their undertaking is interpreted, not as a legal, a law-crating act, as the crime of treason, and this according to the old monarchic constitution and its specific basic norm.[21]
2. Perubahan Konstitusi
Pada umumnya, konstitusi diklasifikasikan dalam 2 (dua) kategori, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Menurut klasifikasi ini, Konstitusi Indonesia (UUD 1945) termasuk dalam kategori sebagai konstitusi tertulis. Dalam kategori konstitusi tertulis, jika menggunakan pendekatan Wheare maka perubahan konstitusi akan memiliki 3 (tiga) pengertian:[22]
(1) menjadikan lain rumusan teks yang terdapat dalam konstitusi;
(2) menambah sesuatu yang tidak (belum) terdapat dalam konstitusi; dan
(3) adanya perbedaan antara apa yang tercantum dalam teks konstitusi dengan apa yang ada dalam praktek ketatanegaraan.
Namun secara umum, perubahan konstitusi memiliki 2 (dua) model, yaitu “perubahan” (amandemen), dan “pembaharuan” atau “penggantian” (renewal).[23] Amandemen biasanya berupa perubahan konsep dalam konstitusi yang ditandai dengan perubahan teks konstitusi. Model amandemen biasanya masih mempertahankan teks konstitusi yang lama, namun ia sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi, melainkan sekedar menjadi dokumen historis, dan hasil perubahan teks konstitusi yang memiliki kekuatan hukum ditempatkan sebagai “lampiran” (adendum) dari konstitusi yang sudah diubah tersebut. Model renewal biasanya ditandai dengan digantinya suatu konstitusi dalam suatu negara dengan konstitusi yang lain, seperti UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950.
Jika dilihat dari mekanismenya, perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan beberapa cara atau prosedur. Strong menyebutkan ada 4 (empat) cara mengubah konstitusi.[24] Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen dengan pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan syarat pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan. Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum, yaitu parlemen mengajukan rancangan amandemen untuk diputuskan oleh rakyat melalui referendum. Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara bagian dalam negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari parlemen federal atau sejumlah negara bagian. Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan pemilihan anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi atau konstituante, atau dapat pula parlemen dibubarkan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan umum anggota konstituante.
Sementara Lijphart menyebut ada 3 (tiga) tipe amandemen konstitusi. Pertama, amandemen konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas murni atau sederhana (separuh lebih satu). Kedua, amandemen konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas khusus, misalnya dua pertiga atau tiga perempat. Ketiga, amandemen konstitusi yang disiapkan oleh parlemen, namun harus memperoleh persetujuan rakyat melalui referendum. Tipologi ini disusun untuk mengetahui watak sistem politik yang dianut, apakah cenderung mengutamakan konsensus dalam pengambilan keputusan (consensus democracy) ataukah cenderung pada suara mayoritas (majoritarian democracy).[25]
Dengan melihat beberapa teori tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa cara atau prosedur amandemen konstitusi dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) model besar, yaitu amandemen dengan model elitis dan partisipatoris.[26] Model amandemen konstitusi dikatakan elitis bila prosedur pengusulan hingga pengambilan keputusan dilakukan sepenuhnya oleh parlemen. Model partisipatoris bila amandemen konstitusi dilakukan dengan melibatkan peran rakyat dari pengajuan usul amandemen hingga pengambilan keputusan lewat referendum. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tentang “perubahan konstitusi” dalam UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai perubahan oleh parlemen dengan syarat tertentu, yaitu suara mayoritas. Amandemen konstitusi UUD 1945 juga dapat dikategorikan sebagai model amandemen elitis, karena prosedur pengusulan, pembahasan dan pengambilan keputusan semata-mata hanya terbatas dilakukan oleh anggota parlemen, tanpa melalui proses partisipasi rakyat.
Model amandemen elitis tersebut harus diakui memiliki satu kelemahan yaitu rawan subyektifitas elit, karena tidak melibatkan persetujuan rakyat secara langsung. Sebagaimana diketahui, parlemen, bagaimanapun merupakan himpunan kelompok-kelompok kepentingan politik golongan (aliran), atau jika menggunakan istilah Colhoun, konstitusi tidak lebih dari sebuah produk tawar menawar dari berbagai kelompok kepentingan,[27] dan dalam beberapa kasus, konflik kepentingan tersebut justru berkontradiksi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dan bagi Barendt, amandemen seperti itu (tanpa melibatkan partisipasi masyarakat), sama dengan ”hakim mengadili dirinya sendiri”. [28]
Atas dasar persoalan itu, maka MPR walaupun memiliki kewenangan konstitusional untuk merubah UUD tanpa harus melalui proses partisipasi masyarakat, namun MPR tidak dapat begitu saja mengubah UUD sesuai dengan kehendak subyektif dirinya. Jika ini terjadi, hasil amandemen tersebut dalam kacamata Kelsen dapat dinyatakan ”tidak sah” (tidak valid) dan illegal yang ditunjukkan dengan tidak efektifnya hasil perubahan serta munculnya protes dan penolakan dari masyarakat[29]. Dan jika mengacu pada pandangan Kommers terhadap Basic Law Jerman, setiap perubahan konstitusi yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar atau spirit konstitusi akan menjadi unconstitutional dengan sendirinya.[30]
Atas dasar elitisme itu kemudian muncul gagasan dan gerakan amandemen konstitusi oleh “Komisi Konstitusi Independen” Ada dua argumentasi yang diajukan.[31] Pertama, pembentukan komisi konstitusi independen diharapkan untuk menghindari pertarungan dan konflik kepentingan antara berbagai kekuatan politik dalam MPR, mengingat anggota MPR mayoritas merupakan wakil partai politik yang berkepentingan terhadap bagaimana kekuasaan akan dirumuskan dalam konstitusi. Kedua, komisi konstitusi independen diharapkan dapat mengakomodir kepentingan pluralisme masyarakat Indonesia, yaitu dengan memberikan kesempatan partisipatif dari berbagai perwakilan rakyat dari daerah. Pada akhirnya dengan mengakomodasi partisipasi rakyat melalui komisi konstitusi independen, diharapkan akan terbentuk konstitusi dengan semangat rasa memiliki (sense of belonging, sense of ownership) terhadap konstitusi.
Hal ini merujuk pada pemikiran Nonet dan Selznick tentang hukum responsif dimana tatanan hukum sebaiknya dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Dalam model hukum responsif ini, pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.[32]
Dalam perkembangannya, gagasan pembentukan Komisi Konstitusi telah diakomodir oleh MPR melalui Ketetapan MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi, dan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2002 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan, dan Keanggotaan Komisi Konstitusi.[33] Namun sayangnya, Komisi Konstitusi hasil bentukan MPR tersebut hanya diberikan kewenangan terbatas, yaitu melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap UUD 1945 hasil amandemen, bukan ikut melakukan amandemen konstitusi itu sendiri. Pada akhirnya hasil kerja Komisi Konstitusi sebatas hanya “hasil kajian” dan ternyata tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap struktur dan substansi hasil amandemen konstitusi.
Mengenai tidak dilibatkannya partisipasi masyarakat secara langsung, MPR tetap bertahan pada alasan yuridis-normatif bahwa konstitusi Indonesia memang tidak mengenal mekanisme perubahan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Namun perubahan yang bersifat elitis tersebut, menurut MPR telah tereleminasi karena perubahan yang dilakukan murni didasarkan kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berkembang selama reformasi, yang dilakukan melalui dialog-dialog panjang dengan seluruh elemen masyarakat. Tuntutan perubahan itu didasarkan pada beberapa pandangan bahwa UUD 195 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM. Selain itu di dalamnya terdapat pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan.[34]
3. Mekanisme Perubahan UUD 1945
Mekanisme perubahan (amandemen) konstitusi dalam UUD 1945 diatur dalam pasal 37. Dalam pasal ini mengandung norma-norma:
(1) lembaga yang berwenang melakukan perubahan adalah MPR;
(2) untuk dapat melakukan perubahan diperlukan syarat quorum, syaratnya yaitu 2/3 anggota MPR harus hadir;
(3) keputusan untuk dapat dilakukan perubahan didasarkan kepada persetujuan 2/3 jumlah anggota MPR yang hadir.
Berdasarkan pasal 37 hasil Perubahan Keempat UUD 1945, norma tentang mekanisme perubahan UUD 1945 diubah menjadi :
(1) lembaga yang berwenang melakukan perubahan adalah MPR;
(2) usul untuk melakukan perubahan UUD dapat diagendakan dalam Sidang MPR bila diajukan oleh 1/3 anggota MPR;
(3) usul perubahan UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya;
(4) syarat quorum untuk melakukan sidang MPR untuk mengubah UUD harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR;
(5) putusan untuk mengubah UUD harus dengan persetujuan sekurangkurangnya 50 % + 1 dari seluruh anggota MPR.
Bentuk hukum yang digunakan untuk melakukan perubahan konstitusi (sebelum Amandemen UUD 1945) terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama dari Harun Alrasid yang menghendaki diberlakukannya Pasal 3 UUD 1945. Menurutnya, sejak tahun 1971 sampai saat ini, MPR belum pernah menetapkan UUD sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945. UUD 1945 yang berlaku selama ini sifatnya hanya konstitusi sementara. Ini merujuk pada pidato Soekarno di dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan: ini (UUD 945) adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revoluitegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Atas pendapat Sukarno tersebut, Harun lebih setuju langkah tepat yang dilakukan MPR sebelum mengubah UUD 1945 adalah dengan menetapkannya dulu dengan dasar Pasal 3 UUD 1945. Dengan demikian status hukum UUD 1945 tidak lagi bersifat sementara, tetapi sudah tetap. Baru setelah itu bisa diterapkan Pasal 37 tentang mekanisme perubahan UUD 1945.[35]
Jika MPR tidak menetapkan terlebih dahulu UUD 1945, mekanisme yang tepat hanyalah renewal (penggantian) yaitu mengganti UUD 1945 dengan UUD yang baru, bukan amendment (perubahan). Amendment hanya bisa dilakukan jika Indonesia sudah memiliki konstitusi yang bersifat tetap, padahal faktanya konstitusi yang ada selama ini (UUD 1945) hanyalah konstitusi sementara.[36]
Berbeda dengan Harun, Soewoto Mulyosudarmo mendasarkan Perubahan UUD 1945 pada dua pasal yaitu: pasal 3 dan pasal 37 UUD 1945, namun pengartiannya dalam arti lain, bahwa lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi adalah MPR, maka instrumen hukum yang digunakan untuk melakukan perubahan konstitusi adalah Ketetapan MPR (TAP MPR). Namun pendapat ini disangkal Sri Soemantri, menurutnya TAP MPR tidak dapat digunakan sebagai instrumen hukum untuk melakukan perubahan konstitusi.[37] Hal ini didasarkan kepada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan[38] yang menentukan bahwa kedudukan TAP MPR berada di bawah UUD 1945. Dengan demikian, secara hukum, TAP MPR tidak dapat digunakan sebagai instrumen hukum untuk melakukan perubahan konstitusi. Selanjutnya Sri Soemantri berpendapat bahwa perubahan konstitusi dilakukan dengan menggunakan bentuk hukum “amandemen”, yaitu dengan menempatkan hasil perubahan sebagai “lampiran” atau “adendum” dari konstitusi yang diubah tersebut.
Dalam praktiknya, pendapat Sri Soemantri ternyata sesuai dengan apa yang dilaksanakan MPR dalam merubah UUD 1945. Hasil perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat tidak dengan menggunakan TAP MPR, namun langsung disatukan dalam naskah asli (adendum) .
4. Relevansi Teori Konstitusi Rigid
Menurut Wheare, konstitusi biasanya diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu konstitusi yang “rigid” dan konstitusi yang “fleksibel”. Ukuran yang digunakan untuk menentukan “rigid” dan “fleksibel”-nya sebuah konstitusi adalah:
(1) berdasarkan mudah atau sulitnya konstitusi untuk dapat diubah;
(2) berdasarkan mudah atau sulitnya konstitusi untuk menyesuaikan dengan dinamika perubahan masyarakat.
Konstitusi disebut “rigid” bila ia sulit untuk diubah dan sulit menyesuaikan dengan perubahan masyarakat. Sebaliknya, konstitusi disebut “fleksibel” manakala ia mudah untuk diubah dan mudah menyesuaikan dengan perubahan masyarakat. [39]
Namun bagi Barendt, pembedaan antara rigid dan fleksibel tersebut sudah tidak relevan lagi untuk saat ini. Menurutnya, terdapat 2 (dua) alasan kenapa perbedaan tersebut tidak relevan. Pertama, konstitusi yang bersifat fleksibel biasanya diubah oleh prosedur legislatif biasa (mekanismenya sama dengan mengubah undang-undang biasa), dan hal tersebut hanya terdapat dalam kasus kecil yaitu Inggris dan Selandia Baru. Kedua, pembedaan tersebut cenderung menyesatkan jika digunakan untuk menunjukkan istilah rigid sebagai sesuatu yang sulit bahkan mustahil dirubah, karena faktanya antara satu konstitusi dengan konstitusi lainnya, dalam perubahannya memiliki pertimbangan berbeda-beda yang akhirnya menentukan tingkat kesulitannya masing-masing. Artinya sulit tidaknya suatu konstitusi diubah sangat tergantung pada proses politik dan benturan-benturan kepentingan yang terdapat didalamnya, tidak tergantung atau ditentukan dari mekanismenya perubahannya sendiri.[40]
Terlepas dari perbedaan antara Wheare dan Barendt tersebut, Kelsen tetap menyatakan bahwa perubahan konstitusi (tertulis) memang cenderung lebih sulit, karena konstitusi merupakan norma-norma dasar yang paling tinggi, yang menjadi dasar (payung) dari norma-norma hukum yang berada dibawahnya. Sehingga prosedur perubahannya pun dipersulit, harus disertai pertimbangan-pertimbangan khusus.[41] Dalam alasan lain, Astin Riyanto mengutip pendapat Bagir Manan bahwa dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan sistem konstitutisional, maka pertumbuhan dan pengembangan konstitusi harus terkendali atau dikendalikan. Tata cara khusus untuk suatu perubahan formal merupakan salah satu cara pengendalian agar perubahan-perubahan hanya dilakukan atas dasar kebutuhan dan benar-benar dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat.[42]
Tujuan pokok yang dihendaki dari pe-rigid-an perubahan konstitusi menurut Ellydar Chaidir dengan menggunakan kacamata Wheare, paling tidak terdapat 4 (empat) tujuan, antara lain:[43]
1) supaya perubahan dilakukan dengan pertimbangan masak dan secara sadar bukan secara serampangan, asal-asalan, atau kepentingan sempit para politisi;
2) Supaya rakyat mempunyai kesempatan memberikan pendapat sebelum perubahan benar-benar dilakukan;
3) Supaya kekuasaan negara bagian dan pemerintah pusat di negara federal tidak diubah secara sepihak;
4) Supaya hak-hak individu dan masyarakat seperti kaum minoritas dari segi suku, ras, agama, bahasa, dan kebudayaan terjamin.
Jika tetap menggunakan pendekatan Wheare, dalam praktek ketatanegaraan, mekanisme perubahan konstitusi di Indonesia pernah mengalami masa “rigid”, di mana konstitusi sulit untuk diubah. Mekanisme yang rigid ini ditempuh melalui dua tingkat. Tingkat pertama dilaksanakan dalam lembaga MPR sebagaimana pasal 37 UUD 1945, dan selanjutnya di tingkat rakyat dilaksanakan dengan mekanisme referendum sebagaimana diatur dalam TAP MPR No.IV/MPR/1983 tentang Referendum, dan dilaksanakan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Berdasarkan dua peraturan tersebut, referendum dimaksudkan untuk menentukan pendapat rakyat tentang kehendak melakukan perubahan konstitusi. Syarat yang berat ditentukan dalam dua peraturan tersebut, yaitu 90% warga negara yang berhak harus menggunakan hak pilihnya, dan 90% dari 90% warga negara yang berhak harus menyatakan setuju.[44] Kini mekanisme perubahan konstitusi mengalami perubahan, tepatnya mengalami penyederhanaan, yaitu hanya satu tingkat melalui persetujuan hanya pada tingkat MPR, tanpa melalui persetujuan rakyat langsung. Hal ini ditandai dengan keluarnya TAP MPR No.VIII/MPR/1998 hasil Sidang Istimewa MPR yang mencabut berlakunya TAP MPR No.IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Jika menggunakan pendekatan Barendt, perubahan yang bersifat rigid dalam konteks bobot substansi yang akan diubah, adalah pada saat pembahasan rencana Perubahan Pasal 29 UUD 1945 yang membahas tentang agama yang berlangsung dalam kurun waktu hampir 3 (tiga) tahun (2000 s/d 2002). Penyebabnya karena MPR telah terpolar ke dalam 2 (dua) kubu yang membawa ideologi dan politik aliran yang berbeda. Kubu pertama adalah kubu yang ingin memperjuangkan Pasal 29 ayat (1) ditambahkan kalimat ”menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sebagaimana yang tertuang di dalam Piagam Jakarta, dan kubu kedua yang tetap menginginkan Pasal 29 tidak diubah untuk menjaga persatuan bangsa dan menghindari eksklusivisme salah satu agama.
Dalam alasan yang lain Robert K. Carr seperti dikutip Astin Riyanto, menyatakan bahwa pe-rigid-an perubahan konstitusi sebenarnya masih relevan dan sangat diperlukan bagi negara yang baru berdiri dan berkembang, yang belum memiliki tradisi sistem konstitusional dan tradisi demokrasi berdasarkan supremasi hukum. Sebab dalam sejarah politik maupun ketatanegaraan dunia, tidak jarang dijumpai pratek perubahan konstitusi tidak ditujukan kepada pertumbuhan dan perkembangan sistem konstitusional, tetapi untuk mengkonsolidasikan dan memantapkan suatu sistem kekuasaan belaka.[45]
5. Tuntutan dan Gagasan Politik Perubahan UUD 1945
Munculnya tuntutan Perubahan UUD 1945 diawali dari gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998 yang pada intinya menuntut perubahan UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum dan pemberantasan KKN, penegakan hak asasi manusia dan demokrasi, penegakan kebebasan pers, serta pemberian hak otonomi terhadap daerah-daerah. Dan semua tuntutan tersebut hanya bisa dipenuhi dengan cara mengubah berbagai ketentuan dalam UUD. Dengan kata lain tuntutan reformasi dapat pula dikatakan sebagai tuntutan perubahan UUD.[46]
Tuntutan perubahan UUD 1945 sampai saat ini masih diyakini sebagai bagian integral dari tuntutan reformasi. Tidak ada catatan resmi mengenai siapa yang pertama kali melontarkan gagasan perubahan UUD 1945 secara eksplisit. Akan tetapi, yang jelas, dalam beberapa kesempatan, kelompok mahasiswa yang mengerek bendera reformasi pada tahun 1998 telah mencantumkan amandemen UUD 1945 sebagai butir pertama dalam agenda tuntutan reformasi.[47]
Beberapa gagasan perubahan UUD 1945 sebagian besar dilontarkan oleh kalangan akademisi dan praktisi. Dikalangan akademisi terdapat beberapa gagasan pokok perubahan UUD 1945. Harun Alrasid dan Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa UUD 1945 selama ini terlalu memberikan kekuasaan yang luas kepada Presiden. Yusril mencontohkan dengan menilai keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara namun pratiknya dilumpuhkan oleh kekuasaan Presiden karena keberadaan MPR diatur dengan undang-undang yang notabene merupakan produk Presiden dan DPR. Dengan kata lain Presiden sebagai mandataris malah mengatur lembaga tertinggi yang memberi mandat, kondisi ini menurut Yusril memungkinkan seorang Presiden memerintah tanpa batas waktu tanpa perlu mengindahkan MPR sebagai pemberi mandat mewakili rakyat. Sementara Sri Soemantri lebih pada memberikan justifikasi tentang perlunya Perubahan UUD 1945, karena menurutnya banyaknya produk hukum yang menindas selama Orde Baru karena UUD 1945 sama sekali tidak mengikuti perubahan jaman. Menurut Sri Soemantri jika keadaan ingin berubah, dalam arti produk hukum benar-benar bisa memberikan keadilan bagi seluruh rakyat, konfigurasi politik harus dibuah dari otoriter ke demokrasi, dengan demikian akan dihasilkan produk hukum yang berkarakter responsif.[48]
Dikalangan praktisi, beberapa gagasan perubahan UUD 1945 dilontarkan oleh Adnan Buyung Nasution, Bambang Widjojanto dan Todung Mulya Lubis. Buyung mengusulkan agar segera dilakukan perubahan atau pembaharuan terhadap UUD 1945 sebab secara konseptual negara yang dipersepsikan oleh UUD 1945 melalui pikiran-pikiran Soepomo sebagai perumusnya ialah negara yang bersifat feodal, otoriter, dan bahkan fasistis. Jika UUD 1945 dibiarkan, negara Indonesia akan menjurus kepada nazisme dan fasisme. Sementara Bambang melihat UUD 1945 sengaja didesain supaya terjadi executive heavy hingga memungkinkan terjadinya state centralism dan penumpukan kekuasaan yang menyulitkan terjadinya internal built in control, intra dan antar lembaga tinggi dan tertinggi negara. Dari titik inilah dapat dilihat bahwa berbagai problem yang menjerat bangsa Indonesia sebenarnya berasal dari konstitusi. Todung lebih menekankan pada pentingnya menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri dan berwibawa. Dalam pandangan Todung, MA harus memiliki hak uji materiil atas semua produk perundang-undangan sehingga MA bisa membatalkan semua produk perundang-undangan yang menghabat, memperlemah dan menindas. Dengan adanya hak uji materiil di tangan MA, para pembuat undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang akan lebih berhati-hati.[49]
Jika dilihat dari alasan normatif yang tercatat di internal MPR, latar belakang perubahan UUD 1945 disebutkan antara lain sebagai berikut:[50]
1) UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi yaitu MPR selaku pelaksana kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan mengimbang (ceck and balances) pada institusi-institusi kenegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi pada MPR merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat;
2) UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden), sehingga sistem ketatanegaraan dominan dikuasai oleh Presiden (executive heavy). Akibatnya, pada Presiden terpusat dua kekuasaan sekaligus, yakni kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan legislasi karena Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang;
3) UUD 1945 terlalu banyak mengandung pasal-pasal yang fleksibel sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran;
4) UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang; dan
5) Rumusan UUD 195 tentang semangat penyelenggara negara, belum cukup didukung dengan ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan masyarakat, penghormatan HAM, dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.
Dalam proses perubahan UUD 1945, Panitia Ad Hoc I MPR membuat kesepakatan tentang batas-batas amandemen konstitusi. Pertama, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Kedua, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Keempat, Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Kelima, perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.[51]
Kalau diperhatikan secara menyeluruh, materi Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 meliputi:[52]
(1) Mempertegas pembatasan kekuasaan presiden. Sebelum terjadinya perubahan konstitusi, UUD 1945 memberikan kekuasaan kepada lembaga kepresidenan begitu besar (executive heavy). Kekuasaan presiden Indonesia meliputi kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudisial sekaligus. Namun kini kekuasaan presiden terbatas pada kekuasaan eksekutif saja, sementara kekuasaan legeslatif dalam membuat UU kini berada di tangan DPR, dan dalam kekuasaan yudisial lembaga kehakiman diberikan jaminan independensi.
(2) Mempertegas ide pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara, hal ini terlihat dalam pengaturan tentang kewenangan lembaga negara yang lebih terinci.
(3) Menghapus keberadaan lembaga negara tertentu (dalam hal ini DPA), dan membentuk lembaga-lembaga negara yang baru (munculnya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Pemilihan Umum dan Bank Sentral).
(4) Memberikan jaminan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia warga negara yang lebih jelas dan terperinci.
(5) Mempertegas dianutnya teori kedaulatan rakyat, yang selama ini UUD 1945 lebih terkesan menganut teori kedaulatan negara. Hal ini terlihat dari dihapusnya klaim politik bahwa MPR adalah “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya”, dimasukkannya konsep pemilihan umum dalam mengisi jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD, dan digunakannya sistem pemilihan langsung oleh rakyat untuk mengisi jabatan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Secara spesifik, amandemen konstitusi Indonesia menghasilkan sejumlah design baru format kenegaraan sebagai berikut.[53] Pertama, Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui pemilu secara langsung oleh rakyat (direct popular vote), sedangkan kewenangan MPR hanya sebatas melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih saja.[54] Sebagai konsekuensinya, berbeda dengan sebelum perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, namun bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih (direct responsible to the people). Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan sebelum perubahan UUD 1945, di mana kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR, dan kini kedaulatan rakyat tetap di tangan rakyat. Sebagai konsekuensinya adalah jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD yang keduanya merupakan anggota MPR, dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Dengan demikian, masing-masing lembaga negara sama-sama memiliki legitimasi politik yang kuat, dan masing-masing bertanggung jawab langsung kepada pemegang kedaulatan asli yaitu rakyat.[55]
Kedua, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh berbagai lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing menurut konstitusi UUD 1945.[56] Hal ini terlihat dari adanya pembagian tugas masing-masing lembaga negara yang makin jelas dan terperinci, sehingga menghindari terjadinya tumpang tindih dan intervensi kewenangan antar lembaga negara (separation of power). Presiden memegang kekuasaan menjalankan pemerintahan, DPR dan DPD dapat mengawasi jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh Presiden dan kabinetnya, dan lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang melakukan kontrol yuridis lewat judicial review terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, maupun terhadap kebijakan yang dibuat oleh DPR berupa produk undang-undang. Kondisi ini mengarah kepada terciptanya situasi checks and balances antar lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudisial.
Ketiga, wajah parlemen dinilai lebih representatif karena adanya kamar baru yaitu DPD sebagai representasi dari wakil-wakil daerah (provinsi). Keempat, adanya jaminan terciptanya stabilitas jalannya pemerintahan karena jabatan Presiden dibatasi dalam masa jabatan lima tahun, dan hanya dapat diberhentikan oleh MPR dalam kondisi tertentu saja berdasarkan UUD, serta melalui mekanisme hukum yaitu pembuktian hukum oleh Mahkamah Konstitusi.[57] Dengan demikian Presiden tidak dapat diusulkan oleh DPR untuk diberhentikan semata-mata karena alasan konflik politik. Demikian pula Presiden dilarang untuk membekukan dan/atau membubarkan DPR.
6. Benturan Ideologi dan Politik Aliran dalam Perubahan UUD 1945
Dari catatan sejarah perubahan UUD 1945, terdapat beberapa benturan yang bernuansa politik aliran dan perbedaan ideologi yang berujung pada lobby dan kompromi politik. Benturan tersebut terasa kuat ketika MPR terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan yang berhubungan dengan kebebasan beragama melalui tuntutan kembali dimasukkannya “7 kata” di Piagam Jakarta (Pasal 29 UUD 1945)[58] dan tuntutan dibentuknya lembaga perwakilan daerah (saat ini dikenal dengan DPD) yang membuat MPR terbelah dalam 2 (dua) kubu. Dalam isu “kembali ke Piagam Jakarta”, MPR terpolar ke dalam 2 (dua) kubu yaitu kubu Islam yang dimotori oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) dan Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB) dengan kubu nasionalis yang dimotori oleh Fraksi Partai Golkar (FPG), Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP) dan Fraksi TNI/Polri. Dalam isu perlu tidaknya perwakilan daerah di parlemen, MPR terbelah ke dalam 2 (dua) kubu, antara kubu pro bikameral yang dimotori oleh Fraksi Reformasi dan FPG dan kubu pro unikameral diwakili Fraksi TNI/Polri.
6.1 Benturan Gagasan Pembentukan DPD: Unikameral atau Bikameral
DPD sebagai lembaga baru hasil perubahan UUD 1945 sebenarnya telah mengemuka usulannya mulai Perubahan Pertama UUD 1945 pada 1999 yang dikaitkan dengan keberadaan Utusan Daerah sebagai salah satu unsur dalam susunan keanggotaan MPR. Namun, masuknya ketentuan DPD dalam UUD 1945 baru dapat diputuskan pada Perubahan Ketiga UUD 1945.[59]
Berdasarkan risalah rapat-rapat PAH I MPR-RI diketahui bahwa proses pembentukan pasal-pasal yang mengatur tentang keberadaan DPD dalam UUD 1945 ternyata berjalan cukup alot dan membuat MPR terbelah ke dalam 2 (dua) kubu. Antara kubu kubu yang menginginkan DPD eksis berdampingan dengan DPR di parlemen (pro bikameral) dengan kubu yang menolaknya.
Kubu yang mengusulkan pembentukan DPD salah satunya adalah FPG. Theo Sambuaga mewakili fraksinya secara resmi mengusulkan sistem perwakilan dua kamar. Dua badan yang sama-sama seluruhnya dipilih oleh rakyat. Badan yang mewakili rakyat yaitu DPR dan badan yang mewakili daerah (DPD). DPR dan DPD sama-sama mempunyai fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Hanya untuk DPD fungsi legislasinya terbatas pada persetujuan ABPN dan RUU tentang otonomi daerah, fungsi legislasi selebihnya tetap berada ditangan DPR. Usulan itu didasarkan pada argumentasi agar peranan dan kepentingan daerah lebih dikedepankan untuk dapat seimbang di dalam menyuarakan aspirasi rakyat dalam setiap perumusan kebijaksanaan negara.[60]
Begitu pula dengan FPDIP, melalui Katin Subiyantoro menyatakan bahwa fraksinya-lah yang pertama mengusulkan agar Uturan Daerah ditingkatkan kedudukannya menjadi DPD yang seluruh keanggotaannya dipilih melalui pemilihan umum. Beberapa alasan yang dikemukakan Fraksi PDI Perjuangan antara lain: untuk mendukung pentingnya otonomi daerah dan tersalurnya kepentingan daerah dalam proses politik nasional; terbangunnya sistem checks and balances antara pemerintah pusat dengan daerah; mempertegas prinsip negara kesatuan dan prinsip kedaulatan rakyat (bukan wilayah), tidak mengulangi kesalahan pratik ketatanegaraan yang selama puluhan tahun telah menjadikan Utusan Daerah hanya sebagai pelengkap dalam sistem ketatanegaraan.[61]
Fraksi yang menolak keberadaan DPD sebagai lembaga baru untuk menghindari adanya 2 (dua) kamar adalah Fraksi TNI/Polri. Melalui Hendy Tjaswadi Fraksi TNI/Polri menyatakan secara tegas untuk tetap mempertahankan sistem unikameral. Argumentasi yang dikemukakan bahwa Fraksi TNI/Polri tetap berpegang teguh kepada Pembukaan UUD 1945 dalam alinea Keempat butir keempat. Karena jelas didalamnya dinyatakan bahwa kepemimpinan rakyat dilakukan secara perwakilan maka struktur legislatif tidak boleh diubah karena sudah benar adanya dimana MPR berfungsi sebagai majelis permusyawaratan dan DPR sebagai dewan perwakilan ditambah Utusan Daerah dan TNI/Polri yang diangkat.[62]
Fraksi lain yang menolak keberadaan DPD adalah Fraksi Partai Daulat Umat (FPDU). Melalui wakilnya Asnawi Latief ketidaksetujuan itu didasarkan pada komitmen awal semua fraksi bahwa MPR bukan membuat UUD baru, tetapi hanya mengubah dan menyempurnakan. Oleh karena itu FPDU tidak sepakat jika terdapat lembaga baru bernama DPD. FPDU lebih sepakat utusan daerah tetap ada di MPR namun tidak perlu dijadikan lembaga baru karena hal tersebut dinilai sama dengan membuat UUD baru.[63]
Dalam perkembangan pembicaraan dalam PAH I MPR berikutnya, melalui lobby dan kompromi politik[64], semua Fraksi pada akhirnya menyepakati DPD menjadi sebuah lembaga baru, namun tetap terbelah ke dalam 2 (dua) pendekatan yang berbeda. Kelompok pertama, dasar atau alasan pembentukan DPD berangkat dari konsep bikameral, dan kelompok kedua yang mendasarkan pembentukan DPD pada keseimbangan dan keadilan geografis dan realitas politik.[65] Terhadap adanya 2 (dua) pendekatan yang berbeda ini, F-PDIP sempat khawatir jika kelompok yang mengusung DPD melalui pendekatan konsep bikameral yang paling kuat akan mengarahkan fungsi DPD kepada strong bicameral yang menjadi ciri sistem federal selama ini, yang berarti berkhianat terhadap Pembukaan UUD 1945 yang telah menyatakan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah final.[66]
Kekhawatiran dari FPDI-P ini kemudian dijawab oleh FPG bahwa kekhawatiran DPD akan sejajar dengan prinsip federalisme adalah tidak benar. Menurut Theo Sambuaga mewakili FPG meyakinkan jika banyak negara didunia yang menganut negara kesatuan yang menganut prinsip dua kamar seperti Thailand, Philipina dan Jepang namun tetap berjalan secara baik dan demokratis tanpa harus mengubah bentuk negara kesatuan mereka. Untuk menjamin bahwa DPD tidak akan mengarah pada sistem federal, FPG meyakinkan bahwa keberadaan DPD tidak akan sejajar dengan DPR.[67]
Setelah melalui perdebatan sengit tentang posisi DPD dengan DPR akhirnya PAH I MPR menyepakati untuk memberikan fungsi legislasi terbatas pada DPD, dimana DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lain, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam hal fungsi pengawasan, DPD juga dibatasi untuk melakukan pengawasan yang hanya berkaitan atas pelaksanaan undang-undang yang berhubungan dengan urusan-urusan daerah sebagaimana fungsi legislasi yang terbatas pada dirinya.[68]
6.2 Benturan ideologi dan Politik Aliran dalam Rencana Perubahan Pasal 29 UUD 1945
Benturan ideologis dan berbau SARA dalam proses Perubahan UUD 1945 sempat kembali mencuat sebagaimana yang pernah terjadi pada sidang-sidang Dewan Konstituante dulu. Benturan tersebut menguat di Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 ketika MPR mengagendakan Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap hasil Rancangan BP MPR khususnya tentang agama yang tercantum di dalam Pasal 29 UUD 1945. Isi rancangan tersebut tertuang dalam lampiran TAP MPR Nomor XI/MPR/ 2001 yang isinya memberikan 4 (empat) alternatif rancangan Pasal 29 ayat (1) yaitu:
Alternatif 1 : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Tetap).
Alternatif 2 : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Alternatif 3 : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya.
Alternatif 4 : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang tersebut, MPR terpolar ke dalam 2 (dua) kubu, yaitu kubu yang tetap menginginkan Pasal 29 tidak diubah (alternatif pertama) yang terdiri dari F-PDIP, dan F-PG dan FUG, dan kubu yang menginginkan “7 kata” dalam Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam rumusan Pasal 29 (alternatif kedua) yang terdiri dari FPPP dan FPBB. Ditengahi oleh kubu yang sedikit soft namun lebih condong ke FPPP dan FPBB yang menawarkan kompromi tetap memasukkan “7 kata” namun kalimat “syariat Islam” diganti “ajaran agama” yang dimotori Fraksi Reformasi (PAN dan PK).
FPPP melalui Zainuddin Islam menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 sebenarnya adalah Piagam Jakarta yang pada saat terakhir penyusunan dan pengesahan UUD oleh PPKI direvisi dengan menghilangkan “7 kata” dibelakang kata Ketuhanan, oleh karena itu “7 kata” tersebut harus dikembalikan (dimasukkan) ke dalam Pasal 29 UUD 1945. FPPP meyakinkan bahwa pemuatan “7 kata” tersebut sama sekali tidak berarti telah terbentuk negara Islam. Hal itu hanya berarti bahwa hukum Islam berlaku bagi umat Islam sebagaimana halnya politik hukum Hindia Belanda tahun 1929 yang pernah mengakui keberadaan hukum Islam.[69]
Senada dengan FPPP, FPBB juga menginginkan dimasukkannya “7 kata” dengan alasan yang sedikit berbeda. Alasan yang dipergunakan dengan mengutip konsideran Dekrit yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UUD 1945, sehingga sudah sewajarnya “7 kata” yang terdapat dalam Piagam Jakarta dimuat kembali di Pasal 29 UUD 1945. FPBB menyatakan bahwa tidak ada maksud untuk memberlakukan syariat Islam kepada non muslim dan tidak ada maksud menyingkirkan agama-agama lainnya. FPBB menjamin kebebasan agama lain untuk hidup dan bebas menjalankan ajarannya di Indonesia karena syariat Islam pun menjaminnya.[70]
F-PDIP melalui wakilnya Soetjipto menyatakan bahwa rumusan Pasal 29 dalam UUD 1945 merupakan kesepakatan bangsa yang amat fundamental secara makna, dan amanat monumental dalam kedudukannya sebagai pusat keseimbangan sebagai bangsa. Tanpa keseimbangan, maka Bhinneka Tunggal Ika dipastikan akan berakhir, karenanya bagi F-PDIP rumusan Pasal 29 itu tidak perlu diubah.[71] Sementara F-PG melalui Hajriyanto Y. Thohari menyatakan bahwa kalimat tegas “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan sekaligus menegaskan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, tiap agama hidup berdampingan dan saling menghormati, sehingga Pasal 29 ayat (1) sudah benar dan tidak perlu diubah.[72] Fraksi UG melalui Valina Singka Subekti menegaskan bahwa Pasal 29 tidak boleh diubah karena merupakan jantungnya UUD 1945. Di dalam pembukaan tegas dinyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa karena itu harus ditegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar dari Negara Republik Indonesia.[73]
FPKB melalui Ali Masskur Musa juga menegasakan bahwa Pasal 29 merupakan kesepakatan bersama antara the founding fathers dalam rangka mewujudkan kebersamaan dan mempertahankan NKRI sehingga harus dipertahankan.[74] FPDKB bahkan lebih keras, melalui Tunggul Sirait secara tegas menyatakan mengubah Pembukaan atau memasukkan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang muatannya mengingkari isi, jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan NKRI.[75]
Sementara Fraksi Reformasi (terdiri dari PAN dan PK) mencoba untuk lebih bersikap moderat dengan memberi jalan tengah. Menurutnya tuntutan memasukkan “7 kata” Piagam Jakarta adalah wajar karena dari sejarahnya para pendiri bangsa kagum atas keluruhan budi pekerti dan kemuliaan akhlak yang didasarkan pada kesalehan individual dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Oleh karena itu F-Reformasi memberikan alternatif ketiga yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya.[76]
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya pada Rapat Paripurna ke-6 MPR Lanjutan ke-2 ST MPR, 10 Agustus 2002 dapat diakhiri tanpa harus melalui voting. Akhir perdebatan tersebut dilakukan dengan mundurnya FPPP dan FPBB untuk tidak ikut mengambil keputusan untuk menetapkan Pasal 29 sesuai dengan aslinya.
Benturan yang terjadi antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis ini sebenarnya mengingatkan kita pada perdebatan di tubuh konstituante puluhan tahun lalu. Sebelum dibubarkan oleh Presiden Soekarno, Konstituante sebenarnya telah menyelesaikan 90 persen agenda tugasnya kecuali satu hal yaitu menetapkan pilihan atas dua anutan ideologi dasar: Pancasila atau Islam. Lima persyaratan telah disepakati: berkepribadian Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945, musyawarah sebagai dasar penyelesaian segala persoalan negara, terjaminnya kebebasan beragama, serta jaminan sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang luas dan keadilan sosial.[77]
Berdasarkan risalah rapat-rapat Dewan Konstituante, rangkaian debat di Konstituante jauh lebih tajam daripada perdebatan ST MPR dan Sidang PAH I BP MPR 200-2002. Menurut catatan risalah, perdebatan yang berlangsung kerapkali panas karena dibumbui kata-kata pedas yang menyerang pribadi dan mengarah SARA. PM Juanda dalam kesempatan memberikan jawaban pemerintah, misalnya, tak mau menanggapi ejekan seorang anggota yang dikatakannya bersifat persoonlijk dan provokatif. Anggota Asmara Hadi dari fraksi GPPS (Gerakan Pembela Pancasila) berkata:
Dari golongan Islam sudah keluar kata-kata ‘kami tak takut’. Juga dari golongan pendukung Pancasila ada keluar kata-kata ‘kami tak takut’. Kalau kita terus menerus begini saling panas, saling ejek, saling lempari dengan lumpur, ke mana kita sampai?
“Kita di sini bisa berdebat berpanas-panasan, kita tidak akan berkelahi, sebab kita berpikiran panjang dan sesudah berdebat kita akan bersama-sama minum kopi di restoran. Tapi bagaimana kalau rakyat di luar gedung Konstituante ini karena terseret akan kata-kata yang kita ucapkan di sini, ikut memperdebatkan pula apa yang kita perdebatkan di sini? Rakyat yang kurang panjang pikirannya. Kalau mereka karena panas hati lalu mencabut golok, maka kalau ada darah yang tertumpah, kitalah yang bertanggung jawab, kitalah yang bersalah.”[78]
Benturan antara blok Islam dan blok Pancasila akhirnya coba diakhiri oleh Bung Karno untuk kembali ke UUD 1945 melalui pidatonya "Respublica, Sekali Lagi Respublica" di depan sidang Konstituante. Namun sayang ajakan tersebut tidak meredakan benturan karena hanya disetujui oleh kelompok (blok ) Pancasila yang terdiri dari fraksi-fraksi nasionalis, partai-partai agama non-Islam, sosialis, komunis, golongan dan perorangan non partai. Sementara fraksi-fraksi Islam hanya mau kembali ke UUD 1945 jika sebelumnya diamandemen terlebih dahulu. Amandemen yang dikehendaki fraksi-fraksi Islam adalah masuknya “7 kata” dalam Piagam Jakarta di Pembukaan dan di pasal 29 UUD 1945.[79]
Karena musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, akhirnya dilakukan voting. Voting pertama (Jumat 29 Mei 1959) adalah untuk "setuju" atau "tidak" terhadap UUD 1945 dengan amandemen yang diusulkan blok Islam. Hasil pemungutan suara dari 470 anggota yang hadir adalah 201 setuju lawan 265 tidak setuju (empat anggota abstein). [80]
Karena rancangan UUD harus didukung oleh 2/3 suara, usulan amandemen dari fraksi Islam gagal. Nasib serupa dialami oleh pendukung UUD 1945 yang tanpa perubahan. Tiga hari untuk tiga kali pemungutan suara atas usulan ini juga tak cukup memenuhi kuorum 2/3 suara. Hasilnya: (Sabtu 30 Mei 1959), 269 setuju lawan 199 tidak setuju; Senin 1 Juni 1959, 264 setuju dan 204 menolak; Selasa 2 Juni 1959, 263 setuju dan 203 menolak. Suara yang diperlukan untuk memenangkan tiga kali voting itu adalah 316, 313, 312. [81]
Rapat yang menentukan nasib UUD 1945 itu ditutup 2 Juni 1959 pukul 12.21. Itulah menit terakhir dari nafas Konstituante yang telah berupaya keras selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan 2 (dua) hari untuk menyelaraskan pandangan bangsa ini tentang dasar negaranya, namun sia-sia. Pada 5 Juli 1959 akhirnya Presiden Sukarno guna menghentikan perpecahan yang telah mengarah pada SARA dan perpecahan bangsa segera mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 dengan model kepemimpinan “Demokrasi Terpimpin”, dengan ciri setiap musyawarah yang tidak mencapai mufakat harus diserahkan kepada Presiden selaku Pemimpin Besar Revolusi demi penyelamatan persatuan bangsa dan jalannya revolusi Indonesia.[82]
7. Penutup
Dengan melihat sejarah perjalanan konstitusi Indonesia bahwa dinamika politik yang mengiringi setiap pembuatan maupun perubahan konstitusi ternyata tidak bisa dilepaskan dari aliran-aliran politik maupun ideologi yang berkembang di Indonesia. Sebagaimana yang diutarakan Elster dan Slagstad dengan mengutip teori umum tentang konstitusionalisme Colhoun bahwa konstitusi memang merupakan produk politik yang dihasilkan dari proses tawar-menawar (bargains). Perbedaannya jika Colhoun lebih meyakini konstitusi lahir dari konflik kepentingan antar kelas[83], di Indonesia lebih pada benturan paradigma yang bersumber dari nilai-nilai ideologi dan agama. Hal ini terlihat dari perdebatan yang muncul dalam 2 (dua) isu perubahan terakhir tentang DPD dan agama.
Perdebatan tentang DPD memunculkan konflik antara kelompok yang membawa paradigma negara kesatuan yang meyakini sistem unikameral sebagai satu-satunya yang cocok melawan kelompok yang membawa konsep bikameral yang dicurigai membawa paradigma federalisme. Sementara perdebatan tentang agama memunculkan konflik antara kelompok Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam bagi umat Islam di Indonesia melawan kelompok nasionalis yang khawatir dan curiga akan terbentuknya negara Islam di Indonesia yang akan menyingkirkan agama-agama lainnya.
Benturan ideologi dan politik aliran yang sempat mewarnai pembahasan Perubahan UUD 1945 di tubuh MPR secara tidak langsung juga membuktikan teori Eric Barendt yang menyatakan bahwa ke-rigid-an suatu konstitusi (dalam konteks sulit tidaknya untuk diubah) sebenarnya tidak ditentukan oleh mekanisme perubahan konstitusi itu sendiri, atau paling tidak mekanisme perubahan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi rigid tidaknya suatu konstitusi. Lebih daripada itu, konflik-konflik kepentingan (konflik politik) juga menjadi faktor penentu sulit tidaknya suatu konstitusi diubah. Semakin tinggi konflik politik yang terjadi semakin sulit pula suatu konstitusi diubah sebagaimana upaya perubahan Pasal 29 UUD 1945.
Namun semua proses dan hasil Perubahan UUD 1945 tersebut tetaplah akan kembali kepada rakyat. Rakyatlah yang akan menilanya. Sebagaimana pendapat Kelsen, setiap konstitusi berikut perubahannya akan tetap dinyatakan sah (berlaku) selama rakyat menerimanya terlepas dari faktor-faktor politik (kompromi, bargains, dan lain-lain) yang melatarbelakangi perubahannya.
[1] Stephen Holmes, 1995, Constitutionalism, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, (Washington : Congressional Quarterly Inc.), hal. 299-306.
[2] Eric Barendt, 1998, An Introduction to Constitutional Law, (New York : Oxford University Press), hal. 14.
[3] Soetandyo dalam Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan (Bandung : Rineka Cipta), hlm 145.
[4] Carl J. Friedrich dalam Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia) hal. 57.
[5] K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, (London : Oxford University Press), hal. 1.
[6] S.A. de Smith, 1973, Constitutional and Administrative Law, (Middlesex : Penguin Education), hal. 17-18.
[7] Eric Barendt. Op. Cit. hal. 1.
[8] Moh.Mahfud, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Bandung: Rineka Cipta, Edisi Revisi, hal. 72.
[9] Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State (New York : Russel and Russel), hal 114.
[10] Selain Kelsen, juga terdapat beberapa teori hirarki norma hukum lainnya yaitu: Kisch, Adolf Merkl dan Hans Nawiasky. Hirarkhi norma Kisch diawali dari: abstracte norm ç generalle norm atau tussen norm ç concreto norm atau casus norm. Sementara Adolf Merkl, hirarki norma hukumnya diawali dari: cita hukum ç kategori hukum ç pengertian-pengertian hukum ç tata hukum. Dan yang paling lengkap adalah Hans Nawiasky yang menyusun hirarkhi norma mulai dari: staatsfundamental norm ç staats grundgesetz ç formeel gesetz ç verordnung ç autonome satzung.[10] Dari ketiga teori tersebut pada prinsipnya sama bahwa norma yang lebih rendah harus bersumber dan berdasar kepada norma yang lebih tinggi. (dikutip dari Catatan Perkuliahan Politik Hukum oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.) Pemikiran Kelsen sebenarnya diilhami Adolf Merkl (murid Hans Kelsen) yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das dppelte rechtsantlitz). Suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtkarcht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apablia norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula. Lihat Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Dikembangkan dari Perkuliahan Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH (Kanisius, Jakarta: 2007), hal.43
[11] Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Setjen Mahkamah Konstitusi republik Indonesia), hal.19
[12] John Locke, 1952,The Second Treatise of Government (Indianapolis : The Liberal Arts Press, Inc) Pasal 96, hal. 55.
[13] John Alder, 1989, Constitutionalism and Administrative Law (London : Macmillan Professional Master), hal. 39-40.
[14] William G. Andrews, 1968, Constitutional and Constitutionalism, Third Edition (Nes Jersey: Van Nostrand Company), hal.9
[15] Jon Elster and Rune Slagstad, eds, 1997, Constitutionalism and Democracy (Cambridge : Cambridge University Press), hal. 209. Dinyatakan bahwa: majoritarianism is thus inherently paradoxical. Its escapes inconsistency only because consent can be aimed at different targets. Even if they do not consent directly to the decisions being made, members of an outvoted minority can consent to the procedures by which that decision was reached and even bind themselver indirectly to abid by whatever outcome the accepted procedure produces. But the difficulty here cannot be so easily dismissed. Why do minorities accept majority rule? without a minority’s acquiescence in decisions which its members, by definition, dislike, democracy would be impossible. But how is a minority’s acquiescence politically guaranteed? One answer is offered by the theory of “multiple membership”. If every individual belongs to several groups at once, then most citizens will be aligned with both majority and miniority coalitions of different questions. Outvoted on issue citizens will have good self-regarding reason to accept an unwanted decision: in other circumstances they, too, will benefit from majority rule. Contrariwise, members of an obviously temporary majority will b inspired to display self restraint.
[16] Ibid. hal 211.
[17] Ibid.
[18] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. Hal 6.
[19] Ibid.
[20] Moh.Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media) hlm 17
[21] Hans Kelsen, Op. Cit. hal 120,
[22] Wheare, op.cit., hal. 14-16.
[23] Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung : Penerbit Alumni), hal. 133-134.
[24] C.F. Strong, 1952, Modern Political Constitutions, (London : Sidgwick & Jackson), hal. 146-148
[25] Arend Lijphart, 1984, Democracies : Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, (New Haven and London : Yale University Press), hal. 189-191). Lipjhart menyatakan bahwa: Constitutional amendment may take many different forms, but this variety can be reduced to three basic types. Changes in constitutions may have to be approved by special majorities, by a popular referendum, or merely by a regular parliamentary majority. 1. The type of rule for constitutional amendment that conforms most closely to the consensus model of democracy is the requirement of approval by a special majority –which entails the right of a minority of a given minimum size to exercise a veto power. The simplest and most common procedure oembodying the minority veto is the need for an extraordinary majority –usually two-thirds- in parliament. Approval by majority vote in both houses of incongruenty bicameral parliaments also implies a minority veto, since certain minorities are overrepresented in the second chamber. 2. The second type of rule for constitutional change is approval by a national referendum. It could be argued that, unless a special majority of the voters have to give their approval, a referendum is merely a majoritarian instrument: the majority ini parliament proposes an amendment, which is then accepted by a popular majority This interpretation overlooks the possibility offered by a referendum that a commited minority may organize a strong campaign against the amendment. Hence, it seems justified to assign the requirement of a referendum to an intermendiate category between the more majoritarian and more consensual types of amendment rules. 3. The remaining five contries belong the category of pure majority rule: their constitutions are completely flexible and can be changed by normal parliamentary majorities. The three regimes with unwritten constitutions automatically qualify for this type.
[26] Mohammad Fajrul Falaakh, 2002, Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2, hal. 188-201.
[27] Jon Elster and Rune Slagstad. Loc. Cit.
[28] Eric Barendt. Loc. Cit.
[29] Hans Kelsen, Op. Cit. hal. 120, dijelaskan Kelsen bahwa if they succeed, if the old order ceases, and the new ordr begins to be efficacious, because the individuals whose behavior the nuew order regulates actually behave, by and large,in comformity with the new ordr, then this order is considered as a valid order… If the revolutionaries fail, if the order they have tried to establish remains inefficacious, then, on the other hand, their undertaking is interpreted, not as a legal, a law-crating act, as the crime of treason, and this according to the old monarchic constitution and its specific basic norm.
[30] Donald P. Kommers, 1999, German Constitutionalism: A Prolegomenon, Emory Law Journal (Vol. 40, No.3 Summer). hal. 115, diterangkan bahwa in the German constitutionalist view, accepted and propagated by the Constitutional Court itself, any constitutional amendment conflicting with the core values or spirit of the Basic Law as a whole would itself be unconstitutional.
[31] Saldi Isra, 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi : Memastikan Arah Reformasi Konstitusi, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2, hal. 233-245. Perdebatan tentang perlunya pembentukan Komisi Konstitusi Independen, lihat : Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (eds.), 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan).
[32] Philippe Nonet and Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responseve Law (New York : Harper & Row) hal. 69 – 113.
[33] Tentang pembentukan Komisi Konstitusi, tugas, wewenang dan hasil kerjanya, lihat : Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, (Jakarta : Grafitri Budi Utami), terutama bab Konstitusi Memasuki Era Reformasi, hal. 152-162, dan Hasil Kerja Komisi Konstitusi, hal. 163-303.
[34] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat, (Jakarta: Sekretaris Jenderal MPR RI), hal. 4
[35] Harun Alrasid, 2007, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR (Jakarta: Universitas Indonesia Press), hal.146-147.
[36] Ibid.
[37] Sri Soemantri, 1999, Sistem Perubahan Konstitusi dan Konsekuensi Penerapannya di Indonesia, Makalah Seminar Nasional Hukum VIII, hal. 15-16.
[38] Dalam lintas sejarahnya, peraturan yang mengatur secara khusus hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia telah berubah sebanyak 4 (empat) kali. Hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia pertama kali disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan Oleh Pemerintah Pusat. Hirarkinya adalah:
- Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Menteri.
Hirarki peraturan perundang-undangan ini kemudian diubah melalui Ketetapan (TAP) MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia . Hirarkinya:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Keputusan Presiden;
- Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti: Peraturan Menteri, Instruksi Menteri; dan lain-lainnya.
Hirarki peraturan perundang-undangan ini kemudian kembali diubah pada tahun 2000 melalui Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Hirarkinya adalah:
- Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ;
- Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Keputusan Presiden;
- Peraturan Daerah.
Empat tahun kemudian, hirarki ini kembali diubah melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.10 Tahun 2004). Hirarkinya adalah sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah
[39] Wheare, Op.Cit., hal. 16-19
[40] Barendt. Op Cit. hal 115. Barendt menyatakan: There are two reasons why distinction between flexible and rigid constitions is now rather unhelpful. First, the group of flexible constitutions, those that can be amended by ordinary legislative procedure, is fo too small: it may comprise now only the UK and New Zeland. Secondly, the distinction is mislieading, in so far as it is impossible or very difficult amend. In fact this varies considerably from one constitution to another.
[41] Hans Kelsens, Op. Cit. Kelsen menyatakan: if the is a constitutional form, then constitutional laws must be distinguished from ordinary laws. The difference consists is that the creation, and that means enactment, amendment, annulment, of ocnstituional laws is more difficult than that of ordinary laws. There exsis a special procedure, a special form for the creation of constitutional laws, different from the procedure ofr the creation of ordinary laws. Such a special form for constituonal laws, a constitutional form, or constitution in the formal sense of the term, is not indispensable, whereas the material constitution, that is to sya norms regulating the creation of general norms and –in modern law- norms determining the organs and procedure of legislation, is an essential element of every legal order. A constitution in the formal sense, especially provisions by which change of the constitution is made more difficult than the change of ordinary laws, is possible only if there is a written constitution if the constitution has the character of statutory law.
[42] Astin Riyanto, 2006, Teori Konstitusi (Bandung: Yapemdo), hal.593.
[43] Ellydar Chaidir, 2007, Hukum dan Teori Konstitusi (Yogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta), hal.69.
[44] Lihat: TAP MPR No. IV/MPR/1983 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
[45] Astin Riyanto, Op. Cit.
[46] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku I, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), hal.54
[47] Ibid.
[48] Ibid. hal 57-58.
[49] Ibid. hal 60-61.
[50] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia , Op. Cit.
[51] Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, (Jakarta : Grafitri Budi Utami), hal. 59-60 dan 153.
[52] Jimly Asshiddiqie, 2006, Op. Cit, terutama bab “Konstitusi Indonesia Dari Masa Ke Masa”, hal. 35-62. Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, (Jakarta : Grafitri Budi Utami), terutama bab “Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”, hal. 51-151.
[53] Pembahasan tentang perubahan format kenegaraan sebelum dan setelah perubahan UUD 1945, dapat dibaca : Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Cet. Ke-2, (Yogyakarta : FH UII Press), terutama bab “Organ Negara dan Pergeseran-Pergeseran Kekuasaan”, hal. 33-95.
[54] Afan Gaffar, 2002, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Perubahan Kelembagaan, dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim (eds.), 2002, Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia , (Jakarta : AIPI), hal. 435-439.
[55] I Made Leo Wiratma, 2002, Mendung Menyelimuti Reformasi Konstitusi : April-Juni 2002, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2, hal. 144-145.
[56] Ramlan Surbakti, 2002, Perubahan UUD 1945 Dalam Perspektif Politik, dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim (eds.), 2002, Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia , (Jakarta : AIPI), hal. 485-493.
[57] Leo Agustino, 2002, Pemilihan Presiden Secara Langsung Untuk Indonesia, Analisis CSIS, No. 2, Tahun XXXI/2002, hal. 249.
[58] 7 kata yang dimaksud dalam Piagam Jakarta adalah sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalimat tersebut menempel pada sila Pertama dalam Piagam Jakarta, namun dalam rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus kalimat tersebut dicoret karena tersiar kabar bahwa rakyat Kristen di wilayah Indonesia bagian timur akan menolak bergabung ke dalam Republik Indonesia. Dalam menanggapi keberatan trsebut, Moh. Hatta mengumpulkan beberapa wakil golongan Islam yang duduk di PPKI, yakni Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasma Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan untuk membicarakan persoalan tersebut. Dalam pembicaraan formal itu wakil-wakil golongan Islam dengan ikhlas merelakan beberapa perubahan de3mi persatuan kesatuan. Lihat buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Tintamas, Jakarta: 1970).
[59] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku III, Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan, Jilid 2, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), hal. 619
[60] Ibid. hal.636
[61] Ibid. hal.730
[62] Ibid. hal.638
[63] Ibid. hal.646
[64] Pataniari Siahaan dari F-PDIP secara tegas mengakui bahwa pada dasarnya rancangan pasal-pasal yang mengatur tentang kelembagaan DPD yang ditelah disusun PAH I merupakan hasil kompromi politik sebelas fraksi. (Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Ibid. hal. 724)
[65] Adanya 2 (dua) pendekatan yang berbeda ini disampaikan Pataniari Siahaan ketika menanggapi penjelasan Tim Ahli Jimly Asshiddiqie dalam rapat PAH I BP MPR (lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Ibid. hal 698).
[66] Ibid. hal 709
[67] Ibid. hal.770 - 701
[68] Ibid. hal 781-784
[69] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VIII, Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), hal. 287-289.
[70] Ibid. hal.291-292.
[71] Ibid. hal.285-286
[72] Ibd. Hal.286
[73] Ibid. hal. 286-287
[74] Ibid. hal. 290
[75] Ibid. hal.293
[77] Benturan dan Bubaran Konstituante (disarikan dari Risalah-risalah Perundingan Konstituante (Bandung : Masa Baru tanpa tahun) dalam http://diskusia.multiply.com/journal/ item/9/Benturan_dan_Bubaran_Konstituante
Sangat jelas dan lengkap, thanks ya
BalasHapusBagi yang memiliki online shop dan ingin membuat website toko online lengkap, desain menarik, gratis penyebaran, SEO, Backlink, agar usaha nya mudah ditemukan banyak pembeli di internet, sehingga bisa meningkatkan penjualan, klik ya.. Jasa Pembuatan Website Toko Online Murah
Pusat Penjualan Hijab Jilbab Kerudung Terbaru harga termurah di Indonsia : Grosir Jilbab Murah di Indonesia.