Rabu, 04 Agustus 2010

Menyoal Threshold Indonesia Ke Depan

Sebagaimana diketahui, sejak Pemilu 2009 Indonesia mengenal 2 (dua) ambang batas (threshold) yaitu ambang batas perolehan suara untuk mengikuti pemilu berikutnya (electoral threshold) dan ambang batas perolehan suara untuk mengikuti penghitungan perolehan kursi (parliamentary threshold). Di negara lain, ketentuan ambang batas yang diterapkan biasanya hanya satu, yaitu ambang batas penghitungan perolehan kursi yang dikenal dengan istilah electoral threshold. Sementara istilah parliamentary threshold tidak dikenal (asing) di dalam literatur-literatur pemilu, dan sepertinya baru digunakan (diperkenalkan) di Indonesia.  Penggunaan istilah parliamentary threshold di Indonesia sebenarnya berangkat dari UU No.12 Tahun 2003 ketika Indonesia menerapkan pertama kali ambang batas boleh tidaknya suatu parpol mengikuti Pemilu (2004). Untuk mengartikan ambang batas ini digunakanlah istilah electoral threshold yang sebenarnya tidak tepat karena electoral threshold sebenarnya digunakan untuk mendefinisikan ambang batas penghitungan kursi di parlemen. Namun karena telah lazim, walaupun sebenarnya kurang tepat, istilah electoral threshold ini tetap digunakan. Kemudian pada pemilu 2009 Indonesia Indonesia akhirnya menerapkan aturan electoral threshold dalam arti yang sebenarnya, yaitu ambang batas penghitungan kursi. Karena istilah electoral threshold telah terlanjur digunakan untuk mendefinisikan ambang batas kepesertaan dalam pemilu, akhirnya kemudian dimunculkan istilah baru untuk mengganti istilah electoral threshold yang terlanjur digunakan, istilah baru tersebut adalah parliamentary threshold.


Threshold dipraktikkan di negara-negara yang sistem kepartaiannya menganut sistem multi partai (multi-party) dan sistem pemilunya menganut sistem proportional representation dan campuran. Tujuan penerapan threshold di semua negara rata-rata hampir sama yaitu untuk mengendalikan dan menyederhanakan sistem multi partai menuju kepada demokratisasi yang lebih berkualitas. Bahkan Indonesia, dengan sistem multi partainya yang telah mengarah kepada sistem “ultra multi partai” telah menerapkan dua threshold yaitu electoral threshold dan parliamentary threshold untuk menjaga kualitas demokrasi yang diharapkan.

Dari beberapa catatan dan literatur tentang pemilu berbagai negara paling tidak saat ini terdapat 35 negara (baik yang menggunakan sistem pemilu proportional representation atau campuran) yang menerapkan threshold khususnya dalam menentukan ambang batas perolehan suara untuk mengikuti penghitungan perolehan kursi. Negara-negara tersebut antara lain: Albania (3%), Aljazair (5%), Argentina (3%), Armenia (5%), Austria (4%), Bulgaria (4%), Burundi (2%), Kroasia (5%), Siprus (1,8%), Denmark (2%), Estonia (5%), Jerman (5%), Hongaria (5%), Islandia (5%), Israel (2%), Italia (4%), Latvia (5%), Lithuania (5%), Moldova (6%), Montenegro (3%), Mozambik (5%), Selandia Baru (5%), Palestina (2%), Filipina (2%), Rumania (5%), Rusia (7%), Rwanda (5%), Serbia (5%), Slovakia (5%), Slovenia (4%), Spanyol (3%), Swedia (4%), Taiwan (5%), Turki (10%), Ukraina (3%) dan tentu saja Indonesia (2,5%).

Berdasarkan data diatas, prosentase ambang batas yang ditetapkan antara satu negara dengan negara lainnya berbeda-beda mengikuti dinamika politik internal masing-masing negara. Kisaran prosentase minimal berkisar antara 1-10%. Bahkan dalam negara tertentu penetapan prosentase ambang batas juga cenderung berubah (tidak ajeg) karena tingginya dinamika politik di negara bersangkutan. Israel misalnya, awalnya dalam Pemilu 1992 ambang batas yang ditetapkan adalah 1%, kemudian berubah menjadi 2% dalam Pemilu berikutnya. Begitu pula dengan Indonesia, dalam Pemilu 1999 ambang batas perolehan suara ditetapkan 2%[1], kemudian dalam Pemilu 2004 dinaikkan menjadi 2,5%[2]. Dalam Pemilu 2009 syarat untuk mengikuti Pemilu prosentase ambang batasnya tetap 3 % ditambah parpol yang memiliki kursi di DPR periode 2004-2009[3].
           
Jika menyoal berapa angka prosentase paling ideal untuk menetapkan suatu threshold memang tidak ada ukuran bakunya. Praktik penetapan electoral threshold di hampir semua negara cenderung didasarkan pada konsensus politik yang didasarkan pada komitmen penyederhanaan partai di kursi parlemen. Dengan eletoral threshold maka kursi-kursi parlemen hanya akan diisi oleh partai yang memiliki representasi legitimate saja dengan ukuran electoral threshold. Dengan demikian parlemen tidak akan terpecah-pecah ke dalam faksi-faksi kecil yang bersifat fragmentatif dan kontraproduktif.
           
Aturan electoral threshold ini memang cukup efektif dalam upaya membangun masa depan kepartaian yang lebih kuat dan sederhana. Namun jika penetapan electoral threshold hanya didasarkan pada konsensus politik partai-partai besar belaka, tanpa diikuti pertimbangan dinamika dan realitas politik di dalam masyarakat dapat berakibat rendahnya derajat keterwakilan suara rakyat di parlemen. Contoh kasus dalam Pemilu Rusia tahun 1998, ambang batas 7 % yang diterapkan ditengah kuatnya politik aliran yang melahirkan ratusan partai baru telah berakibat 45% suara rakyat tidak terwakili di parlemen. Begitu pula dengan Ukraina, walaupun ambang batas di negara tersebut lebih rendah yaitu 3% namun telah membawa konsekuensi 22% suara rakyat tak terwakili.

Kasus yang paling mencolok adalah Turki karena  ambang batas yang ditetapkan di negara tersebut paling tinggi sebesar 10%. Tingginya ambang batas itu didasarkan pada fragmentasi politik internal Turki yang tak berkesudahan dari tahun 1960-an, sehingga ambang batas itu kemudian dibuat tinggi menjadi 10% dalam Pemilu 2002. Namun sayangnya aturan ambang batas tersebut ternyata tidak menghentikan fragmentasi politik yang terjadi, akibatnya dalam Pemilu 2002 sebanyak 45% suara rakyat harus lenyap tak terwakili di parlemen.

Besarnya potensi hilangnya suara karena penerapan threshold memang disadari oleh hampir semua negara. Oleh karena itu rata-rata negara yang menerapkan threshold dalam menentukan prosentasenya selalu memilih berada dalam angka aman (kecil) berkisar antara 1-5% (kecuali Turki dan Rusia). Bahkan Majelis Parlemen-Parlemen Eropa sempat membuat kesepakatan bersama untuk memberikan batasan threshold maksimal 3% untuk meminimalisasi hilangnya suara pemilih di masing-masing negara.

Selain berpotensi hangusnya suara dalam jumlah besar, threshold juga cenderung menutup peluang bagi parpol-parpol kecil untuk mendapatkan kursi di parlemen sehingga seringkali penerapan threshold tersebut ditentang oleh banyak partai kecil. Oleh karena itu beberapa negara mencoba memberikan solusi dengan cara membuat dua aturan threshold yaitu threshold bagi partai dan threshold bagi koalisi partai. Negara-negara tersebut antara lain Albania, Hongaria, Italia, Rumania dan Slovakia. Di Albania jika suatu partai perolehan suaranya tidak mencapai threshold 3% diperbolehkan berkoalisi dengan partai lain, threshold koalisi partai yang ditentukan adalah 5%. Di hongaria, threshold  partai 5% dan  threshold koalisi partai 10%. Sementara Italia, threshold partai 4% dan threshold koalisi partai 10%. Untuk Rumania threshold partai 5% dan threshold koalisi partai 8-10%, dan Slovakia treshold partai 5% dan treshold koalisi partai sebesar 7%.

Disamping itu pemberlakuan threshold juga dinilai tidak mengakomodir keterwakilan kelompok minoritas di parlemen. Oleh karena itu, agar threshold tidak sampai mengakibatkan hilangnya suara minoritas (etnis, agama, gender, fungsional, dll) beberapa negara juga memberikan threshold khusus minoritas. Seperti negara Serbia misalnya, syarat threshold partai ditetapkan 5%, namun khusus untuk kelompok minoritas threshold-nya dibuat lebih kecil yaitu 0,4%. Agak berbeda dengan Serbia, Italia dalam upaya mengakomodasi kepentingan kelompok minoritas menggunakan local threshold 20%, dimana kelompok minoritas tetap dapat diloloskan dari threshold dengan syarat di satu distrik bisa memperoleh suara 20% dari total suara distrik.
Selain Serbia dan Italia, Selandia Baru, Rumania dan Jerman juga menerapkan threshold khusus dengan tujuan untuk mengakomodir minoritas namun dengan cara yang berbeda. Perbedaannya, jika batasan threshold minoritas Serbia dan Italia dilakukan dengan cara mengecilkan prosentase threshold atau membuat local threshold, di Selandia Baru, Rumania dan Jerman dilakukan dengan cara membuat ambang batas perolehan kursi. Penggantian threshold minoritas dari prosentase ke kursi di ketiga negara tersebut memang sangat dimungkinan karena ketiganya menggunakan sistem pemilu campuran (menggunakan mix member proportional) yang memadukan sistem proporsional (proportional-party list) dan sistem distrik (first past the post).

Ambang batas perolehan kursi di ketiga negara tersebut berbeda-beda. Rumania misalnya, syaratnya minimal harus memperoleh 8 kursi (wakil distrik) jika tidak lolos threshold 5% suara nasional. Sementara Jerman 3 wakil distrik jika tidak lolos threshold 5% suara nasional. Yang paling ringan adalah Selandia Baru karena cukup memperoleh 1 wakil distrik jika tidak lolos threshold 5% suara nasional.

Berbagai cara untuk meminimalisasi hilangnya suara rakyat akibat threshold di beberapa negara diatas cukup urgen dan menarik dikaji khususnya dalam membangun threshold Pemilu Indonesia ke depan. Paling tidak langkah-langkah modifikasi threshold dengan cara membuat threshold khusus koalisi, threshold khusus minoritas atau threshold perolehan kursi bagi negara penganut sistem pemilu campuran, sedikit banyak dapat membantu memberikan gambaran threshold paling ideal bagi Indonesia kedepan.


[1] Pasal 39 ayat (3) UU No.3 Tahun 1999: Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya. Partai Politik harus memiliki sebanyak 2 % (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah propinsi dan di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasi) Pemilihan Umum.
[2] Pasal 9 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003: Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus:
a.        memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR;
b.        memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
c.        memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
[3] UU No.10 Tahun 2008, Pasal 315: Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 316 huruf d: Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan: memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004.
 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar