Berdasarkan Black’s Law Dictionary, kedaulatan (souvereignty) diartikan sebagai supreme dominion, authority, or rule.[1] Jika didasarkan pada literatur hukum internasional, sebagaimana yang diutarakan Cynthia Weber, konsep kedaulatan (sovereignty) sebenarnya tidak memiliki kejelasan definisi, namun semua pengertian mengenai kedaulatan umumnya merujuk kepada kehidupan kenegaraan (statehood). Secara umum, pengertian kedaulatan biasanya dikaitkan dengan kekuasaan negara terhadap suatu wilayah dan masyarakat, serta relasi antar satu negara dengan negara lainnya.[2]
Dari pendekatan Cynthia Weber tersebut terlihat kedaulatan memiliki dua sisi pengertian, internal (penguasaan negara atas wilayah dan masyarakat) dan eksternal (hubungan satu negara dengan negara lain), sehingga dengan demikian kedaulatan dapat dilihat ke dalam 2 (dua) bentuk: Kedaulatan Internal (internal sovereignty) dan Kedaulatan Eksternal (external sovereignty)[3]. Jika mengikuti pemahaman Hans Georg van Manz, Kedaulatan Internal lebih mengacu kepada kemampuan sovereign dalam memelihara hukum dan tatanan (order) dalam suatu negara, sementara Kedaulatan Eksternal lebih mengacu kepada kemampuan negara dalam bertindak sebagai negara merdeka, dan adanya pengakuan kedaulatan dari negara lainnya.[4] Perbedaan diantara keduanya, jika menggunakan pendekatan Henry Weathon, Kedaulatan Eksternal masih membutuhkan pengakuan kedaulatan dari negara lain, untuk Kedaulatan Internal tidak, karena Kedaulatan Internal yang menjadikan negara ada. Setelah negara berdiri (Kedaulatan Internal terbangun) barulah dibutuhkan pengakuan kedaulatan dari negara lain, disinilah Kedaulatan Eksternal baru eksis. Seperti yang dinyatakannya:
The internal sovereignty of state does not, in any degree, depend upon its recognition by other states. A new state, springing into existence, does not require the recognition of other states to confirm it's internal sovereignty. The existence of the states de facto is sufficient, in this respect, to establish its sovereignty de jure. It is a state because it exists. ...The external sovereignty of any state, on the other hand, may require recognition by other states in order to render it perfect and complete.[5]
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kedaulatan eksternal lebih mengarah kepada konsep kedaulatan dalam konteks hukum internasional sehingga dalam pandangan Jimly Asshiddiqie tidak dianggap penting untuk dibahas di dalam Studi Hukum Tata Negara.[6] Oleh karena itu yang menjadi titik tekan dalam konseptualisasi tulisan ini adalah kedaulatan internal negara saja.
Dalam konteks kedaulatan internal, menurut Jean Bodin, sovereignty is the absolute and perpetual power of a republic, and a republic is a government based on the laws of nature.[7] Michael Newman dengan menggunakan pendekatan John Austin, Thomas Hobbes, John Locke serta Jean Jacques Rousseau juga menyimpulkan bahwa kedaulatan pada intinya adalah kekuasaan tertinggi dan tidak berada di bawah kekuasaan lainnya. Dan kekuasaan tersebut harus dipegang oleh satu sumber yaitu negara.[8] Dengan demikian kedaulatan dapat diartikan sebagai hak atas kekuasaan absolut, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung dan tanpa kecuali.[9]
Jika dilihat dari sejarah awalnya, menurut Robert Jackson kedaulatan merupakan salah satu ide pokok yang berkembang paska dunia mediveal (abad pertengahan), sebuah konfigurasi khas antara politik dan hukum yang menentukan perkembangan negara-negara Eropa modern kemudian. Bahkan tidak hanya Eropa, kedaulatan menjadi ide dasar politik dan hukum di seluruh dunia, seperti yang dinyatakannya:
Sovereignty is one of the constituent ideas of the post-mediveal world: it conveys a distinctive configuration of politics and law that sets the modern era apart form previous era. A.P d'Entreves puts the point well: The importance of the doctrine of sovereignty can hardly be overrated. It was a formidable tool in the hands of lawyers and politicians, and a decisive factor in the making of modern Europe. And not only Europe: sovereignty is a foundation idea of politics and law around the world. By sovereignty I am of course referring to state sovereignty unless otherwise indicated.[10]
Mengenai kata ”kedaulatan” sendiri menurut Jimly Asshiddiqie berasal dari bahasa Arab yaitu daulah yang berarti rezim politik atau kekuasaan. Dengan demikian kedaulatan (sovereignty) merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam rangka penyelenggaraan negara.[11] Dalam bahasa Inggris, “kedaulatan” dikenal dengan kata “sovereignty”. Menurut Phillemon Bliss kata tersebut berasal dari feodalisme asli yang bersifat personal untuk menggambarkan relasi antar individu khususnya dalam hal penguasaan tanah:
…the word sovereign, with its abstract sovereignty, is of feudal origin; it was personal, and was applied to a single person. One was sovereign, all others were subjects; and their relation primarily pertained to the land.[12]
Mempertegas Jackson, Raymond G. Gettel melihat teori kedaulatan (dalam konteks negara modern) kelahirannya didasari ilmu politik modern. Konsep tersebut berangkat dari pandangan bahwa negara hadir pada saat masyarakat bergabung dalam sebuah organisasi (negara) yang kemudian melahirkan berbagai kesepakatan yang diterjemahkan ke dalam berbagai aturan hukum. Untuk menegakkan aturan hukum tersebut dibutuhkan suatu badan yang memiliki kehendak (will) dan kekuasaan (power) yang tidak tunduk pada kekuatan apapun, itulah yang kemudian disebut sebagai the sovereign. Dalam praktiknya, the sovereign oleh Bodin dan filsuf lainnya dipersonifikasi kepada negara sebagai the legally soverign.[13]
Kedaulatan dalam personifikasi sebuah negara tersebut kemudian dapat menjelma ke dalam berbagai bentuk. Kedaulatan bisa berada pada tangan seseorang dalam sistem pemerintahan yang otoriter atau tiran. Dalam sistem ini sang pemegang kedaulatan bertindak untuk dan atas nama negara. Dalam sistem oligarkhi, kedaulatan berada pada kelompok atau golongan tertentu masyarakat seperti: kaum bangsawan, kaum borjuis, partai, bahkan kelompok agama dalam negara agama. Sementara bagi negara yang berpaham integralistik, kedaulatan ada pada negara.[14]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terdapat 2 (dua) hal yang menjadi fokus perhatian dalam masalah kedaulatan, yaitu apa dan siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan membuat keputusan akhir dalam kegiatan kenegaraan. Dalam ilmu hukum, dikenal adanya 5 (lima) teori kedaulatan yaitu: Kedaulatan Tuhan; Kedaulatan Raja; Kedaulatan Negara; Kedaulatan Rakyat; dan Kedaulatan Hukum,[15] dengan tata urutan yang berbeda-beda antara satu sarjana dengan sarjana lainnya.[16] Namun jika menggunakan pendekatan Michael Newman, selain kelima teori kedaulatan di atas, masih terdapat teori (doktrin) kedaulatan lainnya yaitu: Kedaulatan Negara Kerakyatan (popular state sovereignty); Kedaulatan Bangsa (National Sovereignty) dan Kedaulatan Bersama (Shared Sovereignty).[17]
Jika keduanya digabungkan (antara pemikiran para sarjana hukum Indonesia dengan pemikiran Michael Newman), maka teori kedaulatan prinsipnya terdiri dari 8 (delapan) teori, yaitu: (1) Kedaulatan Tuhan; (2) Kedaulatan Raja; (3) Kedaulatan Negara; (4) Kedaulatan Rakyat; (5) Kedaulatan Hukum; (6) Kedaulatan Negara Kerakyatan; (7) Kedaulatan Bangsa; dan (8) Kedaulatan Bersama.
Dari kedelapan teori kedaulatan tersebut, pada umumnya sebagian besar sarjana Indonesia sepakat bahwa menurut sejarahnya yang paling tua adalah teori kedaulatan Tuhan (God sovereignty), yang mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi dimiliki atau ada pada Tuhan[18]. Menurut Jimly, faham inilah sebenarnya yang pertama kali berkembang dalam sejarah umat manusia. Dalam prakteknya, ajaran kedaulatan Tuhan ini biasanya dijelmakan ke dalam kekuasaan Raja atau Ratu yang mendapatkan legitimasinya sebagai penguasa berdasarkan perintah Tuhan yang bersifat absolut. Akibatnya, kekuasaan Raja atau Ratu juga berubah menjadi absolut, sehingga melahirkan pula ajaran tentang Kedaulatan Raja.[19] Dalam kaitan antara Kedaulatan Tuhan yang menjelma ke dalam Kedaulatan Raja ini pernah ditegaskan Raja James I di depan parlemen Inggris tahun 1609:
Kings are not only God's lieutenants upon earth and sit upon God's throne, but even by god himself they are called gods ...they have power of raising and casting down, of life and of death, judges over all their subjects and in all causes and yet accountable to none but god only.[20]
Gettel menyakini teori Kedaulatan Raja ini mulai lahir dan berkembang di abad ke-16 eropa pada masa monarkhi. Raja memperoleh pengakuan sebagai the sovereign seiring dengan keberhasilannya dalam menundukkan kerajaan lainnya. Saat itulah kedaulatan menjelma ke dalam sosok raja. Sebagai satu-satunya yang berdaulat, raja menjadi sumber dari segala hukum dan kekuasaan, seperti yang disampaikannya:
Originally sovereignty was viewed as an attributed, not of the state, but of the king. It was natural that sixteenth century writers should identify the sovereignty of the state power with the power of the monarch, since the struggle that gave rise to the conception of sovereignty was carried on by the king in order to establish his personal independence and supremacy. As he triumphed over his rivals in the struggle, sovereignty was ascribe him. The king was the sovereign and could even say, "I am the state". This theory made the king the source of all law and authority; he could do no wrong; passive obedience must be given by all subjects. This theory was destroyed by the revolution that created modern democracies; but its traces survive in the use of the term "sovereign", in a nominal sense, to refer to kings (as in England) who have become, in fact, comparatively unimportant parts of the government.[21]
Dilanjutkan oleh Newman, klaim para Raja sebagai the sovereign pada dasarnya diilhami oleh pemikiran Jean Bodin dan Thomas Hobbes tentang Kedaulatan Negara dalam konteks negatif. Awalnya Bodin dan Hobbes menginginkan adanya suatu kekuasaan yang harus dipegang oleh satu sumber dan bebas dari kendala baik eksternal maupun internal, yaitu negara. Tujuannya adalah untuk meruntuhkan berbagai klaim lain seperti ancient privileges atau Christian universalism[22]. Gagasan Bodin dan Hobbes ini kemudian berkembang menjadi doktrin kedaulatan negara (state soverign). Namun karena doktrin tersebut sejak awal tidak diikuti dengan gagasan-gagasan demokrasi, akhirnya dalam praktik justru disalahgunakan untuk menjustifikasi keberadaan negara monarkhi absolut di akhir abad ketujuh belas, seperti yang dinyatakan Newman:
The first notion of sovereignty –theorised most fully by Jean Bodin (1529-96) and Thomas Hobbes (1588-1679)– was essentially the claim that power should be vested in a singel source which was free from external and internal constraints. It was intended to demonstrate the need for power to be located in the state and to undermine the claims of others to dispute this on the basis of such justifications as ancient privileges or Christian universalism. It may therefore be termed the doctrine of state sovereignty. In theory, this doctrine need not have led to "absolutism". However, since it had no specifically democratic content, there was no guarantee against despotism and in practice, of course, Monarchical absolutism developed during the late seventeenth with state sovereignty as a justification.[23]
Berdasarkan pandangan Carl Joachim Friedrich, inti dari ajaran Kedaulatan Negara sebagaimana yang digagas Bodin bahwa kedaulatan ada pada negara, oleh karenanya segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, sehingga adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukum pun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.[24] Berkaitan dengan itu, Bodin mengatakan bahwa hukum itu merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan negara. Jadi negaralah yang menciptakan hukum, oleh karenanya negara dianggap satu-satunya sumber hukum, dan demikianlah bahwa negara-lah yang memiliki kedaulatan (kekuasaan tertinggi).[25]
Sebagaimana disampaikan Newman sebelumnya, dalam praktiknya, kedaulatan negara ini memang sering menimbulkan kerancuan karena pengertian negara cenderung diartikan sebagai kelompok atau individu pemegang kekuasaan, yang pada akhirnya Kedaulatan Negara itu sering dipersonifikasi sebagai kedaulatan pemerintahan yang berkuasa. Oleh karena itu, Kedaulatan Negara dalam gagasan Bodin pada akhirnya dapat diterjemahkan ke dalam berbagai teori, tergantung dari siapa yang memegang kekuasaan tertinggi, bisa saja Raja atau ratu (Kedaulatan Raja) atau bisa juga rakyat (dalam sistem demokrasi).[26]
Teori kedaulatan lain yang juga berkembang seiring dengan teori Kedaulatan Negara adalah Kedaulatan Hukum (legal soverign) yang dikembangkan oleh John Austin.[27] Dalam doktrin Austin semua hukum adalah perintah dari penguasa yang harus ditaati oleh masyarakat. Semua perintah bersifat mengikat karena penguasa memiliki kekuasaan untuk menegakkan hukum.[28]
Dalam perkembangannya, kedua teori kedaulatan tersebut (Kedaulatan Negara dan Kedaulatan Hukum) akhirnya bersinggungan dengan ide-ide demokrasi. Hobbes adalah yang pertama kali menarik konsep kedaulatan dari Kedaulatan Negara menuju embrio Kedaulatan Rakyat melalui gagasan kedaulatan individu (orang), dimana menurut Hobbes setiap orang pada dasarnya berdaulat, sehingga raja walaupun sebagai penguasa absolut namun tindakannya harus tetap berdasarkan untuk kebaikan rakyat.[29] Dalam praktik, teori Hobbes yang meletakkan kedaulatan ke tangan individu meluas dan menjelma ke dalam kedaulatan parlemen (sebagai wakil dan kumpulan individu yang berdaulat).[30]
Berdasarkan konsepsi Hobbes tersebut, Locke kemudian mempertegasnya, tidak lagi kedaulatan individu tetapi kedaulatan kolektif (kedaulatan rakyat). Menurut Locke kedaulatan pada dasarnya tidak berada di tubuh negara, tetapi di dalam masyarakat.[31] Tentu saja, konsepsi Locke tentang masyarakat masih sangat terbatas karena masyarakat dalam kacamata Locke baru sebatas para pemilik tanah yang menentang absolutisme monarki.[32] Namun demikian, pemikiran Locke tersebut merupakan embrio dari lahirnya doktrin kedaulatan rakyat (popular sovereignty) karena keberhasilannya menggeser letak kedaulatan dari negara (raja) kembali ke tangan rakyat.[33]
Teori Kedaulatan Rakyat secara lebih menyeluruh disusun oleh Rosseau yang berangkat dari latar belakang Revolusi Perancis, yang menempatkan rakyat dalam posisi saling berhadapan dengan negara. Menurut Rosseau negara seharusnya tidak berdiri sendiri dan berada di luar rakyat. Negara seharusnya cerminan dari kehendak umum (rakyat), sehingga negara adalah rakyat itu sendiri. Dengan demikian negara tidak lagi sesuatu yang asing karena tidak lagi menjadi milik raja atau milik sekelompok orang, melainkan milik bersama (rakyat). Oleh karena itu satu-satunya negara yang sah menurut ajaran Kedaulatan Rakyat Rossesau adalah res publica (urusan umum) yang lahir atas kehendak umum.[34]
Dalam paham Rosseau, kedaulatan rakyat mengimplikasikan dua anggapan. Di satu pihak, penolakan terhadap segala wewenang di atas rakyat yang tidak dari rakyat. Di lain pihak, tuntutan, agar segala kekuasaan yang ada mesti identik dengan kehendak rakyat. Jadi negara tidak berhak untuk meletakkan kewajiban atau pembatasan apa pun pada rakyat. Rakyat berwenang penuh untuk menentukan dirinya sendiri, maka tidak ada apapun yang mempunyai wewenang terhadap rakyat.[35]
Teori kedaulatan rakyat Rousseau tentang kontrak sosial dengan berdasarkan pada “Revolusi Perancis”[36] dalam kacamata Newman sebenarnya memiliki ambiguitas, sebab lahirnya Republik Kedua paska revolusi berangkat dari dua legitimasi yaitu legitimasi rakyat dan legitimasi negara melalui personifikasi Napoleon III. Kedaulatan rakyat muncul ketika rakyat mengambilnya dari negara, namun Kedaulatan Rakyat tersebut pada akhirnya berkombinasi dengan Kedaulatan Negara pada saat rakyat menyerahkan kembali kedaulatan yang telah direbutnya kepada Napoleon III. Perpaduan dua legitimasi ini juga dipraktikkan negara-negara Fasis dan negara penganut paham Stalinis, dengan klaim bahwa rakyat telah bersatu ke dalam satu negara dan menyerahkan kedaulatan yang dimilikinya kepada negara (pemerintahan fasis/komunis) sehingga tidak diperlukan lagi adanya lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Dengan melihat kombinasi yang begitu kuat diantara keduanya, Newman melihat praktik tersebut sebagai doktrin lain (di luar doktrin kedaulatan yang telah ada) yang kemudian disebut dengan doktrin Kedaulatan Negara Kerakyatan (Popular State Sovereignty).[37]
Dalam perkembangan berikutnya khususnya di akhir abad 19, seiring dengan lahirnya paham kebangsaan yang didasarkan pada klaim “we live in nation-states and that such states uphold national sovereignty” telah melahirkan doktrin baru tentang kedaulatan yaitu Kedaulatan Bangsa (national sovereignty), doktrin yang mendasarkan kedaulatannya pada kesamaan sebagai satu bangsa.[38] Paham kebangsaan ini awalnya digagas oleh Ernest Renan melalui essainya yang terkenal “What Is a Nation?”, menurut Ernest Renan berdirinya suatu bangsa tidak harus berdasar atas kesamaan agama, ras, bahasa, kesamaan geografi atau atas dasar kepentingan materi bahkan kepentingan militer. Menurutnya berdirinya suatu bangsa adalah atas dasar semangat dan kehendak untuk bersatu yang lahir dari proses sejarah panjang.[39] Sedikit berbeda dengan Ernest Renan, Otto Bauer lebih melihat bangsa sebagai satu kesatuan perilaku yang lahir karena kesamaan nasib (a nation is a unity of conduct which comes into being because of a unity of destiny).[40]
Namun demikian, dalam praktik ternyata teori Kedaulatan Bangsa ini sering berkombinasi dengan teori Kedaulatan Rakyat seperti yang pernah digunakan oleh negara-negara Fasis. Dalam kasus Hitler misalnya, dengan mendefinisikan paham kebangsaan dari kacamata rasis, Hittler mengklaim bahwa kepemimpinannya adalah atas kehendak rakyat untuk membawa Jerman kepada kejayaan bangsa Jerman (Aria).[41]
Selain penganut ajaran Fasis, kelompok liberal democratic sebenarnya juga merupakan salah satu pendukung teori Kedaulatan Bangsa dari sisi lain. Menurut mereka, doktrin Kedaulatan Bangsa sangat mungkin dipraktikkan jika lembaga-lembaga internal negara berjalan secara demokratis. Tradisi pemikiran politik kaum liberal selama ini memang didasarkan pada doktrin pembagian dan pembatasan kekuasaan dimana tradisi tersebut dinilai cocok dengan teori kedaulatan.[42] Dalam pandangan kelompok liberal adalah sangat mungkin untuk memiliki lembaga-lembaga negara demokratis dimana setiap rakyat dapat mengekspresikan tuntutan dan pilihan politik mereka melalui pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif disertai desentralisasi tanggung jawab negara, dengan tetap menjaga kedaulatan bangsa. Dengan berangkat dari doktrin pembagian kekuasaan ini akhirnya kelompok liberal melahirkan doktrin kedaulatan bersama (Shared Soverignty) dengan membagi kedaulatan kepada semua lembaga negara. Di negara yang menganut paham demokrasi liberal antara Kedaulatan Bangsa dan Kedaulatan Bersama ini dapat bersinergi dan berjalan secara beriringan. Dalam hal kedaulatan internal, doktrin yang dibangun adalah doktrin Kedaulatan Bersama, sementara dalam hal Kedaulatan Eksternal yang dibangun adalah doktrin Kedaulatan Bangsa.[43]
Dalam praktik, teori Kedaulatan Bersama sering digunakan untuk mengurai eksistensi kedaulatan negara-negara berbentuk federal. Dalam konteks negara federal Kedaulatan Bersama diwujudkan dalam bentuk adanya pembagian kekuasaan antara pemerintahan federal dan pemerintahan negara bagian seperti di Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Dalam hal ini Elliot Johnson dalam tulisannya sempat menjelaskan tentang rencana pembagian kekuasaan dalam konteks Kedaulatan Bersama di Australia:
The final report of the Royal Commission on Aboriginal Peoples described shared sovereignty in the following way: “Shared sovereignty, in our view, is a hallmark of the Canadian Federation and a central feature of the three-cornerd relations that link Aboriginal governments, provincial governments and the federal government. These governments are sovereign within their respective spheres and hold their powers by virtue of their Constitutional status rather than by delegation. Nevertheless, many of their powers are shared in practice and may be exercised by more than one order of government”.[44]
Dalam perkembangannya, teori Kedaulatan Bersama tidak hanya dipraktikkan di internal kekuasaan negara, tetapi juga di tingkatan eksternal kekuasaan negara melalui bangunan kerjama antar negara melalui pembentukan negara konfederasi seperti Uni Eropa. Menurut Zaki Laidi, doktrin Kedaulatan Bersama dalam bentuk konfederasi harus dibedakan dengan kerjasama antar negara yang bersifat biasa (bilateral/multilateral). Jika dalam kerjasama antar negara suatu negara dimungkinkan untuk menarik diri sewaktu-waktu, untuk Kedaulatan Bersama lebih dari itu, karena para negara berdaulat bertindak atas nama bersama. Berbagi kedaulatan (sharing sovereignty) sama dengan berbagi kepemilikan bersama sehingga untuk melepaskan diri dari rekanan cenderung lebih sulit, seperti yang dinyatakan Laidi:
there is a fundamental difference between cooperation between states and shared sovereignty. Inter state cooperation leave intact a state's possibility of withdrawing if the time comes to do so. It is akin to a contractual logic of the kind that might bind together two co-tenants. Shared sovereignty, is more demanding, as a result of the fact that sovereigns generally create a vehicle for exercising responsibility in their joint name. The sharing of sovereignty is akin, then, to a kind of joint ownership, from which it is always more difficult to extricate oneself than from co-tenancy. [45] [1] Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Deluxe Eight Edition (Dallas: Thompson West, 1999), hal.1430
[2] Cynthia Weber, Simulating Sovereignty, Interventions, The State and Symbolic Exchange (New York: Cambridge University Press, 1995), hal. 2.
[3] Lihat Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal.175
[4] Hans Georg von Manz, “The Universality of Human Rights and The Sovereignty of The State in Fichte’s Doctrine of Righ,t dalam David Coady (ed), Conspiracy Theories, The Philosopical Debate (Hampshire: Asghate Publising Company, 2006) hal. 184. Seperti yang dinyatakan Manz bahwa: Sovereignty understood as ultimate authority can be distinguished in two aspects: internal sovereignty and external sovereignty. Internal sovereignty refers to the sovereign's capability to maintain law and order within state. External sovereignty refers to the sovereign of a state as being capable to act independently towards other states and the state's independency being recognized by other states.
[5] Henry Wheaton, Elements of International Law, Eight Edition (London: Sampson Low, Son, and Company, 1866), hal. 21-22
[6] Jimly Asshiddiqie (2), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal.145
[7] C.E. Merriam, History of The Theory of Sovereignty Since J.J. Rousseau (New Jersey, The Lawbook Exchange, Ltd, 1999) hal.368. Lihat juga Julian H. Franklin, Bodin on Sovereignty (New York: Cambridge University, 1992).
[8] Michael Newman, Demoracy, Sovereignty and The Europe Union (London: C. Hurst & Co.Ltd, 1997), hal. 6
[9] Frans Magnis Suseno, Op.Cit. hal.175
[11] Jimly Asshiddiqie (2), Op.Cit., hal.143.
[12] Philemon Bliss LLD, Of Sovereignty (New Jersey : The Lawbook Exchange Ltd, 2005), hal. 3
[13] Raymond Garfield Gettel, Political Science, Revised Edition (Gind and Company, tanpa tahun) hal.122
[14] Hendarmin Ranadireksa, Amandemen UUD 1945, Menuju Konstitusi Yang Berkedaulatan Rakyat (Jakarta : Yayasan Pancur Siwah, 2002) hal.97
[15] Jimly Asshiddiqie (3), Gagasan Kedaulatan rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal.10.
[16] Mengenai tata urutan kelima teori kedaulatan tersebut, antara para sarjana hukum di Indonesia terdapat pendapat yang berbeda-beda. Menurut Koesnardi dan Bintan Saragih misalnya, membagi dan mengurutkan kelima teori tersebut dengan urutan sebagai berikut: (a) Kedaulatan Tuhan; (b) Kedaulatan Raja; (c) Kedaulatan Rakyat; (d) Kedaulatan Negara; dan (e) Kedaulatan Hukum. Sedangkan Attamimi membagi dan mengurutkan teori kedaulatan menjadi 5 (lima) kelompok tetapi untuk Kedaulatan Tuhan tidak ia sebut, sebagai gantinya ia menggunakan istilah ajaran kedaulatan dalam lingkup sendiri. Adapun menurut Wirjono Prodjodikoro, kedaulatan terdiri dari (a) Kedaulatan Negara; (b) Kedaulatan Tuhan; (c) Kedaulatan Rakyat; dan (d) Kedaulatan Hukum. Lihat: 1) Mohammad Koesnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988), hlm. 118; 2) A. Hamid S. Attamimi, ”Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,” Disertasi (Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI, 1991), hlm. 129-130; 3) Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1970-1989), hlm. 5-6.; 4) Jimly Asshiddiqie, Ibid..
[17] Michael Newman. Op.Cit. hal 6. Menurut Newman teori kedaulatan secara berurutan dimulai dari: (1) Kedaulatan Negara; (2) Kedaulatan Hukum, (3) Kedaulatan Rakyat, (4) Kedaulatan Negara Rakyat, (5) Kedaulatan Bangsa, dan terakhir (6) Kedaulatan Bersama.
[18] Soehino, Op. Cit., hlm. 152.
[19]Jimly Asshiddiqie (2), Op. Cit., hlm. 10.
[20] Robert Jackson, Op.Cit. hal.57
[21] Raymond Garfield Gettel, Op.Cit. hal.129
[22] Christian Universalism merupakan salah satu keyakinan teologis tentang Tuhan Kristus, dan asal-usul dan nasib jiwa manusia, yang mengajarkan tentang cinta Tuhan tanpa syarat dan rencana Tuhan untuk menebus, memulihkan, dan mengubah semua orang melalui Kristus. Lihat Ken Allen, What is Christian Universalism? http://www.auburn.edu/~allenkc/chr-univ.html diunduh 10 Juni 2010.
[23] Michael Newman. Op.Cit. hal. 6
[24] Julian H. Franklin, Sovereignty and The Mixed Constitution: Bodin and His Critics dalam J.H. Burns (ed), Political Thought, 1450 -1700 (New York: Cambridge University Press, 1991), hal. 298-299.
[25] Carl Joachim Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Perspective (London: The University of Chichago Press, 1963) hal. 57
[26] Hendarmin Ranadireksa, Op. Cit. Hal.97
[27] Michael Newman. Op.Cit. hal. 7. Berbeda dengan Michael Newman yang melihat kedaulatan hukum berjalan seiring dengan kedaulatan negara, Martin Ostwald berdasarkan penelitiannya terhadap perkembangan kedaulatan rakyat di Athena abad kelima, meyakini bahwa kedaulatan hukum pada dasarnya lahir dari perkembangan teori kedaulatan rakyat ketika kedaulatan rakyat menjelma ke dalam nomos. Lihat Martin Ostwald, From Popular Sovereignty to Sovereignty of Law, Law, Society, and Politic in Fifth Century of Athens (London: University of California Press, L.td).
[28] Teori kedaulatan hukum dari Austin dikenal dalam doktrin “law as a command of the souverign” yang dikembangkan dari pemikiran Bentham. Lihat W.L. Morison, John Austin, Jurists: Profiles in Legal Theory (London: Stanford University Press, 1982), hal.66
[29] Seperti yang ditulis Philemon Bliss: …Hobbes advocates monarchy, pure and simple. Sovereignty is personal; and the king, as absolute ruler, is sovereign. He rules by virtue of the social contract, but is not a party to it; he should govern in all things according to his own judgment, but is morally bound to seek the good of his subjects. Lihat Philemon Bliss LLD, Op.Cit, hal. 4
[30] Michael Newman. Op.Cit. hal.7
[31] Ibid.
[32] Seperti yang diungkap John Marshal dengan mengutip tulisan Ascraft (Revolutionary Politics) bahwa …Ashcraft implies that John Locke's discussion of the productive significance of labour in his discussion of the value added to goods in his account of property in Two Treatise was intended as an appeal to those artisans and tradesmen whose support for exclusion and then for resistance was necessary in 1680-3, while his general stress on industriousness and use was intended to appeal to the industrious gentry and aristocrats who used their land for productive purposes, and to condemn courtiers and wateful landowners, particulary aristocrats. Lihat John Marshal, John Locke, Resistance, Religion and Responsibility (New York: Cambridge University Press, 1996), hal.280-281.
[33] Michael Newman, Op.Cit. hal.6.
[34] Frans Magnis Suseno, Op.Cit. hal. 240-241
[35] Ibid.
[36] Revolusi 1848 di Perancis merupakan salah satu dari gelombang revolusi pada tahun 1848 di Eropa. Di Perancis, revolusi Februari mengakhiri Kerajaan Orleans (1830-1848) dan melahirkan Republik Perancis Kedua. Pada tanggal 2 Desember 1848, Louis Napoleon terpilih menjadi Presiden Republik Kedua, sebagian besar didukung oleh para petani. Tepat tiga tahun kemudian ia menangguhkan majelis terpilih, mendirikan Kekaisaran Perancis Kedua, yang berlangsung sampai 1871. Lihat Thomas Carlyle, French Revolution: A History (London : Chapman and Hall, tanpa tahun).
[37] Seperti dinyatakan Newman: Popular sovereignty, developed more fully in the work of Jean Jacques J.J. Rousseau (1712-78) and in the claims of the Third Estate during the French Revolution, could challenge state sovereignty by setting the claims of the people against the claim of the state. But it could also strengthen a state which claimed, as did Napoleon III, to embody the popular will. In this case the power of the state was legitimised by combining the arguments which underlay both doctrines, and this combination has been so potent that it is necessary to use a different term to distinguish it from two sources: popular state sovereignty. At its most extreme, this doctrine has been used to justify the claim that the unity between state and people is so complete that no separate institutions are necessary to represent the people. It has thus been adopted by twentieth century Fascist and Stalinist regimes. Michael Newman, Op.Cit. hal 7.
[38] Ibid.
[39] Lihat Uday Singh Mehta, Liberalism and Empire, A Study Nineteenth Century British Liberal Tought (London: The University of Chicago Press, 1992), hal.187
[40] Clive J. Christie, South East Asia in The Twentieth Century, A Reader (London: Tauris & Co.Ltd, 1998), hal.134
[41] Michael Newman, Op.Cit. hal.7
[42] Pembagian dan pembatasan kekuasaan awalnya berangkat dari pemikiran Bentham atas penelitian Bentham terhadap kewenangan pengadilan sebagai negative legislator yang dapat membatalkan suatu produk perundang-undangan legislatif. Dari kewenangan tersebut paling tidak Bentham berpandangan bahwa kedaulatan pada dasarnya dapat dibagi atau paling tidak dapat dibatasi, sebagaimana yang dinyatakan Parekh: Bentham also examines other cases of divided sovereignty. He suggests that under a system of judicial review where courts have the power to annual law, "a portion of the supreme power" is transferred from the legislature to the judges and that therefore the former's sovereignty is limited. However, since the power to annul laws is only a negatif power and therefore much inferior to the positive power to make laws, Bentham thinks it would be going too far to say that supreme authority is here transferred form legislative to the judicial power or that this is a case of divide or shared sovereignty. Bentham finds it difficult to believe how anyone can maintain that sovereignty is both unlimited and indivisible. In the cases above cited, one either says that both the legislature and the judiciary, or both the federal an the state governments, are "conjunctively" sovereign, in which case one must admit that sovereignty is divisible; or else one says that only one of them is sovereign in which case its sovereigny, although not shared, is clearly limited. Bhiku Parekh (ed), Bentham’s Political Though t (London: Croom Helm, 1973) Hal. 24
[43] Michael Newman, Op.Cit. hal.8
[44] Elliott Johnston, Martin Hinton dan Daryle Rigney, Indigenous Australians and The Law, Second Edition (Oxon: Cavendish Publising, L.td, 1997), hal. 259
[45] Zaki Laidi, The Great Disruption (Cambridge: Politik Press, 2007), hal.37
Tidak ada komentar :
Posting Komentar